Cerita Sejarah Orang Rantai I (Bagian Kedua)

ORANG RANTAI: DARI PENJARA KE PENJARA
(Bagian Kedua-Dari Penjara ke Lobang dan Kembali ke Penjara)

”Kita dapat kuli-kuli baru”, dengan muka berseri-seri penuh semangat, Kepala tambang yang digelari Tuan Besar Ombilin mengawali pembicaraan dengan kepala Magistrate dan Kontrolir Belanda. Kita tak perlu tunggu lama tokh? Waah... waah... orang-orangnya gemuk ya, kuat masuk lobang”, lanjutnya meyakinkan lawan bicaranya di ruangan kantor utamanya di Saringan. ”Kita tak perlu melatih mereka, cukup dua atau tiga hari saja, kasih masuk mereka ke lobang selama 3 jam, keluarkan lagi. Hari berikutnya masukkan lagi sampai 5 jam. Hari ketiga, masuk kerja, jangan tunggu lama.
Gubernur Jendral melalui bawahannya di Batavia sudah mengirim telegram. Isinya, batubara Ombilin minta cepat dikapalkan, karena kereta api di Jawa hampir kehabisan stok. Kapal-kapal perang yang hendak ke Aceh tertunda, demikian juga kapal-kapal perang ke pulau Borneo, ke pulau  Selebes, Bali, Sumba, Sumbawa dan seterusnya. Kapal-kapal perang tak mungkin kita berangkatkan segera, takut tenggelam di perjalanan, karena kekurangan stok batubara. Kalau beli batubara dari Natal Afrika, harganya mahal. Alhasil rencana untuk menaklukkan daerah-daerah yang masih membangkang terhadap Belanda, tertunda pula, begitu diskusi para petinggi Belanda di Batavia.
       Didesak permintaan batubara yang tinggi, Tuan Besar Ombilin mengambil tindakan segera. Tanpa menunggu waktu lama, orang-orang rantai dibagi kerjanya, persis seperti pembagian kerja sapi gemuk dan sapi kurus. Mereka yang memiliki fisik yang kuat, yang gemuk, disuruh bekerja dalam lobang, memecah arang, memikul kayu-kayu balok berat ke dalam lobang untuk membuat penyangga lobang tambang. Pekerjaan di lobang memang berat. Tidak ada kata ampun. Para napi yang memiliki fisik yang lemah, disuruh menjadi perawat teman-temannya yang sakit atau melakukan pekerjaan ringan seperti menyeleksi batubara menurut ukurannya.
Kegiatan pertambangan dilakukan melalui tiga shift. Shift pertama mulai dari jam 6 pagi hingga pukul 2 siang. Shift kedua, mulai pukul 2 siang hingga pukul 10 malam, lalu kemudian digantikan oleh shift ketiga, mulai pukul 10 malam hingga pukul 6 pagi. Dua minggu sekali giliran regu-regu tersebut diganti, dengan susunan anggota yang tak berubah. Setiap regu terdiri 5 sampai 7 orang, dipimpin oleh seorang mandor. Saat bekerja setiap pekerjaan harus selesai dikerjakan oleh masing- masing mereka. Jika pekerjaan yang mereka lakukan tak selesai maka shift yang berikutnya tak bisa meneruskan kerja berikutnya. Bagi orang-orang rantai yang harus masuk kerja di pagi hari, sudah harus bangun lebih awal. Jam 4.00 pagi tong-tong dibunyikan oleh oppas tangsi, pertanda mereka harus bangun. ”Bangun..... bangun.... bangun, cepat kalian berkemas kalian harus apel pagi dan bekerja. Cepat...cepat, kalian punya waktu 10 menit untuk berkemas ”! Bentak oppas tangsi dengan suara tak pernah ramah.
Berbenah diri, mandi, sembahyang bagi mereka yang masih taat, sarapan pagi dengan kaki dan tangan diborgol, kemudian dirantai lagi bersama temannya. Hal ini disengaja oleh Belanda, agar mereka tidak mudah melarikan diri. Pada akhir tahun 1920-an, Pak Ibnu kecil bersama teman-temannya yang tinggal di Durian sangat senang mendengar gemerincing bunyi rantai kaki dan tangan orang rantai yang dikawal dari tangsi rantai ke arah Durian. Padahal Ibu dan Bapaknya yang menjadi kuli kontrak di Ombilin sangat ketakutan bila anaknya mendekati orang rantai. Jika dari kejauhan terdengar bunyi-bunyi rantai, Ibnu bersama teman-teman berlarian, duduk di pinggir jalan ke arah kampung Durian, menunggu pasukan  perantaian, dikawal para polisi tambang bersenjata.
Apel dimulai jam 5.00 pagi, berlangsung di dekat tambang. Mandor menyebut satu persatu nama. Entong? Usup? Mamang? Amat? Andi? dan seterusnya. Entong menjawab, hadir tuan. Mana si Usup? Tidak ada Tuan. Kemana dia? Tidak tahu Tuan? Si Usup yang ditanya sebetulnya sudah menghilang dari tangsi, melarikan diri ketika oppas tangsi sedang tidur nyenyak. Ia lari lewat pintu belakang dan bersembunyi di loteng rumah penduduk. Pada malam hari, ketika perut lapar, nasi dan lauk pauk di dapur habis, ludes semuanya. Untung si empunya rumah, Pak Ali Sutan Saidi tidak dianiaya dan bahkan heran, mengapa makanan mereka habis, dimakan oleh hantu yang sedang bergentayangan? Ah tidak mungkin pikirnya. Selidik punya selidik, akhirnya, ia baru tahu dari tetangganya yang melihat si Usup keluar dari rumah, ketika Pak Ali dan istrinya sedang di ladang. Si Usup tertangkap dan pada apel hari berikutnya,  ia menerima hadiah, tendangan bertubi-tubi dari sang mandor, yang berakibat badannya terguling-guling ke sana kemari disaksikan oleh kawan-kawan dengan tepukan tangan dan sorak sorai mereka.    
Ketika apel pagi selesai, orang rantai harus masuk lobang tambang. Satu persatu diperiksa oleh mandor yang berdiri di mulut tambang. Saku-saku baju dan celana diperiksa, badan diraba-raba dari atas sampai ke bawah, seperti petugas bandar udara  memeriksa semua penumpang yang masuk ruang tunggu saja. Kenapa diperiksa begitu ketat? Selain alat-alat tambang, korek api, rokok, keris dan benda-benda tajam lainnya sangat dilarang dibawa ke dalam tambang.  Buruk akibatnya, bisa terjadi kecelakaan tambang. Kebakaran disertai ledakan hebat. Ada gas methan yang bisa membludak jika orang-orang merokok. Karena itu,  dengan cermat dan penuh curiga, para mandor memeriksa mereka. Mandor hafal aturan-aturan yang tertera dalam buku Mijn Reglement yang dialihbahasa-kan dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu.  
Masuk lobang tambang? Tanya seorang kuli dengan nada tak percaya, terutama bagi orang rantai yang baru datang. Langkah-langkah kaki yang diayunkan menyiratkan keraguan, maklum sosialisasi dunia bawah tanah selama tiga hari, tidaklah cukup untuk membuat orang-orang rantai lebih berani. ”Ndak berani aku, aku nangis, langsung disuruh masuk lobang, kata Mbah Sadinomo kepada cucunya, kakek Sukarman yang kini menikmati masa pensiunannya di daerah Tangsi Baru. Kalau tidak mau kerja, langsung di door!!!! (ditembak).
Asisten Residen De Munnick, mengamati tingkah polah orang-orang rantai dari tangsi ke tambang dan kembali ke tangsi. Laporan pengamatannya mence-ngangkan. Katanya, ”dalam kelompok seratus orang lebih, mereka (orang rantai) berangkat dari tangsi menuju tambang dalam keadaan kacau. Masing-masing mereka berbuat sekehendak hati. Barang siapa yang menaruh dendam terhadap teman-temannya dan ingin membalaskannya, langsung dilakukan. Bakuhantam dan saling menganiaya menjadi pemandangan biasa. Jadi berangkat ke tambang penuh kekacauan. Tuan De Munnick mempertanyakan kondisi orang rantai ini. Katanya, ”dimana lagikah tempat di dunia dengan keadaan kacau seperti ini? Di mana lagikah tempat di dunia ini yang para penjahatnya paling nekat bunuh membunuh dan lalu lalang tanpa pengawasan?”. Polisi tambang berusaha menangkap kuli-kuli yang bersenjatakan pisau dan menyeretnya ke meja hijau untuk diberi hukuman, namun berulangkali mereka kembali berhasil mendapatkan pisau. Apakah mereka memperoleh benda tajam itu dari bengkel-bengkel? ataukah potongan besi dalam lobang yang digilaskan ke roda lori pengangkut batu bara yang lalu lalang keluar masuk lobang tambang? Yang jelas, di tempat ini berlangsung dendam kesumat yang membawa pada aksi-aksi penganiayaan dan bahkan pembunuhan.
Pekerjaan di dalam lobang memang berat, beresiko tinggi, panas dan seharian tak akan pernah melihat dan menikmati sang surya, disertai pula dengan pengawasan mandor-mandor tambang yang zalim, tak berperikemanusian. Mandor akan memerintahkan kuli-kuli paksa untuk berbaring berjejer-jejer menghadap dinding batubara. Nanti kalau ada perintah mandor untuk pindah, dengan serentak mereka bergeser ke samping kiri atau kanan, begitu seterusnya. Jika belincong berhenti diayunkan, mandor langsung membentak dan memaki. ”Kalian kerja lagi, jangan berhenti, kalian harus bisa memenuhi target produksi hari ini, mengerti?. Kalau tidak, kalian tanggung akibatnya”!.   
Setiap orang rantai memiliki traget produksi 0, 54 ton x 2 setiap hari. Itu jumlah yang tidak sedikit, lebih dari satu ton. Tapi target jumlah produksi sebanyak itu harus mereka penuhi. Lalu mereka dapat apa dari pekerjaannya? Orang rantai ini juga diberi sedikit upah untuk pembeli rokok atau kebutuhannya. Menurut peraturan yang dikeluarkan Belanda, seorang perantaian menerima upah 7 sen sehari pada tahun 1902. Tapi yang mereka terima cuma 5 sen, 2 sen menguap ke saku para petinggi Belanda atau dinikmati bersama dengan para bawahannya, termasuk orang-orang Indonesia yang menjadi pegawainya. Upah ini kemudian naik menjadi 11,5 sen, tapi masih belum semuanya sampai ke tangan mereka. Biasalah.  Mengambil sebagian dari upah perantaian ini menjadi biasa di kalangan pejabat Belanda yang bersekongkol dengan bawahannya, pegawai pribumi. Lalu ada pula yang disebut premi, diterima dua kali sebulan dalam bentuk uang. Tetapi perantaian sering menggunakan premi untuk menyogok mandor agar memperoleh kerja ringan di dalam lobang atau menyogok sipir penjara agar dibolehkan pergi ke luar tangsi lebih lama menikmati udara segar.
Menghadapi situasi kerja seperti itu, para perantaian juga tidak kalah gesitnya. Mencari kerja ringan dengan menyogok mandor atau berpura-pura sakit. Ini adalah politik mereka menghindarkan diri dari situasi kerja semacam itu. Semakin keras pengawasan mandor, semakin banyak pula akal perantaian untuk memberontak terhadap situasi itu. Mbah Kartowiyono, perantaian yang datang ke Sawahlunto tahun 1913 memiliki politik penolakan kerja yang handal. Selain takut masuk lobang, ia juga ingin menghindar dari kerja keras. Apa akal Mbah Kartowiyono? Ia sengaja membolongi tangannya dengan benda tajam dan kemudian memasukkan bulu babi sampai tangannya bengkak. Nah, orang sakit jelas tidak diizinkan bekerja. Itu peraturannya. Ia dibawa ke rumah sakit dan disuruh istirahat. Dengan alasan itu, ia disuruh tinggal di tangsi sampai sembuh. Lumayan, tidur-tiduran di tangsi, gumamnya sekembali dari rumah sakit di kampung Teleng. Selain berpura-pura sakit, Mbah Kartowiyono juga memiliki cara untuk menghindarkan anggota badannya dari cambukan rotan dari mandor kerja. Ia memasang susuk baja di bahu kiri kanan, dengkul kiri kanan, di pantat kiri kanan dan di tumit, cukup untuk menahan rasa sakit cambukan rotan yang dihadiahi mandor, jika ia malas bekerja atau melakukan kesalahan.      
Para petinggi Ombilin atau pejabat Belanda tak perduli apapun yang terjadi di dalam lobang. Yang terpenting, target produksi tercapai, laba bisa diraih. Apalagi mereka akan menikmati komisi untuk setiap ton batubara yang diproduksi. Komisi tidak hanya akan membuat mereka menjadi kaya, juga membuat hidup lebih menyenangkan. Mereka bisa plesiran di akhir minggu ke pesanggarahan yang ada di daerah Matur, arah ke Maninjau. Sungguh nyaman, beetje koel (dingin), kata para petinggi Belanda itu, karena daerahnya disertai angin semilir yang berhembus di pagi hari dan dedaunan pohon rindam yang harum mewangi. Atau pergi ke Bukittinggi  untuk berceng-kerama, minum-minum, berdansa-dansi di rumah bola  dengan para petinggi Belanda di kota itu, merupakan hiburan tersendiri, penunda hari-hari rindu ke sanak saudara di negeri Kincir Angin.
Jam 10.00 pagi waktu istirahat tiba. Orang-orang rantai yang menjadi kuli paksa itu istirahat di lobang. Mereka tidak dibiarkan ke luar tambang. Selain menghabiskan waktu lebih banyak berjalan ke luar tambang, para mandor takut mereka akan melarikan diri. Penganan berupa lapek-lapek atau goreng pisang dibawa ke dalam lobang bersama teh oleh petugas khusus. Minum teh dengan tempurung. ”Ah........ lumayan, bisa melepas dahaga, kue-kue ini bisa untuk mengganjal perut sampai ransum datang”! Ucap salah seorang kuli kepada kuli yang lainnya. ”Ya, tak tahulah entah sampai kapan semua ini akan kita alami. Mudah-mudahan semua ini cepat berakhir”! Ucapnya lagi. ”Mudah-mudahan”! Balas kuli yang lain. ”Aku ingat waktu aku belum menjadi tahanan , aku bisa hidup bahagia walaupun kehidupanku pas-pasan. Tapi setidak-tidaknya aku tak pernah dipukul, apalagi dicaci maki,” kata salah seorang kuli kepada kuli yang lain.
Nah, seusai istirahat, mereka kembali bekerja sampai jam 2.00 siang. ”Selamat kerja hari ini”, bisik Mamat, perantaian dari Sunda ke salah seorang teman shiftnya. Gilir pertama selesai dan selamat sampai di luar, Glϋck Auf, ucapan selamat dalam bahasa Jerman biasa digunakan di kalangan penambang di tambang batubara di daerah Ruhl, Jerman. Ditiru pula oleh Insinyur Belanda di Sawahlunto, ditulis di mulut tambang atau nama untuk rumah Bola.  Setelah regu pertama selesai, gilir kedua bersiap-siap memasuki lobang. Tetapi apa lacur? Dendam kesumat masih berkelanjutan. Dalam catatan wartawan Sinar Sumatra 13 September 1917, perkelahian dan pembunuhan berulang, tepat pada waktu napi berkumpul di kampung Durian untuk apel siang.
Begini ceritanya. Seorang napi dari Madura, namanya Beranjang Kawat. Berperawakan tegap, rambut panjang, memakai baju hitam dengan pita hitam yang dililitkan dan diikat di belakang kepalanya. Ia persis berpakaian jagoan. Memang ia jagoan Madura. Beranjang Kawat tidak menunjukkan tanda-tanda apa-apa ketika apel dan ketika mandor memanggil namanya, Beranjang Kawat? Ada Tuan. Mendengar suara itu, mandor memang tidak menaruh perhatian curiga. Akan tetapi ketika mandor selesai mengabsen semua perantaian, lalu berunding dengan atasannya, membagi-bagi pekerjaan untuk shift kedua, tiba-tiba Beranjang Kawat mengambil sebuah kapak besar untuk memotong kayu-kayu balok yang akan dibawa ke dalam lobang, mendekati dua orang perantaian Bugis, langsung menghujamkan kapaknya ke tubuh mereka. Seperti memotong kayu saja, tiga kali kapak dihujamkan ke tubuh mereka. Korban-korban tidak sempat menyelamatkan diri dan meninggal seketika itu juga di lapangan apel siang itu. Mandor-mandor Belanda dan pribumi (Indonesia) yang tengah berunding membagi kerja siang itu, hanya terhenyak, seakan tidak percaya, dan bahkan takut mengambil tindakan untuk Beranjang Kawat yang sedang mengamuk. Jagoan Madura ini terkenal hebat kesaktiannya. Akibatnya,  acara apel siang itu kacau. Mayat dua orang Bugis langsung ditandu oleh para polisi tambang ke rumah sakit. Ada kalanya mayat-mayat yang divisum di rumah sakit, tidak dikuburkan, akan dijadikan objek penelitian para medis Belanda. Tetapi ada kalanya juga dikuburkan, tergantung dari perlu atau tidaknya mereka. Beranjang Kawat langsung diborgol tangannya oleh polisi dibawa ke penjara di Sawahlunto, dikawal polisi bersenjata.
 Apakah dengan terbunuhnya dua orang Bugis oleh Beranjang Kawat, persoalannya sudah selesai? Rupanya tidak. Balas dendam harus dilakukan. Ini persoalan harga diri, kata perantaian Bugis yang lain yang tidak bisa membalaskan dendamnya pada hari yang sama. Seusai bekerja, para perantaian Bugis berkumpul secara rahasia, mengatur strategi untuk membalas dendam dan menuntut balas pembunuhan dua rekan mereka. Keesokan harinya, beberapa orang Bugis mencari orang Madura untuk dibunuh. Nyawa ditebus dengan nyawa. Nyarislah kota itu bergelimang darah tiap hari. Jadilah balas dendam dengan cara saling membunuh, tindakan brutal yang tak ada habisnya. Perkelahian massal dengan senjata tajam terjadi. Ada beberapa orang yang terluka dan meninggal. Perkelahian ini telah memperlambat shift kedua masuk lobang. Bakuhantam antara orang Bugis dengan orang Madura itu bersumber dari masalah sepele saja. Merasa diri hebat, Beranjang Kawat yang dikjaya tidak mau diperintah oleh orang Bugis yang menjadi mandornya. Lalu ia dicemoohkan oleh dua korban itu.
Lain lagi kisah Kang Mamat dari Betawi. Pada bulan yang sama, persis 1 Oktober 1917, Kang Mamat, perantaian dari Betawi melarikan diri dari tambang. Lalu tertangkap dan kemudian digiring kembali ke penjara. Dipenjara, ia diolok-olok oleh rekannya dari pulau Madura. ”Bodohnya Kang Mamat, lari tertangkap lagi, he..he...apa tidak pakai ilmu”, ciloteh rekannya. Cemooh ini meningkat dengan pertengkaran kecil, saling adu argumen dan kemudian adu fisik. Dalam perkelahian itu, teman Maduranya terluka dan harus dirawat di rumah sakit.   
Setelah shift pertama menyelesaikan peker-jaannya, mereka digiring kembali ke tangsi, dengan tangan dan kaki dirantai. Kembali ada gemerincing bunyi-bunyi rantai di sepanjang jalan, dari arah kampung Santur ke tangsi Rantai di Sawahlunto. Anak-anak berlarian ke jalan, menonton perantaian sambil mendengar bunyi-bunyi rantai dengan teriakan-teriakan marsose Belanda, cepat, cepat, jalan cepat... kata mereka sambil mengayun-ayunkan senapan bedil itu ke tubuh perantaian. Anak-anak sepanjang jalan tidak tahu Belanda sedang melanggengkan sistem perbudakan yang telah dihapuskannya sendiri pada pertengahan abad lalu. Ironis memang. Mereka menikmati bunyi-bunyi itu dan menirukan langkah-langkah tegap marsose Belanda berjalan dan mengayun-ayunkan senapan mereka ke tubuh perantaian. Anak-anak juga tidak tahu, wajah-wajah perantaian, lelah dan memperlihatkan dendam kesumat. Kembali ke Tangsi? Masuk penjara lagi, pikir para perantaian berkali-kali, sambil melirik ke kiri  dan kanan jalan, kalau-kalau ada kesempatan dan jalan untuk melarikan diri.
          Tangsi memang tak berbeda dengan penjara karena orang-orang rantai tidak dibenarkan pergi keluar tangsi seusai bekerja di lobang. Dikawal ketat. Alasannya, perantaian akan dibiarkan beristirahat di tangsi, mengumpulkan energi supaya segar dan kuat bekerja esok hari. Akan tetapi, Tuan Asisten Residen De  Munnick justru berpendapat lain. Janganlah dianggap orang-orang rantai seperti binatang, dikurung di tangsi sampai keesokan hari. Izinkan mereka menghirup udara segar, pergi ke pasar, sekedar membuang kejenuhan bekerja di dalam perut bumi. Izin diberikan. Orang-orang rantai dibolehkan ke luar tangsi sampai pukul 5.00 sore, sesudah itu harus masuk ke tangsi, menunggu sampai giliran kerja esok hari.
Membiarkan orang rantai berjalan-jalan di pasar  dengan tangan dan kaki dirantai, diawasi oppas, juga menganggu ketentraman pengunjung pasar. Repot memang. Akhirnya, karena ketentraman tidak terjamin, orang rantai dikurung di tangsi. Orang-orang kampung sekitarnya, seperti dari Kubang, Sijantang, Talawi, Silungkang yang hendak memasuki Sawahlunto haruslah memiliki izin dulu, kartu pas namanya. Mereka tidak dibolehkan mendekati tangsi. Belanda takut, orang-orang kampung yang mendekati tangsi rantai akan mempengaruhi mereka melarikan diri atau paling tidak mempermudah jalan untuk lari dari kota Sawahlunto. Jadilah tangsi-tangsi itu sebagai penjara baru buat mereka.