Mencuri Banyak Perhatian, ‘Mak Itam’ Makin Tua Makin Menawan

MENCURI BANYAK PERHATIAN,  ‘MAK ITAM’
 MAKIN TUA MAKIN MENAWAN 


“Kita tidak merampas,
tapi kita hanya memulangkan
‘Mak Itam’ ke kampungnya”
Pernyataan itu disampaikan walikota Sawahlunto dalam pidato sambutannya dihadapan  ribuan orang yang menunggu detik-detik penyambutan sekaligus peresmian pengoperasian kereta api wisata dengan lokomotif uap E1060 ditahun 2008 lalu. Apa yang dikatakan itu tidak berlebihan rasanya. Apabila ditelusuri masa lalu atas nama kereta api lokomotif berteknologi uap, khususnya ‘Mak Itam’ di Sumatera Barat, dengan tugas utama menarik atau mendorong rangkaian gerbong-gerbong bermuatan batubara dari Sawahlunto ke Emmahaven (Telukbayur) Padang.
Di Sumatera Barat daya jelajah lokomotif uap pernah melintasi seluruh jalur lintasan yang ada di Sumatera Barat. Daya jelajah laskar lokomotif adalah; Padang-Lubukkalung-Padangpanjang-Sawahlunto-Bukittinggi-Payakumbuh dan jalur Padang-Lubukkatung-Pariaman-Naras.[1] Selain sebagai angkutan barang kereta api dengan lokomotif uap juga mengangkut penumpang. Tapi kereta api di Sumatera Barat tempo dulu lebih populer sebagai angkutan batubara, kapur dan semen.
Lokomotif uap E1060 berasal Jerman yang dibuat tahun 1965 dan beroperasi hingga tahun 1984. Pengabdian angkutan lokomotif uap pun berakhir secara bertahap. Sejak tahun 1950 Dinas Kereta Api (DKA) memodernisasi teknologi perkeretaapian dari teknologi uap ke diesel yang dianggap lebih efisien. Alih teknologi kereta api ke diesel semakin mendominasi dan membuat lokomotif perintis itu satu persatu dipensiunkan dari tugasnya. Lalu bagaimana dengan nasib sang pengabdi selama berpuluh-puluh tahun itu pada masa-masa berikutnya? Sebelum membuka jauh lembaran kereta api lokomotif uap di Sumatera Barat khususnya di Sawahlunto, ada baiknya kita sedikit mengenal tinjaun teknis dan prinsip lokomotif uap.
Cara kerja lokomotif uap adalah perubahan energi panas menjadi energi mekanik dengan perantaraan uap air, piston uap, dan batang penggerak. Uap air dihasilkan dari pemanasan yang terjadi pada tungku pembakaran. Panas dari tungku pembakaran disalurkan melalui pipa yang tersusun di dalam ketel yang berisi air. Permukaan luar dari pipa-pipa bersinggungan dengan air di dalam ketel. Air menjadi panas dan terbentuklah uap air. Uap air tersebut akan terkumpul dalam dom uap yang terletak dibagian atas ketel. Setelah tekanan di dom uap cukup, uap disalurkan ke silender uap. Pada posisi ini uap menekan piston yang akan bergerak maju mundur. Oleh batang penghubung, gerakan tadi diteruskan ke roda penggerak. Untuk lokomotif uap yang menggunakan uap kering seperti jenis lokomotif uap E106D sampai E1067. Pada jenis ini uap yang terkumpul dalam dom uap akan disalurkan lagi melalui pipa-pipa untuk dipanaskan. Selanjutnya uap dikumpulkan dalam dom uap kering yang terpisah dari dom uap basah.[2]
Meskipun kereta api lokomotif pensiun dari tugasnya membawa rangkaian gerbong hingga berpuluh-puluh meter yang terisi sesak batubara atau kapur dan barang. Namun, Aktivitas kerja mesin uap yang unik dengan tampilan desain klasiknya menjadikan kereta api lokomotif uap selalu mendapat perhatian. Buktinya, memasuki tahun 1970 lokomotif uap menjadi barang antik dan fenomenal. Tidak tanggung-tanggung museum kereta api Ambarawa Jawa Tengah yang berdiri sejak tahun 1976 tersebut memiliki 21 lokomotif uap dari berbagai seri dan tahun pembuatan. Begitupun dengan bahan bakarnya yang beragam mulai dari kayu, batubara dan residu.[3]
Lokomotif uap yang sebelumnya beroperasi di Sumatera Barat, kemudian juga diangkut ke Ambarawa Jawa dengan tujuan awal dapat membantu lintasan rel bergerigi di Ambarawa. Akan tetapi gigi lokomotif uap E1060 ternyata tidak cocok dengan rel disana. Sehingga gigi lokomotif dari Sumatera Barat ini pun dilepas.[4] Seharusnya tindakan melepaskan gerigi lokomotif kereta api ini tidak mesti terjadi. Bukankah pihak Perusahaan Kereta Api memiliki data berbagai kondisi dan karakter sarana yang dimilikinya. Apalagi kita tahu bahwa geografis Sumatera Barat berbukit dan berlembah. Oleh karenanya lintasan bergerigi terpanjang di Indonesia terdapat di Sumatera Barat.
Karena kondisi gigi lokomotif uap yang tidak cocok itu pula barangkalai, semakin menguatkan kalau lokomotif tua itu harus diselamatkan dan dimanfaatkan dalam lain tugas. Tercatat bahwa lokomotif uap E1060 yang didatangkan dari Sumatera Barat kemudian ditempatkan pula sebagai bagian dari koleksi living Museum Kereta Api Ambarawa. Diantara 21 koleksi lokomotif uap yang ditempatkan sebelah Utara dan Barat Museum Kereta Api Ambarawa. Masih terdapat lima loko uap yang ditempatkan di Depo, tiga diantaranya masih beroperasi. Tiga lokomotif uap yang dapat dioperasikan itu B 2502, B2503 dan satu lagi yaitu lokomotif uap seri E1060 yang dahulu dibawa dari Sumatera Barat.[5]
Kerinduan akan kehadiran kereta api lokomotif berteknologi uap kembali muncul dari berbagai kalangan. Apalagi sejak tambang batubara Sawahlunto  tidak lagi produktif sejak tahun 2000-an. Kondisi itu bukan berarti mengambarkan batubara Sawahlunto habis dan sama sekali tidak ada aktivitas penambangan. Batubara dan aktivitas penambangan ada, namun produksinya tidak maksima sehingga dapat dibawa minimal dalam skala daya angkutan massal kereta api. Oleh kondisi karena produksibatubara yang kian tidak membaik itu, pada akhirnya ditahun 2002 kereta secara resmi berhenti total mengangkut batubara dari Sawahlunto. Apa artinya disini, kereta api juga tidak lagi terlihat dan terdengar melintas seperti biasanya disepanjang 155,5 Km jalur Padang-Sawahlunto.  
Ada yang tidak biasa dan hilang dirasakan. Mulai dari orang-orang tua yang pernah menjumpai kereta api melintas disepanjang jalur rel di Sumatera Barat, pengguna jasa kereta api, Wah... terlebih lagi bagi para pecinta dan pemerhati kereta api.
Ada timbul rasa rindu akan kehadiran atau sekedar melihat aktivitas lalulalang kereta api Sawahlunto-Padang. Sebuah brilian idea kemudian muncul dari Sawahlunto untuk mengaktifkan kereta api dengan lokomotif uap, tapi bukan untuk kembali membawa batubara. Sawahlunto hendak melengkapi perangkat visi sebagai Wisata Tambangnya. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan tambang dimasa lalu dari awal hingga saat ini kalu bisa dihadirkan kembali kenapa tidak ! Wacana kereta api wisata dengan lokomotif uap semakin menguat sejak tahun 2005. Walau kereta lori wisata telah ada sebelumnya, namun itu belum dianggap representatif untuk merangkai wajah Kota Wisata Tambang itu. Berbagai identitas jejak sejarah terus dikuatkan.
Perjuangan pemerintah Kota Sawahlunto sejak tahun 2005 untuk menghadirkan lokomotif uap terjawab sudah dengan kehadiran kembali lokomotif uap E1060. Ini semua tentu berkat dukungan dari banyak elemen terutama PT.Kereta Api dan persetujuan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Sejak kepergiannya dibawa ‘merantau’, berarti sudah 19 tahun lokokomotif E1060 meninggalkan Ranah Minang. Tempat dimana ‘Mak Itam’ mengawali tugas dan jg generasi pendahulunya selama puluhan tahun melintasi daera-daerah di Sumatera Barat sepanjang lintasan relnya. Tidak tanggung-tanggung untuk kembali memulangkan lokomotif uap yang berjulukkan ‘Mak Itam’ itu Pemerintah Kota Sawahlunto merogoh anggaran sebesar Rp. 300 juta. Dukungan berbagai pihak mensukseskan mobilisasi lokomotif uap E1060 dari Ambarawa ke Sawahlunto. Perjalanan ‘Mak Itam’ pulang kampung menempuh jalan darat. Perjalanan dimulai 4-15 Desember 2008 yang memakan sebelas hari perjalanan.[6] Wajar saja, bobot ±40 ton ‘mak Itam’ meminta kesabaran dan kerja keras penuh kewaspadaan selama perjalanan darat. Sebelum dipulangkan ke Sumatera Barat untuk ditempatkan di Sawahlunto. ‘Mak Itam’ mengalami perbaikan oleh teknisi lokomotif uap PT. KAI.[7] Perbaikan selanjutnya dilakukan di Sumatera Barat (Sawahlunto) sehingga ‘Mak Itam’ dapat memenuhi banyak harapan khalayak untuk kembali beroperasi, dan kali kali ini sebagai angkutan kereta api wisata nostalgia.
Kini wisatawan, pecinta kereta api khususnya yang ingin bernostalgia dengan kereta api lokomotif uap sudah dapat merasakan dan menikmati perjalanan Sawahlunto-Muarokalaban ±12 pergi/pulang. Lokomotif uap dengan bunyi khas tuttuuuuuu........t sshhhhaaaasss.... shass. Bunyi yang dalam istilah orang Minang ‘garesoh pesoh’ ditambah gerbong koboi (tempo dulu) nan antik, keklasik bukan ? Nah..... mau lebih terasa nuansa masa hidup diabad kejayaan ‘Mak Itam’ dan para pendahulunya ? Rasakan perjalanan nostalgia ‘Mak Itam’ yang akan membawa penumpangnya memasuki terowongan/lubang kalam sepanjang hampir 1 Km (835 meter) antara Sawahlunto-Muarokalaban. Ini bukan sembarang terowongan tapi memang khusus lintasan rel kereta api yang menembus bukit berbatu cadas yang dibangun antara tahun 1892-1894. Ini dia ni... terowongan yang menyimpan banyak cerita dan bagian dari kisah kehidupan para perantaian (orang rantai).
Kembali ke soal terowongan kereta api. Meskipun terowongan itu dirancang untuk lintasan khusus kereta api, namun fakta lapangan menunjukkan bahwa kemungkinan digunakan melintas oleh manusia dengan berjalan kaki sebagai akses mobilitas diperhitungan sedemikian rupa. Buktinya adalah pada kedua belah sisi kiri ataupun kanan badan terowongan terdapat bilik-bilik sebanyak 32 dua bilik. Menurut keterangan para tetua Sawahlunto, bilik tersebut fungsinya adalah sebagai ruang aman untuk menghindar dari kereta api yang melintas saat berjalan kaki atau ada orang yang sedang bekerja/bertugas dalam terowong.
Sebuah pesan pembangunan kepada kita dihari ini tentunya. Tidak sekedar multiplayer effect. Memikir dan berbuat sesuatu, hendaknya juga mengkaji dampak dan solusinya bagi yang lainnya. Kedua pesannya adalah jangan hanya memikirkan kepentingan generasi hari ini saja.Seperti ‘Mak Itam’ lokomotif yang uap yang teknologinya sudah tertinggal masih bisa memberi manfaat dalam jangka panjang sampai hari pun. Begitupun dengan terowongan kalam, yang sudah berumur lebih satu seperlima abad. Namun tetap kokoh dan tidak banyak berubah. Kecuali kalau ada tangan jahil dan daya rusak manusia hari ini dan akan datng yang akan menghancurkannya. Semoga kita dapat menjaga semuaanya.



[1]Kismi Jadi,. Mak Itam, Tonggak Berdirinya Perkeretaapian. Tabloid Sibinuang, Media Internal PT KAI Divre II Sumbar, Edisi II Desember 2008. Hlm. 6.
[2]Kismi Jadi,. Ibid.
[3]Diolah dari Sudono., Museum Kereta Api Ambarawa/The Ambarawa Railway Museum.
[4]Tabloid Sibinuang, Media Internal PT KAI Divre II Sumbar, Edisi II Desember 2008. Hlm. 8.
[5]Sudono., Op. Cit., hlm. 10
[6]Diolah dari, Untung Sutomo., Mak Itam Wisat Sejarah. Majalah, Bandara, Edisi 13 Tahun II 16-28 Februari 2010.
[7]Tabloid Sibinuang, Media Internal PT KAI Divre II Sumbar, Edisi II Desember 2008. Hlm. 8.