Krisis Pendidikan Kritis

Krisis Pendidikan Kritis(*)
Elsa Putri E. Syafril[1]


Sumber Ilustrasi Animasi
http://smayani.wordpress.com
Iqra’, ‘bacalah’, begitu seru Allah, melalui Jibril, kepada nabi-Nya, Muhammad. Seru ini diulang sampai tiga kali, menggema dan memenuhi hening gua Hira. Ajaib, sebuah agama yang dalam kecenderungan hari ini, seperti disinyalir Muhammed Arkoun, bergerak menjadi doktriner dan bersifat dogmatis, awal pewahyuannya di mulai dari kata “bacalah”. Sebuah kata perintah langsung, seru yang tergolong tegas dan keras. Dan, ajaibnya, seru ini ditujukan kepada Muhammad yang buta aksara.
Apa makna di balik seru-Nya di atas? Mengapa Ia berkenan, melalui seru itu, menjelmakan diri seperti guru dalam dunia persekolahan hari kini? Tidakkah seru  tersebut dapat dimaknai sebagai “kata sandi”, atau semacam “password” yang dapat menuntut manusia dari sejenis murid-murid yang bebal dan bengal menuju keberadaannya yang baru sebagai insan kamil, manusia dari golongan yang sempurna.

Wisata Syari’ah: Pilubang ‘Nagari Masa Depan’, Anjing Dilarang Masuk

WISATA SYARI’AH:
PILUBANG ‘NAGARI MASA DEPAN’, ANJING DILARANG MASUK


Sumber Foto: wikimapia.org,
Apa yang terbayang dan terpikirkan oleh Anda dengan kata-kata kalimat judul diatas? Ada tiga hal setidaknya. Pertama tentang dunia pariwisata dengan brand wisata syari’ah. Kedua soal Nagari Masa Depan yang juga membuat kita bertanya-tanya? Ada terminologi waktu disini sepertinya.  Kalau ada Nagari Masa Depan berarti ada juga wajah Nagari Masalalu dan Nagari Masa Kini. Ketiga sebuah larangan dan himbauan dengan simbol anjing dilarang masuk. Yuk.... kita akan melihat dan telesuri sisi lain dari pertanyaan-pertanyaan itu.
 ‘Nagari Masa Depan’ anugerah tiga kata pertama, saya dapatkan dari plang informasi di persimpangan jalan menuju nagari Taram-Pilubang di Jalan Lintas Sumbar-Riau dekat Tanjung Pati Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. Awalnya saya menganggap tulisan Nagari Masa Depan pada plang bergambar itu hanyalah sekedar kampanye pencitraan saja. Ya... seperti slogan kembali ke surau dan balik banagari di Minangkabau.
Setiap kali melewati daerah dimana terdapat plang itu, perhatian saya selalu merasa dicuri, agar saya melirik  plang dan membaca lagi kalimat serta pesannya. Apalagi plang reklame itu didesain menarik dengan gambar-gambar yang artistik. Sentuhan kemajuan ilmu dan teknologi dalam dunia grafis  dan advertising pastinya.
Kalimat Nagari Masa Depan seperti meracuni pikiran saya. Ada rasa penasaran untuk mengetahuinya lebih jauh dan dalam. Suatu waktu, saya diajak berkeliling-keliling oleh seorang kerabat yang berdomisili di Nankodok Kota Payakumbuh Utara, uda Roni begitu saya memanggilnya. Kami berkeliling menjambangi satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa hari dalam kesempatan dan waktu yang berbeda, kami mengunjungi tempat wisata katakanlah begitu yang terdapat di Kota Payakumbuh maupun dan di Lima Puluh Kota.
Saya diajak diantaranya ke Objek Wisata Harau. Kita tentu sudah banyak tahu dan akrab dengan nama Harau dengan bentang alamnya yang menakjubkan, terus kami ke Objek Wisata Ngalau, Pemandian Batang Tabik, Pesona Alam Sikabu di Lereng Gunung Sago yang membentangkan wajah Kota Payakumbuh dan Kabupaten 50 Kota. Sesungguhnya masih banyak yang mesti dikunjungi seperti Koto Tinggi dengan wajah Keminangkabauan yang kental, Kapalo Banda, Rumah kelahiran Tan Malaka di Suliki, Kawasan Megalit di Maek dan Belubus. Seabrek tempat bersejarah dan objek wisata lainnya di kedua wilayah kabupaten dan kota ini. Minang nan kaya, namun ada yang terkelola baik, ada yang terkelola seadanya dan ada yang terabaikan dan terlupakan begitu saja.
Cottage Balirik Larangan Pilubang Wisata Syariah
dok. pribadi
Kali lain kami menuju lokasi yang selama ini menganggu pikiran saya dengan slogan kata Nagari Masa Depan itu. Kami menuju Pilubang dimana Nagari Masa Depan itu berada. Kami harus melewati beberapa nagari seperti Taram sebelum mencapai Pilubang. Jalan kesana cukup lancar. Hanya saja kondisinya tidak begitu lebar dan sebagian jalan dalam kondisi berlubang karena aspal dan jalan beton yang sudah terkelupas. Padahal jaraknya cuma 7 km dari kota Payakumbuh, dengan koordinat -0°9'48"N   100°41'41"E.[1]
Sepanjang jalan menuju Pilubang, plang-plang bergambar bertuliskan Nagari Masa Depan terus saya temui dalam jarak-jarak tertentu dan dipersimpangan jalan. Kami sudah berada di Pilubang, jarak kami semakin dekat dengan sebuah kawasan yang ditunjukkan kepada saya.
Sampai diujung jalan yang membelah hamparan sawah-sawah penduduk, saya sejenak menghentikan kendaraan. Saya harus berdecak kagum pada bentangan alam disana. Wah.... wah..... lain Harau lebih lain lagi ternyata dengan daerah yang baru saya masuki ini. Pesonanya dan daya tarik dinding-dinding bukit batu bewarna bak benteng. Karakternya hampir sama dengan Harau. Namun di Pilubang hamparan pertanian sawah menjadikannya dinding bukit batu laksana lukisan alam yang begitu indah. Inikah sepotong surga yang terlempar ke bumi? Dalam benak saya.
Fasiltas Cafe
Balirik Larangan Pilubang Wisata Syariah
dok. pribadi
Oooow...... ternyata kawasan itu yang dimaksud dengan Pilubang Nagari Masa Depan. Saya kala itu sedikit ragu untuk meneruskan perjalanan masuk kedalam, karena dari kejauhan melihat ada pengerjaan jalan. Tapi kerabat saya sangat bersemangat untuk mendekati dan memasuki kawasan. Saya juga penasaran sebenarnya, apalagi kalimat Nagari Masa Depan  Pilubang ditambah lagi dengan Wisata Syari’ah pada plang-plang informasi disekitar nagari Pilubang dan dekat kawasan wisata itu terlebih. Kami terus mencoba mendekati kawasan yang disebut Wisata Syari’ah di Pilubang Nagari Masa Depan itu. Dengan berjalan pelan menghindari kerikil pengerasan jalan dan batu untuk membangun dam saluran air dikiri kanan jalan, kami pamit kepada pekerja. Kami pun disapa dengan ramah, dan memberikan isyarat untuk dapat terus berjalan mendekati kawasan.
Begitu kami berada dimulut kawasan, sebuah simbol Wisata Syari’ah berdiri sebuah Mushalla dengan arsitektur yang menawan menyerupai bangunan panggung. Menarik sebuah penempatan sarana terkait slogan yang visioner dalam benak saya. Kawasan dengan lingkungan yang asri kesan yang saya dapatkan, dengan pohon-pohon hijau tertata digerbang inti kawasan. Saya dibuat lebih penasaran lagi ketika saya menemukan lagi tidak jauh dari mushalla dipinggir jalan sebuah plang informasi ukuran tidak besar. Kalau tidak diperhatikan akan terlewati begitu saja. Plang itu bertuliskan Anjing Dilarang Masuk. Nah.... tahu kan sekarang asal muasal kata-kata yang  menjadi judul tulisan Wisata Syari’ah: Pilubang ‘Nagari Masa Depan’, Anjing Dilarang Masuk.
 Kendaraan roda dua yang kami tunggangi terus kami jalankan sangat pelan untuk mendekati dan memasuki kawasan inti. Sayang ketika itu, dari jarak beberapa meter digerbang masuk kawasan inti terpampang tulisan bersar MAAF UMUM DILARANG MASUK ! Dekat gerbang kawasan inti itu kami memarkir kendaraan roda dua. Saya mencoba mencari kalau-kalau ada security. Tapi tidak kelihatan. Mmmmhh... langkah kami terhenti sampai disana.
Dari luar pagar kawasan inti, diantara pepohonan saya dapat melihat sekilas bagian-bagian bagunan. Sarana yang tersedia dalam kawasan tentunya. Perhatian saya tertuju pada dinding-dinding bukit batu yang menjulang tinggi. Disana saya melihat hiasan alam, dimana bertebaran lebah-lebah yang bersarang mengelantung pada dinding batu. Jumlah tidak satu dua, mungkin puluhan sarang dengan berpuluh-puluh ribu lebah;. Seperti penangkaran lebah secara alami dan terbuka. Sebuah daya tarik dimana alam, tumbuhan, manusia disana saling memberikan ruang kehidupan.
Nagari Masa Depan yang selalu ada dalam benak saya selama ini. Sedikit  terjawab dengan sebuah kawasan yang dikelola menjadi objek wisata dengan brand dan image Wisata Syari’ah. Lalu saya mendapati juga kata-kata peringatan atau larangan Anjing Dilarang Masuk. Kalau soal keindahan alamnya, buktikan sajalah sendiri kapanpun Anda berkesempatan.
Sebetulnya sudah ada wisata yang bernilai ibadah, yaitu wisata ziarah. Seperti yang diakrabi warga NU dengan ziarah wali songo. Wisata berkelas internasional seperti Taj Mahal di India, Piramid di Mesir, ataupun makam-makam lainnya juga merupakan wisata ziarah yang sudah sudah terkelola lebih dulu dan lebih dengan baik.[2]
Cottage Berupa RUmah Pohon
Balirik Larangan Pilubang Wisata Syariah
dok. pribadi
Slogan Wisata Syari’ah tentu bukan sekedar kata-kata atau  lipstik. Ini pasti erat kaitannya dengan pandangan religius masyarakat Minang di Nagari Pilubang sebagai masyarakat beragama muslim. Kalau dipasangkan seperti rel kereta api agar perjalanan kereta kehidupan bermasyarakat dan beragama kompak dan dinamis tentulah pakaiannya diranah Minang adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, (Adat Berlandaskan Agama, Agama Berlandaskan Kitab Allah Alqur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW)
Anjing dilarang masuk saya pikir juga bukan sekedar larang membawa anjing ke lokasi atau kawasan Wisata Syari’ah di Nagari Masa Depan Pilubang. Bukankah anjing binatang yang diharamkan dalam Islam. Jangankan untuk dimakan umat muslim, kena sentuhan apalagi dijilat anjing saja mesti dicuci dan dibersihkan hingga 7 kali disertakan dengan tanah. Bagaimana dengan anjing lepas apalagi kalau ada kegiatan berburu babi sekitar dan dekat wilayah Wisata Syari’ah di Pilubang Nagari Masa Depan. Agak rumit memang, dan sulit membendungnya. Apalagi budaya beburu babi dengan anjing secara besar-besar hampir merata dilakukan didaerha Sumatera Barat.
Saya kembali memaknai kata peringatan Anjing Dilarang Masuk dalam pandangan lain. Bagaimana agar masyarakat sekitar dan para wisatawan yang datang berperilaku jauh dari sifat kebinatangan dan tidak berbuat yang dilarang (diharamkan) agama serta bertentangan dengan nilai dan norma-norma yang berlaku ditengah masyarakat setempat. Terlebih Pilubang masih dalam lingkaran budaya Keminangkabauan yang dulu terkenal nilai-nilai kesopanan. Secara tersirat larangan itu juga menyatakan kepada kita, kalau anjing saja dilarang masuk ke dalam kawasan Wisata Syari’ah Nagari Masa Depan Pilubang. Apalagi manusia yang berakal pikiran, jangan sampai berperilaku dan bebuat hal-hal diluar ketentuan syari’ah seperti menjadikan tempat ini untuk melancarkan aksi mesum dan asusila serta kejahatan.
Cottage Balirik Larangan
Pilubang Wisata Syariah
dok. pribadi
Disinilah saya baru memahami yang dimaksud Nagari Masa Depan di Pilubang itu. Sebuah potensi lokal baik alam, sosial dan budayanya dikemas dalam sebuah wisata berbasis syari’ah dalam artian wisata yang bersendikan nilai-nilai agama, moral sosial dan budaya masyarakat lokal.
Slogan Wisata Syari’ah, Nagari Masa Depan Pilubang itu sendiri dengan segala gagasan didalamnya jelas mengandung visi dan misi yang memandang jauh ke depan, dalam kekinian dengan bercermin ke masa lalu dimana nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam balutan adat budaya Minangkabau yang kental serta  nilai-nilai religius (agama Islam).
Semoga apa yang saya maknai benar adanya. Kata-kata  yang saya temukan itu terpisah-pisah lalu disatukan dalam kalimat  judul tulisan ini, lebih dalam tentu sang pencipta kata-kata itu yang lebih tahu sepenuhnya. Saya yakin kata-kata itu diciptakan bukan sembarangan. Subjektif saya mengatakan slogan Nagari Masa Depan adalah kata-kata yang mengandung kekuatan dan visioner. Menggiring manusia sekitarnya dan orang-orang luar yang mendatanginya untuk beradaptasi sesuai tuntunan (di syari’ahkan). Tidak seperti kebanyakan tempat atau objek wisata lainnya. Dimana wilayah/kawasan dan masyarakat sekitar benar-benar sebagai objek bukan subjek.
Cottage Berupa Rumah Pohon
Balirik Larangan Pilubang Wisata Syariah
dok. pribadi

Kolam air terjun diantara cottage
Balirik Larangan Pilubang Wisata Syariah
dok. pribadi
Kolam air terjun diantara cottage
Balirik Larangan Pilubang Wisata Syariah
dok. pribadi


[2] http://www.nu.or.id/

Cerpen: dan, Tuhan Pun Berhasil Kutipu

dan, Tuhan Pun Berhasil Kutipu
Oleh: Adam Ma’rifat[1]
Entah dari mana sikap dan pikiran perlawanan itu muncul. Yang jelas, sejak ia mengenal orang lain, ia sudah tidak suka menjadi dirinya sendiri, karena selalu saja  menjadi bahan olokan oleh lingkungan. Ketika ia mulai mengaji di surau dan ustad bicara tentang penciptaan langit dan bumi serta seisinya, maka saat itulah, ia mulai tidak senang dan menaruh dendam pribadi terhadap tuhan. Hal yang selalu dipertanyakan  pada dirinya sendiri adalah kenapa ia memiliki perbedaan dengan saudara-saudaranya  yang lain.

Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat

Oleh: Zaiyardam Zubir
Dari DOKTOR BATANG PISANG
-sekali berbuah setelah itu mati-
Sampai GURU BESAR HANYA NAMA (GBHN):
Nestapa Kaum Intelektual di Sumbar[1]

Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu
(Alquran, Al-Mujadalah: 11)
Tuntutlah ilmu mulai dari turun buaian sampai ke liang lahat 
 (Hadist Nabi Muhammad SAW)
Dan tak satu pun ayat menyebutkan,
Allah meninggikan derajat orang berkuasa
                                                                                    (Kuntowijoyo, 2001) 

 I. Dari Manakah Kita Mulai Menulis ?

Seorang dosen muda berbakat, dengan semangat menggebu-gebu, mendatangi saya. Ia ingin konsultasi soal dunia tulis-menulis. Katanya ia pingin jadi penulis, namun ia menghadapi kesulitan besar. Kesulitan yang dihadapinya adalah ia tidak tahu dari mana harus mulai menulis. Padahal, di kepalanya telah bergumul berbagai gagasan yang radikal dan cemerlang dari proses belajar yang ia lewati. Saya sebenarnya tidak memiliki obat apa pun dalam menghadapi persoalan seperti ini sehingga tidak dapat memberi resep bagi penyakit yang dihadapinya itu. Ketika ia tanyakan bagaimana saya memulai menulis, pengalaman sayalah yang saya ceritakan, sebagaimana juga ingin saya ceritakan dalam forum ini.

Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat


Lanjutan......
Dari DOKTOR BATANG PISANG-sekali berbuah setelah itu mati-
Sampai GURU BESAR HANYA NAMA (GBHN): Nestapa Kaum Intelektual di Sumbar

II. Malapetaka Akademik  atau Keledai Naik Haji

   Seorang Doktor tamatan Eropa pernah bercerita kepada saya tentang penelitian disertasinya di Amerika Latin. Ia meneliti ekosistem sebuah sungai di Amerika Selatan. Penelitiannya meliputi aspek ekosistem yang terdapat di sepanjang sungai itu mulai dari hulu sampai hilir. Ia dapat menceritakan dengan baik perubahan-perubahan tumbuhan, ikan, warna air, dan corak kehidupan manusia di sepanjang sungai. Pengalaman yang amat dahsyat selama penelitian juga ia ceritakan seperti hambatan cuaca, tantangan alam yang keras, dan penduduk yang masih buas. Kalau mengingat-ingat penelitiannya, ia merasakan tidak akan sanggup lagi menjalaninya.

Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat

Lanjutan......
Dari DOKTOR BATANG PISANG-sekali berbuah setelah itu mati-
Sampai GURU BESAR HANYA NAMA (GBHN): Nestapa Kaum Intelektual di Sumbar

III. Induksi dan Deduksi 
Jika dicermati dua bagian di atas, saya berusaha (mungkin saja berhasil atau malahan gagal total) mengungkapkan satu fenomena intelektual di Unand dalam bahasa dan kasus yang populer juga. Adapun kaitannya dengan pelatihan ini adalah upaya mengungkapkan karya yang hendak dihasilkan haruslah menyentuh persoalan yang terjadi di sekitar kita ataupun yang aktual dan yang awet. Menurut hemat saya, menulis buku, baik buku ajar maupun ilmiah, hendaklah populer. Populer di sini diartikan mulai dari pilihan kata yang mudah dicerna (dengan demikian ini menyangkut fungsi bahasa yang tak hanya sebagai alat komunikasi semata, apa lagi slogan asal bisa dimengerti saja, tetapi juga bahasa sebagai alat untuk berpikir) sampai persoalan hidup orang banyak (jangan tanyakan kepada saya bagaimana mempopulerkan kata-kata dalam buku-buku matematika, kimia ataupun teknik. Itu bukan bidang saya dan yang lebih penting lagi adalah saya juga bukan Prof.). Kalau bahasa dan kasus yang dikemukakan dalam buku (baik buku ajar maupun buku lainnya) tidak populer ataupun menyangkut hidup orang banyak, siapa yang mau mendanai, apalagi  membacanya. Bisa-bisa karya yang telah ditulis dengan susah-payah itu masuk keranjang sampah. Siapalah penulis yang suka hal-hal seperti ini.

Jangan Ganggu Hutan Kami: Batang Paninggahan, Kapalo Aia Sumber Kehidupan

JANGAN GANGGU HUTAN KAMI:
BATANG PANINGGAHAN, KAPALO AIA 
SUMBER KEHIDUPAN

I. Citra Geografis dan Astronomis Paninggahan
Karakteristik suatu daerah senantiasa mempengaruhi kehidupan masyarakatnya yang dapat ditinjau dari sejarah, tabiat dan watak perilakunya. Demikian pula halnya dengan masyarakat nagari Paninggahan di Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok Sumatera Barat .
Paninggahan berjarak 22 Km dari pusat Kabupaten Solok dan 91 Km dari kota Padang dimana pusat pemerintahan propinsi berada. Daerah yang berada disebelah Utara Kabupaten Solok ini dapat dicapai melalui beberapa pintu masuk. Pertama,dari pusat kabupaten atau kota Solok terus ke Sumani-Saningbakar-Muaro Pingai-Paninggahan atau kedua meneruskan perjalanan dari alternatif pertama itu sedikit berputar dan lebi jauh melalui Singkarak-Batutaba-Kacang-Omblin terus belok kiri di Simpang Payo-Malalo-Paninggahan. Begitupun kalau dari arah Padang-Pariaman atau Bukitinggi-Padangpanjang belok kanan di Simpang Payo-Malalo-Paninggahan. Berada dipinggir danau Singkarak dengan akses jalan melingkar menjadikan daerah Paninggahan dapat diterobos melalui beberapa arah pintu masuk tentunya. Dan kalau mau dan tersedia sarana transportasi air, untuk menuju Paninggahan dan daerah sekitarnya juga dapat dilakukan melalui jalur air Danau Singkarak.

Rekam Jejak Fotografi Kompleks Makam Belanda Sawahlunto: Bukti dan Simbol Akhir Tirani Kekuasaan dan Kejayaan

Rekam Jejak Fotografi Kompleks Makam Belanda Sawahlunto:
Bukti dan Simbol Akhir Tirani Kekuasaan dan Kejayaan

Rekam Jejak Fotografi
Foto Katalog/Buku 'Sawahlunto Effect'
Pertengahan tahun 2008 lalu, saya berkesempatan mendampingi serombongan fotografer profesional dengan fokus dan keahlian mengabadikan objek dengan lensa kamera mereka masing-masing. Mereka benar-benar spesialis dalam pandangan saya pribadi setidaknya. Rombongan yang datang dari Jakarta dengan prestasi nasional hingga internasional itu adalah diantaranya Oscar Motullah, yang bermarkas di Galeri Antara Jakarta dikenal sosok guru bagi banyak fotografer seperti diungkapkan Unang dan Anton Candra ketika bersama mereka pada kesempatan lain yang berbeda. Selanjutnya rombongan adalah Jay Subiyakto, Yori Antar dan salah satu penulis dari Komunitas Bambu, kemudian  disusul fotografer dari media nasional Kompas  Arbain Rambei.

Politik Pembentukan Kampung Di Negeri ‘Laskar Pelangi’

Politik Pembentukan Kampung
Di Negeri ‘Laskar Pelangi’ Masa Kolonial Belanda

Karya fenomenal yang kontekstual dengan kehidupan sosial Bangka-Belitung dalam kepungan industri timah trilogi Novel Laskar Pelangi. Karya kesaksian dan pengalaman hidup itu semakin mempopulerkan dan melambungkan ‘pulau timah’ Bangka-Belitung. Banyak mata, telinga dan perhatian ditujukan ke Bangka-Belitung daerah kepulauan yang kaya timah itu dalam beberapa tahun belakangan. Apalagi ditambah sentuhan dan garapan seorang sineas Riza, dengan mengangkat novel laskar pelangi ke media audio-visual layar lebar, semakin menegaskan lagi image dan pesan tentang Bangka-Belitung.
Saya dengan pembaca, juga seperti orang kebanyakan, sebelumnya mengenal Bangka-Belitung tanah kelahiran Andrea Hirata penulis trilogi novel (Laskar pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor), hanya sebagai pulau penghasil timah. Lebih dari itu? Pelajaran disekolah atau uji pertanyaan saat ujian dibangku sekolah tak lebih dari sekedar pertanyaan timah terdapat di...... yang jawabannya adalah Bangka-Belitung, atau sebaliknya Bangka-belitung merupakan pulau penghasil..... yang jawabannya juga sudah pasti timah. Padahal penyelidikan awal timah baru mulai diselidiki tahun 1852, itupun gagal. Hampir sama dengan Sawahlunto yang dikenal hanya daerah penghasil batubara dengan kwalitas kalori tertinggi di negeri ini[1].
Begitulah Bangka-Belitung daerah kaya timah yang diekploitasi sejak era Belanda ini mendapat porsi dalam ruang sosialisasi lewat mata pelajaran geografi. Dalam sejarah nasional Indonesia nasib yang sama juga dialami, seperti yang diungkapkan Erwiza Erman penulis buku; Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Sebenarnya bukan hanya Bangka-Belitung maupun Sawahlunto mengalaminya. Banyak daerah dalam kondisi serupa. Inilah akibatnya kalau sejarah berada dalam kontrol pemegang kekuasaan.
Sesungguhnya apa yang diperlihatkan Andrea Hirata dan Riri Riza kepada kita, hanyalah akumulasi dari periode panjang masalalu (sejarah) Bangka-Belitung. Sejak Belanda dengan segala pengaruhnya menancapkan kekuasaannya secara resmi 1853 di pulau timah itu. Sejak itu pula beban/social cost untuk generasi berikutnya dirintis, sadar atau tidak. Apa yang dialami generasi ‘laskar pelangi’ ketika industri timah dikelola PN Timah di era kemerdekaan RI menjadi bukti.
Kalau saja ditarik jauh kebelakang, melihat bagaimana Bangka-Belitung pada masa kesultanan sampai Belanda masuk. Tdak perkara mudah juga bagi Belanda mengahadapi kekuatan militer kesultanan dengan perang gerilyanya yang membuat Belanda repot. Lalu strategi apa yang diterapkan Belanda untuk dapat menguasai kesultanan Bangka-Belitung denga wilayahnya. Semua itu dibuka lebar-lebar oleh  Erwiza Erman dalam bukunya; Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung.
Disini kita tidak akan membahas panjang lebar perihal isi buku yang diterbitkan penerbit Ombak, Yogyakarta tahun 2009 dengan jumlah halaman xvi+289 itu. Ada baiknya pembaca memperoleh dan memiliki buku tersebut. Karena dengan buku itu pembaca dapat mengetahui mulai sejarah Bangka-Belitung. Dalam buku itu terpapar Bangka-Belitung di masa kesultanan, hingga Belanda masuk dan menancapkan kekuasaan dengan segala pengaruhnya hingga menguasai timah dan mewariskan hingga masa kemerdekaan Indonesia sampai sekarang. Sebuah kajian komprehensif tentang sejarah Bangka_Belitung dengan timahnya, termasuk ke persoalan tambang timah legal dan ‘perkara gelap’ alias kegiatan ilegal dan penyeludupan timah disajikan begitu lugas.

Terowongan Air Bawah Tanah Terpanjang Di Indonesia

TEROWONGAN AIR BAWAH TANAH PLTA DANAU SINGKARAK 
TERPANJANG DI INDONESIA

Danau Singkarak tak cuma identik  dengan ikannya yang langka yaitu ikan bilih. Sumber daya ikan-ikannya telah memberikan kehidupan bagi banyak masyarakat sekitar dari usaha menangkap ikan dan memperdagangkannya selain memenuhi kebutuhan keluarga. Keindahan dan pesona alam serta  budaya masyarakat sekitarnya juga potensi wisata yang tak kalah menariknya.
Berbagai sumber air mulai dari sungai, mata air yang terdapat di daerah sekitar bermuara ke danau ini. Namun uniknya saluran pembuangan danau Singkarak dari dahulu hingga tahun 1998 hanya terdapat satu pintu air keluar .  Dengan luas luasnya 120 km2 dengan kedalaman 150 meter, danau Singkarak membuang airnya ke pantai timur lewat Sungai Batang Ombilin, Sungai Indragiri dan bermuara di Selat Malaka.

IKAN BILIH, ALAHAN DAN TRADISI MANGUTANG

'Bilih' Spesies Langka Ikan Danau Singkarak 
(1/3 dari tulisan berkaitan)

Mendengar dan menyantap ikan bilih (Mystacoleuseus Padangensis) bagi masyarakat Sumatera Barat mungkin sudah biasa. Ikan bilih adalah spesies ikan air tawar di pulau Sumatera, tepatnya di danau Singkarak (Sumatera Barat) sebagai habitatnya.
Ikan bilih dikenal bukan karena besarnya mengalahkan paus atau buas seperti hiu. Kalaupun kecil juga tidak seganas piranha. Soal besar, ikan bilih hanya lebih besar dari ikan teri, kira-kira seukuran jari tangan orang dewasa. Ciri-ciri lainnya memiliki bentuk badan yang pipih dan lonjong, bersisik kecil-kecil dengan warna mengkilau keperakan.

'Alahan' dan Danau Singkarak Menunggu Kearifan Masyarakat

 'ALAHAN' DAN DANAU SINGKARAK:
MENUNGGU KEARFIAN MASYARAKAT
Tulisan ke-2 Berkaitan Ika Bilih, Alahan dan Tradisi 'Mangutang'

II.a. 'Alahan'
 
Bagaimana dengan alahan? Apa kaitannya dengan ikan bilih? hingga tradisi mangutang. Pada bagian paparan ini, kita akan melihat empat matarantai sekaligus antara ikan bilih, alahan sebagai media memperoleh ikan bilih dan mangutang sebuah aktivitas yang mentradisi di alahan dengan pemanfaatan khusus dan unik dari aliran sungai Batang Paninggahan adalah sebagai sarana alahan.
Apa itu alahan? Bagi masyarakat Paninggahan khusus, alahan bukan hal asing lagi. Demikian juga barangkali bagi sebagian daerah pada posisi hulu yang memiliki sungai-sungai yang bermuara ke Danau Singkarak. Masyarakat pada posisi seperti itu selain Paninggahan adalah Malalo, Muaro Pingai dan Saning Bakar.

Tradisi Alahan: 'Mangutang' Bukan Mencuri Atau Mengemis

TRADISI ALAHAN: 
'MANGUTANG' BUKAN MENCURI ATAU MENGEMIS
Tulisan Ke-3 Berkaitan Alahan dan Tradisi Mengutang

Selepas waktu Isya, selesai mengaji di surau beberapa orang remaja laki-laki sudah mengatur rencana, apalagi pada waktu libur sekolah pada hari Minggu. Besok subuh mereka bangun kira pukul 04.00 atau 05.00 wib jelang waktu sholat subuh. Dengan berjalan kaki menuju Muara (tempat ikan bilih akan diambil pada alahan). Subuh yang dingin dan gelap itu tidak menjadi halangan bagi mereka. Toch... senter atau andang (daun kelapa kering diikat lalu dinyalakan) dapat dijadikan penerangan selama berjalan.
Setengah jam perjalanan para remaja itu sampai di muara. Jika mereka lebih dulu sampai dilokasi alahan mereka terpaksa menunggu si pemilik alahan sampai memperlihatkan aktivitas tanda-tanda akan mengambil ikan bilih yang sudah terkurung diantara hirok-hirok yang. Jika didapati pengambilan ikan alahan sedang berlangsung mereka tinggal bergabung dengan remaja lainnya. Para remaja itu berbaris dibelakang pemilik yang sedang menggiring ikan-ikan dari ujung alahan arah hulu ke ujung arah muara.

2353: ‘Jejak Terakhir Kettingganger’

2353:
‘JEJAK TERAKHIR KETTINGGANGER’

Judul diatas bukanlah judul sebuah novel, cerita pendek maupun bersambung, apalagi judul sebuah sinetron atau film layar lebar. Tapi ia bisa menjadi itu semua, karena banyak kisah tentang ‘manusia rantai’ yang hidup masa perbudakan buruh tambang batubara Ombilin di Sawahlunto pada era kolonial Belanda. Bila merujuk pada pembangunan infrastruktur penting tambang, terutama pembangunan jalur kereta api Emmahaven-Sawahlunto (1891-1894) dengan mengerahkan banyak tenaga paksa. Apa artinya? Para buruh paksa yang notabene sebagain besar kettingganger (orang rantai) dalam istilah Belanda, sudah ada sebelum tambang batubara Ombilin-Sawahlunto di ekploitasi. Bukankah tambang sendiri baru mencapai produksi pertamanya tahun 1891? Kemudian pengerahan para kettingganger itu baru dihentikan pada tahun 1938,[1] setelah berpuluh tahun dijalankan.
2353, juga bukanlah angka keramat atau nomor buntut. 2353 adalah sebuah angka yang terpahat pada sebuah nisan makam ‘orang rantai’. Nomor apakah gerangan yang terpatri pada nisan yang terbuat dari coran berbahan kerikil pasir itu? Beragam penjelasan dan interpretasi sampai pada dugaan karena sumber data sejarah sangat minim ditemukan untuk mejelaskan perihal nomor pada nisan makam orang rantai tersebut. Diantaranya menyebutkan nomor pada nisan tersebut adalah nomor register orang rantai semasa bekerja ditambang. Nomor register orang rantai itu sebagian dari mereka mencapkannya ke tubuh dekat bagian pergelangan tangan dengan mentatto bahkan dibuat menyerupai stempel/cap panas. Secara perorangan atau kelompok sesama teman kerja dan atau oleh perusahaan. Namun tertulis yang menjelaskan akan proses seperti ini tidak didapatkan. Kecuali dari cerita lisan para tetua pensiunan tambang, atau cerita turun temurun yang menjadi ingatan kolektif masyarakat.
Versi lainnya adalah itu, hanya merupakan nomor nisan biasa. Penomoran untuk kepentingan penyelenggaraan administrasi data perusahaan. Bisa juga benar, bisa juga tidak. Kalau memang iya sebagai penomoran nisan saja untuk buruh-buruh yang sudah meninggal. Artinya ribuan buruh yang meninggal. Sebab bila diamati pada nisan-nisan yang berhasil diinventarisir terdapat mulai dari nomor yang rendah mulai puluhan (2  digit) hingga ribuan (4 digit) seperti halnya nomor nisan 2353, dan masih terdapat agak lebih tinggi dari hitungan dua ribuan itu.   
Temuan-temuan berangkat dari penjelasan dan keterangan para orang tua-tua Sawahlunto yang pernah dimintai keterangan menjelaskan bahwa dulu terdapat lokasi khusus sebagai pemakaman ‘orang rantai. Keberadaannya sekitar dikaki bukit Puncak Polan/Sugai, dalam kawasan Air Dingin, Kecamatan Lembah Segar[2], tidak begitu jauh dari komplek Museum Goedang Ransoem kota Sawahlunto. Bagaimana dengan jejak sejarah manusia perantaian itu hingga hari ini?
Berdasarkan keterangan yang menunjukkan makam ‘orang rantai’ berada dalam kawasan tersendiri. Peninjauan lapangan pun dilakukan meliputi wilayah Air Dingin, Tanjunga Sari-Aur Mulyo.
Kondisi awal dipertengahan tahun 2005[3] hingga 2008, kentara ditemui pada kawasan yang rekomendasi adalah; pertama sekitar kawasan makam ditemui dominan makam baru. Kedua; Beberapa nisan makam ‘orang rantai’ ditemukan sudah tidak pada posisi seharusnya terpasang, alias copot atau sengaja ditanggalkan untuk membuat makam baru kemungkinan besar. Kalau demikian makam lama jejak orang rantai itu, sudah terdesak dan bahkan  tergusur makam baru
Penelusuran terus dilakukan, karena tujuan belum tercapai ingin menemukan dan berharap makam hero tambang batubara di Sawahlunto itu masih ada. Pergerakan dari Air Dingin diarahkan ke Tanjung Sari dan Aur Mulyo. Ketiga; Satu ciri-ciri makam orang rantai sebagaimana diinformasikan ditemukan di Tanjung Sari. Nisan itu bertuliskan angka 2532, tidak memiliki jirat dan dalam keadaan In Situ. Posisinya berada dekat rumah penduduk, dapat dikatakan dihalaman rumah penduduk. Kondisi makam juga sudah banyak ditumbuhi semak dan berlumut. Ini dia yang cari-cari, susah betul. Padahal menurut keterangan masih banyak penduduk menjumpainya dalam jumlah ratusan hingga tahun 1980-an pada posisinya (In Situ). Apalagi kalau ditarik jauh kebelakang dan mengingatkan jumlah angka buruh tambang Ombilin-Sawahlunto yang mencapai ribuan. Dimana sebagian besar mereka adalah para perantaian sejak awal tambang dibuka diawal abad-19 hingga tahun 1938.
Meskipun sudah ditemukan yang sebuah makam pada bagaimana poisi sebenarnya, kondisi dan fakta mendorong untuk menelusuri kondisi lainnya. Berpuluh-puluh nisan terus ditemukan dalam keadaan yang menguatkan bahwa yang benar-benar In Situ hanya 2353, informasi penunjuk lainnya tinggal memori dan ingatan kolektif masyarakat lama Sawahlunto saja sepertinya.
Keempat; coba ayo....! bagaimana sampai berani dan teganya oknum masyarakat menjadikan nisan orang rantai sebagai bantalan jembatan diatas got saluran air, pagar taman bunga di halaman rumah, sebagai injakan tangga menuju rumah atau tangga pada gang  jalan umum. Bagi saya pribadi yang lebih membuat merinding adalah menjadikan nisan makam orang rantai sebagai pelengkap bahan membangun bagian rumah penduduk. Ada masyakat yang mengaku bahwa dibawah lantai bagian rumahnya terdapat nisan orang rantai yang disusun sebagai pengeras dan pemadat tanah sebelum dipasang lantai semen. Ada lagi yang menjadikannya sebagai penganti batu dan bata untuk membuat pondasi piring-piring atau teras rumah. Ada-ada saja ya?
Keterangan dilapangan selama penelusuran. Kelima; makam-makam itu satu periode memang ada oknum yang membongkar, tapi bukan untuk membuat makam untuk orang yang baru meninggal. Namun ada yang diburu dan diambil dari nisan makam itu. Kami juga menjadi heran, apanya yang diambil, sebab fakta sebelumnya yang ditemukan hanya dimanfaatkan untuk beberapa kegunaan seperti dijelaskan diatas.
Oow.... ini lain lagi ceritanya, pembongkaran sesi ini sekaligus merusak dan meobrak -abrik nisan. Aksi itu dipicu urusan besi tua. Lho.... apa hubungannya dengan nisan yang terbuat dari semen coran itu. Diluarnya memang terlihat utuh sebagai paduan pasir kerikil dan semen. Di dalam coran itu ternyata terdapat batangan besi yang menjadi kerangka nisan. Tujuan dipasang besi itu sudah jelas agar struktur nisan menjadi kokoh kiranya, pantasaan beratnya.
Sekitar bulan November 2008 survey dan peninjauan lapangan kembali dilakukan. Namun apa yang ditemukan sangat mengecewakan. Sebab satu-satunya nisan bertuliskan angka 2532 ditemukan dalam keadaan dibongkar.
Keadaan yang memprihatinkan itu diperlukan sebuah tindakan. Untuk itu pada tahun 2008 yang lalu Bidang Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto telah melakukan penyelamatan dengan mengumpulkan nisan-nisan yang berserakan dan tersebar diberbagai tempat seperti rumah dan pekarangan penduduk di Air Dingin, Tanjung Sari dan Aur Mulyo. Bekerjasama dengan masyarakat hingga saat sekarang sudah terkumpul +70 nisan dengan berbagai kondisi. Sementara kumpulan nisan itu ditempatkan dalam kawasan Museum Goedang Ransoem Kota Sawahlunto. Kita masih bersyukur masih ada yang dapat diselamatkan.
Nisan-nisan ini pernah diproyeksikan menjadi sebuah monumen yang akan disatukan dengan situs bekas Penjara Orang Rantai di Sungai Durian. Pemerintah kota dalam hal ini tidak bekerja sendiri, sebagaimana selama ini telah dibantu oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dalam menangani Benda Cagar Budaya di Sawahlunto serta pihak lainnya.
Visi dan Misi baru masa depan Sawahlunto sesungguhnya mengarahkan dan berharap juga pada kesadaran serta peran serta masyarakat dalam melestarikan kemasalaluan Sawahlunto. Apalagi menyangkut aset masa lampau yang akan menjadi bagian menata kehidupan dengan visi misi baru. Rekonstruksi masa lalu Sawahlunto mau tidak mau menjadi keharusan sebagai sebuah sendi yang akan memperkuat identitas Kota Wisata Tambang yang dicita-cita dan perjuangkan.
Proses alam memang sulit dihindari, namun perilaku buruk manusia bisa menjadikannya hancur lebih cepat. Sesungguhnya ini merupakan sebuah potensi yang akan menambah perbendaharaan Objek Wisata Sejarah dan Ziarah Kota Wisata Tambang Sawahlunto. Masihkah kita mengabaikan warisan cagar budaya yang terdapat sekitar kita? Padahal jika kita mau mengambil manfaat darinya, tidak perlu dengan merusak apalagi sampai mengahancurkan.
Disini juga bahwa kesadaran memahami masa lalu untuk hari ini dan akan datang itu harus. Sebab hari ini tidak akan mempengaruhi masa lalu, tapi hari ini adalah sejarah yang akan mempengaruhi masa depan. Dan masa depan itu apakah pasti ada? Semua kita tidak akan ada yang bisa menjamin dan berkata bahwa ada. Mereka-reka itu yang bisa kemukakan. Mereka-reka atau mengira-ngira itu antara ada dan tiada. Jadi yang pasti sudah ada itu adalah masa lalu. Masa kini sedang berproses dan belum berakhir. Berbagai hasil final bisa terjadi. Sementara masa depan belum pernah dan baru akan terjadi. Seperti sebuah mobil yang akan melaju dengan kencang ke depan. Spion pun semakin berfungsi dan semakin sering dilihat untuk memastikan keadaan sekeliling samping kiri-kanan apalagi belakang. Lupa? Akan fungsi cermin kecil itu, bahaya siap menyambut. Demikian pula masa lalu, hendaknya menjadi alat ukur, tempat berkaca. Menoleh atau melihat kebelakang bukan berarti kita mundur, tapi untuk mengukur seberapa kecepatan untuk maju.


[1]Mengenai sejarah tambang batubara Ombilin-Sawahlunto telah dikupas
secara komprehensif lihat Erwiza Erman., Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik, Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996). Jakarta: Desantra, 2005.
[2]Lembah Segar sekarang, pada masa Belanda dikenal dengan Lembah Soegar (Soegar Kloof). Ada yang menafsirkan Belanda menyebut kawasan ini dengan Soegar, mengacu pada kata sugar dalam kata bahasa Inggris  yang bermakna gula dan berasa manis. Bagi Belanda yang dimaksud Soegar/sugar yang manis itu merupakan kiasan yang merujuk pada batubara yang terdapat dikawasan itu sangat berkwalitas dengan mutu kandungan kalori sempurna. Kalau batubara itu diangkat/diekploitasi akan mendatangkan banyak uang (gulden)kalau dipasarkan. Hasilnya tentu ‘manis’ sekali dinikmati.fakta peninggalan lobang tambang Soegar membuktikan perihal penambangan dan kwalitas batubara dikawasan Soegar Kloof (Lembah Segar). Warisan lobang tambang dan lorong-lorong perburuan batubara itu saat ini masih nyata dapat disaksikan. Bahkan sudah menjadi objek wisata tambang yang dapat dikunjungi. Objek Wisata Lobang Tambang Mbah Soero saat ini dikenal banyak orang. Objek Wisata inilah sesungguhnya yang dimaksud Lobang Soegar oleh Belanda. Hingga saat sekarang wisatawan/pengunjung masih dapat melihat posisi batubara dalam perut bumi dengan jelas dengan memasuki Lobang Tambang Soegar yang menjelma menjadi Objek Wisata Tambang Sawahlunto.
[3]Pada tahun 2005 pertengahan, kegiatan penelusuran, pemetaan, perburuan dan inventarisasi berbagai peninggalan sejarah Sawahlunto terutama terkait erat dengan berbagai sejarah tambang batubara dilakukan dalam upaya menjadikan berbagai potensi kesejarahan untuk menegaskan visi dan misi baru kota Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang pasca produktivitas tambang batubara yang kian melemah. Untuk itu sebuah lembaga Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman diwujudkan dengan harapan dapat menjalani fungsi dan tugas sebagaimana diamanatkan dalam SK. Walikota Sawahlunto Nomor: 12 Tanggal 14 Maret Tahun 2005 Tentang pendirian UPT. Peninggalan Bersejarah dalam lingkungan Kantor Pariwisata Kota Sawahlunto.

Sejarah Anyaman Pandan Paninggahan

MENGUAK SEJARAH PERKEMBANGAN 
ANYAMAN PANDAN PANINGGAHAN
     (1/2 dari Tulisan Berkaitan)

Peta Kerajinan Anyaman Pandan Sumatera Barat
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Usaha kerajinan tradisional sebagai warisan budaya pada setiap suku bangsa Indonesia, cukup potensial dikembangkan. Bidang kegiatan tradisi bernilai ekonomi ini cukup potensial dalam penyerapan tenaga kerja. Disamping itu juga memberikan sumbangan bagi peningkatan pendapatan masyarakat.[1] Kerajinan yang dimaksud adalah proses pembuatan berbagai macam barang dengan mengandalkan tangan serta alat-alat sederhana di lingkungan rumah tangga. Keterampilan di dapat dari proses sosialisasi dari generasi secara informal. Bahan baku didapatkan dari alam sekitarnya.[2] Bagi daerah Sumatera Barat banyak faktor yang dapat menunjang pengembang produk industri kecil dan kerajinan antara lain:

Sang Pelopor Diversifikasi Kerajinan Anyaman Pandan (pandanus handicraft) Paninggahan

Sang Pelopor Diversifikasi Kerajinan
Anyaman Pandan (pandanus handicraft) Paninggahan[1]
 (2/2 dari Tulisan Berkaitan)
Foto; Koleksi Pribadi Penulis
Mis, begitu panggilan akrabnya, bernama lengkap Misnawati Mukhtar. Dilahirkan di Paninggahan 13 Juni 1956 dari rahim ibu Nurlela Aoetad dengan ayah Mukhtar Mohamad Syah. Misnawati Mukhtar kecil, lebih banyak di rantau bersamanya ayahnya. Mukhtar Mohamad Syah, ayah Misnawati Mukhtar adalah perantau dengan profesi pedagang yang selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Hal itu dilakoni dalam usaha mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.

Cerita Rakyat/Folklore: Si Timbago

Cerita Rakyat/Folklore:
 si TIMBAGO

Menguak Arsip Kantor Wali Nagori Silungkang tentang ‘Stambul Perang dan Kejayaan Bala Tentara Silungkang dan Kubang Atas Kerajaan Sitimbago’.[1] Demikian judul tulisan  yang dimuat dalam sebuah edisi bulletin SILUNGKANG Koba Anak Nogari yang terbit tahun 2003 lalu. Sebuah judul tulisan yang menarik perhatian saya, apalagi berangkat dari catatan arsip. Setelah saya baca hingga akhir tulisan, tidak saya dapatkan satupun penjelasan waktu kapan peristiwa itu terjadi. Mungkin karena pikiran saya dari sudah direcoki hukum penulisan kajian sejarah yang terikat waktu, ruang dan pelaku serta apa dan bagaimana kejadiannya (5 W + 1 H)

Bahasa Tansi Sawahlunto: Bahasa 'Kreol Buruh' Pertama Di Indonesia


Bahasa Tansi :
Satu Bahasa Ibu Dan Identitas Yang Terabaikan
Oleh:
Elsa Putri Ermisah Syafril (Penulis Kamus Bahasa Tansi)

I. Sejarah Masyarakat Tansi

Sejarah pertambangan yang sekaligus menandai perubahan Sawahlunto dari areal persawahan dan perladangan menjadi sebuah Kota Arang Modern bermula dari penemuan kandungan batubara di Timur Singkarak pada tahun 1851 oleh Ir. C. De Groot dan penemuan lapisan batubara di Ulu Air, lembah bukit yang tidak berpenghuni di daerah aliran batang Ombilin pada tahun

Teknologi Uap, Kereta Api Dan Kehadirannya Di Sawahlunto-Sumatera Barat

TEKNOLOGI UAP, KERETA API DAN KEHADIRANNYA
DI SAWAHLUNTO-SUMATERA BARAT

Sumber: Foto Elizabet. Doc. MgR
Penemuan mesin uap di Eropa Barat di abad ke 18 telah membawa perubahan dramatis untuk pembangunan berbagai industri berbasis tenaga uap. Mesin-mesin diciptakan dan diproduksi secara besar-besaran untuk berbagai kepentingan manusia diberbagai belahan bumi. Pada kereta api lokomotif uap dan kapal uap misalnya dirancang sebagai transportasi massal barang maupun penumpang didarat dan laut.
Teknologi mutakhir dieranya itu membutuhkan bahan bakar batubara atau juga kayu sebagai sumber energi. Periode teknologi uap memacu peningkatan cepat penggunaan batubara dalam berbagai jenis industri dan transportasi (kereta api dan kapal uap). Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pemakaian tenaga uap dan terkorporasinya batubara ke dalam pasar Internasional, telah membawa perluasan yang cepat dalam jaringan perdagangan dunia dan dalam pertumbuhan kapitalisme Barat.[1]
Penemuan teknologi baru dalam bentuk mesin uap itu telah mendorong banyak negara di dunia untuk mencari sumber-sumber batubara baru. Negara-negara di Asia Timur seperti Jepang dan Cina tidak mau ketinggalan dalam pembukaan tambang batubara dan jalur kereta api.[2] Pada abad ke 19 dan 20, Cina menjadi satu-satunya produsen batubara terbesar di dunia, sementara Jepang terbatas tidak hanya mengeksploitasi tambang-tambangnya sendiri di dlam negeri, tetapi juga begitu intensif memperluas usaha yang sama di Cina. Dinegara-negara Asia lainnya, seperti Vietnam, Malaysia dan Indonesia, pembukaan tambang batubara bisa jadi dipertimbangkan memberi sumbangan terhadap eksploitasi inperalisme dan kapitalisme Barat di negara-negara yang menjadi koloni mereka masing-masing.[3]
Permintaan batubara terus miningkat, tidak lagi penggunaannya sebatas pemanas ruangan pada musim dingin di negeri-negeri Eropa, memasak makanan dan untuk berbagai keperluan rumah tangga lainnya. Tetapi lebih dari itu adalah untuk keperluan berbagai. Jumlah batubara di konsumsi dalam skala besar oleh kereta api, kapal uap dan untuk berbagai jenis industri. Karena itu, sebelum penemuan minyak dan sumber bahan bakar lainnya, batubara berperan penting dalam mendukung berbagai kegiatan perekonomian.[4]
Serangkaian bukti telah  menunjukan pengaruh yang besar penggunaan batubara untuk perkembangan industri dan transportasi. Salah  satu contoh penting ialah eksplorasi ladang batubara yang baru dan pembangunan jalur kereta api di banyak negara. Misalnya Inggris yang merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia, pembangunan rel kereta api pertama dari Stockton ke Darlington dalam tahun 1825, menghubungkan ladang batubara Durham dengan daerah pantai (Wolf 1982:291). Banyak negara lain seperti Perancis, Jerman dan Spanyol memberi cukup bukti ketertarikan mereka terhadap batubara. Selama abad ke-19, negara-negara ini intensif sekali mencari persediaan-persediaan batubara dan eksploitasinya. Penemuan sumber-sumber batubara baru bertepatan dengan pembangunan jalur kereta api.[5]
Di Hindia Belanda (Indonesia sekarang), cadangan batubara pertama di temukan di Penggaron, Kalimantan pada tahun 1848. Pertambangn di buka oleh Gubenur Jenderal J.J Rochussen dan dinamakan ”Orang Nassau”. Hampir seluruh produksi batubara dari tambang ini di gunakan oleh Angkatan Laut Belanda yang sedang berusaha menundukan Kerajaan Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Meskipun, produksinya menjanjikan pada mulanya, akan tetapi usaha pemerintah Belanda untuk mengeksploitasi batubara di Penggaron boleh dikatakan gagal. Tambang yang di operasikan menggunakan tenaga kerja yang murah, sebagian besar buruh paksa dari Jawa dan Madura, akan tetapi biaya-biaya transportasi dari pusat produksi  ke pelabuhan, terlalu tinggi. Tambang ini memproduksi tidak lebih dari 80.000 ton saja.[6]
Gagalnya aksploitasi tambang di Penggaron Kalimantan tidak mengurangi semangat para geolog Belanda. Penelitian di tempat-tempat lain segera menyusul, dan bahkan hasilnya jauh lebih menguntungkan . Penelitian mereka khususnya di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera. Rangkaian penelitian ini langsung membawa pembukaan sekurang-kurangnya dua tambang batubara lainnya yang dianggap penting di Kalimantan pada penghujung abad ini. Pertama tambang batubara yang di usahakan oleh perusahaan swasta Belanda, yaitu  Oost Borneo-Maatschappij yang beroperasi pada tahun 1882 (Lindblad 1985;182) dan kedua adalah tambang pulau laut yang awalnya dioperasikan oleh perusahaan  Swasta, kemudian diambil alih oleh pemerintah Kolonial Belanda (Baks 1989). Di Sumatera, W.H.de Greeve, seorang ahli geologi muda Belanda pada 1868, menemukan kandungan batubara di Ombilin dan melaporkan kandungan alamnya serta potensi ekonomi pada negara atau pemerintah pusat di Batavia. Laporan de Greve itu di publikasikan pada tahun 1871 dengan judul ”Het Ombilien-kolenveld iin de Padangsche Bovenlanden en het Transportstesel op Sumatra’s Weskust.[7]
Penemuan dan ekploitasi batubara Ombilin-Sawahlunto bagai gula-gula dan daya magnet dengan kekuatan luar biasa. Bagaimana tidak, batubara sumber daya energi yang diburu-buru itu memaksa teknologi uap Eropa itu haadir di Sawahlunto. Negeri yang hanya sebuah desa terpencil dan dikeliling belantara hutan. Sejak kepastian hasil temuan para geolognya, Pemerintah Kolonial mulai membangun jalan kereta api dan sebuah pelabuhan di Padang. Pembangunan jalan kereta api antara Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) dan Padang Panjang di bawah pengarahan insinyur Ijhzerman. Kemudian pada tahun 1892 ini disusul dengan pembukaan jalan kereta api antara Padang Panjang dan Muaro Kalaban. Seterusnya dibangun jalan kereta api yang menghubungkan Muaro Kalaban dan Sawahlunto dengan menembus bukit batu sepnajng hampt 1 Km (835 Meter) yang selesai pada tahun 1894. Dengan demikian pembangunan jalan kereta api sepanjang 155,5 km antara Teluk Bayur dan Sawahlunto selesai, dan pada tahun yang sama, pembangunan Pelabuhan Emma di rampungkan.[8]
Dengan selesainya jalur transportasi angkutan batubara, kereta api lokomotif dengan teknologi uapun mengambil peran utama dalam trasportasi batubara Sawahlunto-Emmahaven (Telukbayur) Padang. Masyarakat sepanjang lintasan yang dilalui kereta api pun dari keherannya menjadi terbiasa mendengar ‘garesoh-paresoh[9] kereta api yang lewat hilir mudik dengan muatan batubara. Sekali waktu kereta api dapt pula dinaiki karena juga melayani angkutan penumpang dan barang.
Selain kereta api lokomotif uap, juga hadir di Sawahlunto teknologi uap lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kubang Sirakuak. PLTU yang dibangun pada tahun 1894 itu ditujukan sebagai pemenuhan kebutuhan energi listrik ditambang batubara dan bagi kehidupan Kota Tambang Sawahlunto dengan segala sarana pendukungnya yang membutuhkan listrik. Kita dapat bayangkan ditahun baheulak Sawahlunto sudah memiliki listrik dari tenaga uap. Aktivitas tambang yang semakin meningkat, mendorong Belanda menambah kapasitas listrik . PLTU ke-2 pun dibangun dikawasan Salak dipinggir batang Ombilin.
Kalau teknologi uap a yang diterapkan pada kereta api lokomotif uap, kapal laut uap, dan listrik tenaga uap (PLTU) barangkali sudah lazim dan bias kita dengar. Namun adalagi teknologi uap yang lebih fenomenal hadir di Sawahlunto yaitu, tekonologi uap yang diterapkan pada sistim memasak di dapur umum perusahaan tambang yang berlokasi di Air Dingin sekarang (Lembah Soegar dalam sebutan Belanda). Dapur umum yang dibangun tahun 1918 ini berada dalam satu komplek kawasan. Sebuah kemajuan teknologi memasak skala besar dapat kita jumpai jejak dengan kontras hingga hari di Sawahlunto. Bekas dapur umum dengan berbagai bekas peralatan memasaknya yang serba ‘raksasa’ masih dapat disaksikan disini sebagai benda koleksi Museum Goedang Ransoem Kota Sawahlunto yang di resmikan sejak lebih lima tahun lalu (17 Desember 2005) oleh wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla.


[1]Erwiza Erman., Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik, Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996). Jakarta: Desantra, 2005. Hal. 26
[2] Ombilien-kolenveld 1884;843., dalam, Ibid.,
[3]ibid
[4] ibid
[5]Ibid
[6]van Lier., dalam Erwiza Erman Ibid., hlm.28-29
[7]Erwiza Erman., Ibid., hlm.
[8]Erwiza Erman., Ibid, Hlm. 65
[9]Garesoh paresoh’ istilah lokal masyarakat Minang dalam menyebut efek bunyi dari berbagai perpaduan aktivitas kerja lokomotif uap yang terdengar asing mulai dari gesekan roda besi dengan rel besi dan bunyi yang ditimbulkan dari mesin dengan tekanan dari piston uap sehingga menimbulkan bunyi yang khas.