Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat

Lanjutan......
Dari DOKTOR BATANG PISANG-sekali berbuah setelah itu mati-
Sampai GURU BESAR HANYA NAMA (GBHN): Nestapa Kaum Intelektual di Sumbar

III. Induksi dan Deduksi 
Jika dicermati dua bagian di atas, saya berusaha (mungkin saja berhasil atau malahan gagal total) mengungkapkan satu fenomena intelektual di Unand dalam bahasa dan kasus yang populer juga. Adapun kaitannya dengan pelatihan ini adalah upaya mengungkapkan karya yang hendak dihasilkan haruslah menyentuh persoalan yang terjadi di sekitar kita ataupun yang aktual dan yang awet. Menurut hemat saya, menulis buku, baik buku ajar maupun ilmiah, hendaklah populer. Populer di sini diartikan mulai dari pilihan kata yang mudah dicerna (dengan demikian ini menyangkut fungsi bahasa yang tak hanya sebagai alat komunikasi semata, apa lagi slogan asal bisa dimengerti saja, tetapi juga bahasa sebagai alat untuk berpikir) sampai persoalan hidup orang banyak (jangan tanyakan kepada saya bagaimana mempopulerkan kata-kata dalam buku-buku matematika, kimia ataupun teknik. Itu bukan bidang saya dan yang lebih penting lagi adalah saya juga bukan Prof.). Kalau bahasa dan kasus yang dikemukakan dalam buku (baik buku ajar maupun buku lainnya) tidak populer ataupun menyangkut hidup orang banyak, siapa yang mau mendanai, apalagi  membacanya. Bisa-bisa karya yang telah ditulis dengan susah-payah itu masuk keranjang sampah. Siapalah penulis yang suka hal-hal seperti ini.
Pilihan kasus sesungguhnya menjadi amat penting. Barangkali, spesialisasi bidang yang dikembangkan menjadi pedoman pokok bagi penulis buku ajar. Misalnya, seorang dosen hukum mengambil hukum anti korupsi sebagai spesialisasinya. Seorang dosen Studi Pembangunan mengambil Ekonomi Internasional sebagai keahliannya. Dengan cara ini, semua tulisan yang dibuat itu dikaitkan dengan keahlian yang diambilnya. Hal yang berkembang di Unand adalah ilmuan mini market yang memberi komentar di koran-koran dalam banyak hal, yang serba tanggung dan serba sedikit. Pokoknya, kalau ada wartawan bertanya, maka harus dijawab (popularitas menjadi orientasi lainnya, selain jabatan di atas).
Dalam penulisan ilmiah populer, hal yang utama adalah menjalin komunikasi dengan khalayak pembaca. Pangsa pasar dari buku yang ditulis haruslah dipikirkan juga. Saya menulis buku berjudul Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang Isu, Strategi dan Dampak Gerakan. Dari awal menulis, saya sadar betul bahwa buku ini adalah bacaan aktifis LSM dan aktifis mahasiswa dan pemerhati masalah sosial. Karena pangsa pasarnya kelompok itu, maka saya pun  menggunakan bahasa yang akrab dengan dunia mereka. Bahasa di sini bukan hanya terbatas dalam arti pilihan kata, akan tetapi juga kasus-kasus yang mereka hadapi. Simak misalnya prolog sebuah tulisan saya di bawah ini :
Contoh 6
Sekitar pukul 6 pagi, di bulan Desember 1995 lalu, sebuah truk Fuso memasuki desa Kota Medan, sebuah desa terpencil di pedalaman kabupaten Indragiri Hulu, Riau untuk menjemput penumpang langganannya. Satu per satu penduduk menaiki Fuso itu sampai jumlah mencapai 150-200 orang. Menjelang pukul 7, setelah semua penumpang naik, maka truk itu pun menuju lokasi kerja yang letaknya antara 7 sampai 10 km dari kampung mereka. Masyarakat setempat menyebutkan mereka itu adalah “pegawai Bank Dunia”. Hal yang menarik adalah bagaimana mungkin sebuah bank yang dianggap hebat, luar biasa, dan sebuah bank yang memiliki gengsi internasional memiliki karyawan yang hanya diangkut pakai truk dan di atasnya disusun seperti ikan sarden saja. Jika diamati secara teliti, mereka ini sesungguhnya adalah buruh perkebunan besar yang dimiliki oleh orang-orang kaya Jakarta. Namun, karena biaya perkebunan itu merupakan utang ataupun penyandang dananya adalah Bank Dunia, maka buruh  itu dikatakan masyarakat setempat sebagai pegawai Bank Dunia.

Selain itu, kebenaran fakta yang kemudian dibungkus dengan bahasa yang komunikatif menjadikan buku ajar menjadi menarik untuk dibaca. Bahkan, setiap penulis memiliki gaya masing-masing sehingga menjadi trade mark. Banyak gaya yang digunakan orang untuk menulis. Setiap mereka memakai gaya masing-masing. Pilihan kata pun telah dijadikan penulis sebagai ciri khasnya. Misalnya satu buku ditulis oleh tiga atau empat orang. Pembaca akan tahu bahwa yang dominan dalam penulisan itu adalah si A, misalnya. Penilaian orang itu berdasarkan pada kuatnya pilihan kata dan gaya bahasa yang ia gunakan.
Secara umum, gaya penulisan ini dapat dibagi atas dua, yaitu induksi dan deduksi. Gaya induksi, biasanya dari khusus ke umum, sedangkan gaya deduksi dari hal-hal umum ke hal khusus.  Misalnya saja dengan gaya induksi, ketika kita ingin menulis tentang Islam di Minangkabau, maka kita dapat saja memulai dengan realitas sosial yang terdapat dalam masyarakat. Namun, jika kita memulainya dengan hal-hal yang ideal tentang Islam itu sendiri, maka gaya deduksilah yang digunakan. Contoh di bawah ini dapat dilihat sebagai bentuk deduksi tentang Islam di Minangkabau :
Contoh 7
Sholat Magrib di Sikabau
Kumandang azan magrib sesungguhnya menyeruak sampai ke pelosok nagari. Dibantu dengan pengeras suara, maka suara orang  azan akan sampai dalam radius 3 km. Artinya, azan satu mesjid sudah cukup mengingatkan orang Sikabau yang berjumlah sekitar 3 ribu orang itu untuk salat Magrib ke masjid. Ketika saya menginjakkan kaki di masjid, (sebuah masjid yang megah dan besar, barangkali dapat menampung 100 jamaah),  yang saya temui adalah orang–orang tua yang sedang sembahyang. Ada 14 laki-laki, dan 7 perempuan yang merupakan jamaah yang mengisi salat magrib di masjid Sikabau. Lantas, yang lainnya bagaimana ? Satu hal yang pasti, anak-anak muda masih asyik di warung-warung. Ibu-ibu asyik mengasuh anak. Sementara itu, sebuah surau kecil yang jaraknya 50 meter dari masjid itu sedang berlangsung pula salat berjamaah sekitar 50 orang. Dengan gambaran seperti itulah Islam menjadi agama utama yang dianut dalam masyarakat. Satu pertanyaan ingin diajukan, masihkah agama menjadi tawaran yang menarik bagi masyarakat ?
Realitas sosial di atas bisa jadi merupakan realitas Minangkabau hari ini atau hanya berlaku di Sikabau. Namun, di banyak tempat masjid memang sudah jarang dikunjungi oleh jamaahnya kecuali satu minggu pertama Ramadhan atau hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun dikatakan Minangkabau ini sebagai wilayah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, maka realitasnya adalah slogan saja. Masjid, sebagai mana contoh 1 di atas sebagai pusat gerakan Islam justru sudah lama ditinggalkan umatnya. Bisa jadi ini sebagai ketidakpercayaan masyarakat terhadap ulama atau memang agama sudah tidak menjadi tawaran yang menarik sebagai ideologi. Ibarat kompleks perumahan, Islam di Minangkabau yang berdasarkan ‘Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah’ hanya ada di spanduk-spanduk saja.
Tentu saja orang Minangkabau tidak mau negerinya dikatakan seperti contoh di atas. Akan tetapi, realitas sosialnya bagaimana ? Di wilayah mana hukum adat dan hukum agama itu berlangsung ? Kewajaran seperti ini merupakan cerminan realitas dalam masyarakat. Minangkabau ataupun Sumatra Barat tidak terlepas dari persoalan ini. Berbagai persoalan di atas secara nyata juga menjadi bagian keseharian dalam masyarakat nyaris di antero negeri. Penerimaan massa akar rumput bisa jadi atas ketidaktahuan mereka ataupun sikap apatis dan muak yang sudah sampai ke ubun-ubun.  Pada gilirannya, di negeri yang adat dan agama menjadi simbol –setidaknya ini terungkap dalam pepatah petitih-  itu hanya masih terbatas pada kata-kata yang ditulis di spanduk-spanduk di pinggir jalan ataupun slogan-slogan kosong yang diucapkan dalam rapat-rapat umum di lapangan sepak bola, seminar di ruang ber-AC, ataupun  khotbah di atas mimbar saja.
Contoh lain misalnya peranan perempuan di Minangkabau. Sering dikatakan bahwa perempuan Minangkabau memiliki peran sentral dalam bidang politik, ekonomi – terutama harta pusaka. Bahkan perempuan Minangkabau dijunjung tinggi dalam sistem masyarakat. Secara ideal akan ditemukan hal-hal demikian. Namun, dengan gaya induksi, akan dilihat realitas yang bertolak belakang dengan hal yang ideal itu. Contoh di bawah ini mencoba mengungkapkannya:
Contoh 8
Dalam sebuah acara pengangkatan penghulu, saya menyaksikan suatu peristiwa yang sungguh sangat menyedihkan. Biasanya jika ada pengangkatan penghulu, istri pak datuk itu pun diberi juga pakaian kebesaran adat dan mereka berdua pun diarak dari rumahnya ke balai adat. Sewa pakaian itu sangat mahal dan biasanya disewakan oleh tukang salon yang sekaligus menghiasi sang istri dengan tujuan supaya istri dari penghulu itu nampak cantik jelita. Setelah tiba di pintu balai adat, maka istri penghulu itu pun tinggal di luar sementara penghulunya masuk ke dalam untuk melaksanakan pelantikan penghulu. Istri penghulu yang berpakaian mahal tadi jadi terabaikan. Tak seteguk air pun yang disuguhi saat itu, padahal dia sudah capek berjalan di terik matahari yang begitu panas. Kalau penghulu yang di lantik, maka di dalam tersedia minuman dan makanan yang terhidang rapi di depan mereka. Penghulu itu juga tidak sadar, dengan santainya ia pun makan di dalam tanpa mengingat istrinya yang di tinggalkanya di luar. Di sini saya melihat begitu tak berharganya perempuan di mata para penghulu itu.
Masalah perhargaan terhadap perempuan ini memang hanya terungkap sebatas slogan. Bahkan,  nasib perempuan ataupun kelompok yang dimarginalkan memang sudah dipinggirkan dalam sejarah negeri ini. Tambang batubara yang menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau misalnya, justru di sana kelompok yang marginal sudah mengalami penderitaan sepanjang abad tambang itu berdiri. Secara induktif, hal itu dapat ditulis seperti  contoh di bawah ini:
Contoh 9
Tanpa belas kasih, segerombolan orang yang kakinya dirantai dan dihubungkan satu kaki dengan kaki lainnya digiring pada lobang-lobang penggalian. Tidak kurang, satu regu polisi bersenjata terhunus mengawasi dengan muka ketat para pesakitan untuk bekerja. Bahkan, pada saat bekerja pun kaki mereka tetap dirantai sehingga keleluasaan untuk bergerak sangat terbatas disebabkan oleh ikatan rantai pada saat menambang. Namun, apa boleh buat, mereka tidak punya pilihan lain, kecuali mengikuti aturan kerja paksa yang diberikan kepada mereka. Menyimpang dari ketentuan itu, maka senjatalah yang akan berbicara. Perlakuan seperti ini sudah menjadi biasa setiap harinya. Sementara itu, tidak satu pun kekuatan yang dapat melawan majikan yang telah memperlakukan buruh secara sewenang-wenang. Demikian jeleknya perlakuan yang mereka terima, sampai pada satu titik bahwa nilai-nilai kemanusian pada buruh tambang pun terkikis habis. Surat kabar Soeara Tambang melukiskan perlakuan buruk yang diterima buruh tambang itu bahwa nasib buruh pada perusahaan tambang batubara Ombilin lebih jelek dari nasib hewan.  
           
Corak lain dari  penulisan seperti ini dapat juga diambil berdasarkan syair-syair lagu. Merantau misalnya sebagai budaya masyarakat Minangkabau, maka jika kita menulis tentang merantau ini, kita dapat saja menulis tentang konsep merantau, kebiasaan merantau, dan seterusnya. Dengan gaya sendiri, kita juga bisa memulai dengan syair lagu, misalnya :
Contoh 10
Uda bajalan padamlah palito
Kasia nasib Da ka den kadukan
Kampuang den jauh sanak tiado
Denai jo sia uda tinggakan
Onde... Gunuang Marapi... Gunuang Singgalang
Oii...talong caliakkan kasiah ati den nan den tinggakan
Antaro pintu nan jo halaman
Uda den nanti
antara pintu nan jo halaman
Bapisah bukan nyo bacarai...

Contoh 11
Di taluak bayua
Uda den lape
Disinan pula onde da
Denai mananti
Raso ramuak hati nan jo jantuang
Mancaliak uda basandiang tangan jo urang lain
Dua petikan lagu di atas sesungguhnya memperlihatkan dua syair tentang perpisahan dua kekasih dari orang Minangkabau yang merantau. Hanya saja, jika diamati keduanya memiliki nilai yang bertolak belakang. Di lagu pertama, mereka berpisah antara pintu jo halaman, sedangkan lagu kedua mereka berpisah di taluak bayua.  Pada lagu pertama,  memperlihatkan bahwa ia tidak akan meninggalkan rumah selama sang suami merantau. Hal ini mengingatkan kita pada kisah-kisah perang di zaman nabi ketika sang suami melarang istrinya pergi dalam keadaan apa pun juga. Lagu kedua, kesan yang muncul setelah berpisah di Taluak Bayua, bisa jadi di sepanjang jalan akan ada perempuan lain ataupun tempat lain yang disinggahi, sedangkan sang laki-laki membawa pulang perempuan. Jadi, kedua lagu di atas dapat saja dijadikan sebagai prolog dalam menulis tentang budaya merantau yang terdapat dalam masyarakat  Minangkabau.  Artinya, bentuk penulisan yang populer tidak harus menghendaki bentuk penulisan yang faktual, konseptual ataupun teoretis. Penulisan dapat saja dilakukan dengan gaya setiap penulis, selagi pesan yang disampaikan tercapai.

Gadut, Ramadhan 1424 H
Tentang Penulis:
           Drs. Zaiyardam Zubir, M. Hum lahir di Sumanik, Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 1962. Menyelesaikan studi S1 di Fak. Sastra UGM pada than 1988 dan kemudian menamatkan S2 di almamater yang sama pada tahun 1996. Sejak tahun 1988 menjadi pengajar pada Jurusan  Sejarah, Fak. Sastra Universitas Andalas. Selain rutinitas  sebagai dosen, peneliti pada  Pusat Studi Humaniora (PSH) Unand Padang, beberapa LSM seperti KPMM, Totalitas, LP2M,  PBHI. Pernah juga juga menjadi wartawan di Limbago,1992-1997, Lentera Indonesia 1997 –2001 dan Gelora Reformasi 2001- 2003. Karya yang telah diterbitkan  adalah :
1.    Zaiyardam Zubir,  “Orang Rantai, Orang Tambang dan Orang Lobang : Studi Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin, dalam Edy S. Ekawati dan Susanto Zuchri (Eds), Arung Samudra : Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya UI Jakarta,  2001.
2.    Zaiyardam Zubir, dan Harry B. Tanjung, Transparansi dan Capacity Bulding dari LSM Anggota KPMM Padang. Padang : Kerjasama Ford Foundation, 2002.
3.    Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang Issue, Strategi dan Dampak gerakan   Yogyakarta : Insist Press, Desember 2002.
4.    Zaiyardam Zubir, Lani Fitrianti , Lusi Herlina dan Dwi Bertha,  Partisipasi Politik Perempuan di Minangkabau.Yogyakarta: Insist Press, 2003
5.    Zaiyardam Zubir, Eka F. Putra, dan Harry Effendi, Gerakan Mahasiswa dan Otoritarisme Negara : sketsa Gerakan Mahasiswa Sumatea Barat 1958-1999. Jakarta : CPI, 2003.
6.    Zaiyardam Zubir dan Lindayanti, Dari Ahong Sampai Ahmad, Studi tentang Politik Kekerasan dan Jebakan kemisiskinan Pada Level Akar Rumput. Yogyakarta, Insist Press, 2004.
7.    Zaiyardam Zubir (eds.) Rakena, Mande Rubiah : Penerus Kebesaran Bundo Kanduang dan Dalam Penggerogotan Tradisi. Yogyakarta : Resist Book, 2004
8.    Zaiyardam Zubir dan Herwandi  (ed), Menggugat Minangkabau. Padang : Unand Press, 2006
9.    Zaiyardam Zubir, Pertempuran Nan Tak Kunjung usai : Eksploitassi Buruh Tambang Batu bara Ombilin 1891-1927. Padang : Unand Press, 2006
10. Zaiyardam Zubir, Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat. Padang : Diagonal Institute, 2007
11.  Zaiyardam Zubir (ed), 7 abad Penindasan Perempuan Minangkabau. (Proses Percetakan )
12.  Zaiyardam Zubir, Peta Konflik Di sumatera Barat (Proses Percetakan )