'Alahan' dan Danau Singkarak Menunggu Kearifan Masyarakat

 'ALAHAN' DAN DANAU SINGKARAK:
MENUNGGU KEARFIAN MASYARAKAT
Tulisan ke-2 Berkaitan Ika Bilih, Alahan dan Tradisi 'Mangutang'

II.a. 'Alahan'
 
Bagaimana dengan alahan? Apa kaitannya dengan ikan bilih? hingga tradisi mangutang. Pada bagian paparan ini, kita akan melihat empat matarantai sekaligus antara ikan bilih, alahan sebagai media memperoleh ikan bilih dan mangutang sebuah aktivitas yang mentradisi di alahan dengan pemanfaatan khusus dan unik dari aliran sungai Batang Paninggahan adalah sebagai sarana alahan.
Apa itu alahan? Bagi masyarakat Paninggahan khusus, alahan bukan hal asing lagi. Demikian juga barangkali bagi sebagian daerah pada posisi hulu yang memiliki sungai-sungai yang bermuara ke Danau Singkarak. Masyarakat pada posisi seperti itu selain Paninggahan adalah Malalo, Muaro Pingai dan Saning Bakar.
Meskipun suatu daerah memiliki sungai yang bermuara ke danau Singkarak, namun tidak semuanya bisa dimanfaatkan seperti sungai Batang Paninggahan. Karakteristik sungai pada daerah sekitar muara sangat menentukan. Seperti halnya Batang Paninggahan, induk-induk anak sungai ini berhulu dari bank air yang tersimpan di hutan-hutan jajaran bukit Junjung Sirih. Pada musim kemarau panjangpun sungai Batang Paninggahan masih terus mampu mengalirkan airnya.
Dengan susunan bebatuan alam sepanjang aliran yang dilalui, menjadikan air alami ini sangatlah jernih. Pada aliran mendekati muaranya ke Danau Singkarak, didapati badan sungai yang datar/landai. Pada aliran mendekati hingga sekitar muara sungai kondisinya didominasi oleh pasir dan kerikil yang terbawa hanyut dari hulu hingga ke daerah muara sampai ke Danau Singkarak. Sebuah bentukan dari proses alam tentunya.
Karakteristik dan proses bentukan alam seperti itulah yang mendorong manusia dimasalampau berinovasi menciptakan alahan sebagai salah satu media memperoleh ikan bilih dari Danau Singkarak hingga saat sekarang ini. Sebuah warisan leluhur sebagai potensi ekonomi bagi yang mengusahakannya. Meskipun alahan tampak sederhana dan sangat tradisional. Namun tersimpan sebuah inovasi yang besar. Nelayan atau masyarakat yang mengantungkan ekonominya dari hasil ikan bilih dari Danau Singkarak, dengan alahan pencari tidak mesti turun ke danau mengayuh biduk, yang membawa jala untuk ditebar pada sore hari dan diangkat kala subuh.
Nelayan pencari ikan khsusnya di nagari Paninggahan memiliki beberapa cara penangkapan ikan. Diantaranya adalah dengan jala, jaring langli, alahan dan alat pancing. Dan yang ekstrim sekaligus melanggar aturan karena merusak habitat dan ekosistem dana Singakarak adalah menggunakan bahan peledak (badia) serta putas.
Alahan merupakan metode tradisonal penangkapan ikan bilih dengan membagi-bagi aliran sungai menjadi sungai-sungai kecil. Karakter sungai dengan bentukan alamnya memungkin usaha manusia membagi-bagi aliran Batang Paninggahan menjadi beberapa sungai kecil. Daerah sekitar muara yang cukup luas dan landai memungkinkan sekali untuk membagi-bagi sungai menjadi alahan.
Menurut cerita yang diterima dari orang-orang terdahulu. Alahan-alahan itu selain jalur batang Paninggahan itu sendiri juga areal yang diteruka (buka) bahkan sawah penduduk yang dirubah fungsi menjadi saluran pemecah aliran Batang Paninggahan menjadi alahan. Kalau demikian tidak mengherankan kalau sekitar muara Batang Paninggahan seolah-olah begitu lebar. Padahal kondisi seperti sekarang yang kita lihat adalah akibat pembagian sungai bentukan alam menjadi sungai-sungai kecil yang disebut alahan. Wajar memang pemecahan menjadi sungai-sungai kecil (alahan) memerlukan areal agar volume air dapat dipecah sesuai tujuan dan sasaran alahan tersebut. Seperti apa alahan dikelola? dan bagaimana memperoleh ikan bilih dengan metoda alahan ini?
Seperti disinggung diatas alahan merupakan metoda membagi-bagi aliran sungai pada batang Paninggahan. Lebih jelas dapat digambarkan disini. Mulai dari pinggir danau tempat pertemuan muara air batas-batas antar alahan yang disebut pematang sudah dibuat. Pematang-pematang itu dibuat dengan bahan-sederhana dan tersedia dilokasi. Biasanya para pemilik alahan memanfaatkan daun dan pelepah kelapa yang masih hijau atau muda. Agar tidak terurai dan rapi bentuk daun dengan plepah itu diikat bahkan dijalin serupa jalinan ramput kepang tiga. Bahan ini kemudian disusunan sebagai dasar pembatas/pematang antar alahan lalu ditimbun dengan pasir dan kerikil yang tersedia berada bayak. Tidak hanya itu karung berisi pasir, jerami batang-batang padi setelah dipanen juga dimanfaatkan hingga memanfaatkan kayu-kayu besar yang hanyut dari hutan arah hulu air hingga ke muara sungai. Segala sumber daya dengan prinsip tanpa biaya banyak dimanfaatkan.
Panjang alahan dengan pematang-pematang pembatasnya bukan hanya dibuat dalam ukuran 20-30 meter. Tapi alahan dibuat mencapai panjang ±200 meter dengan lebar empat hingga enam meter. Oleh karena pembuatan dan perbaikan-perbaikan secara berkala dilakukan secara beersama-sama bagi setiap keluarga yang mengelola alahan. Bahkan untuk membuat dan perbaikan pematang pembatas dikerjakan bersama-sama dengan pemilik alahan sebelahnya. Semangat gotong-royong, rasa kebersamaan dan saling mengerti tercipta karena ada keterkaitan satu alahan dengan lainnya. Tidak hanya pematang pembatas yang senantiasa diperhatikan, tingkat kelandaian pasir dan kerikil pada badan alahan hampir setiap hari dikontrol dan perbaiki. Terutama pada unjung alahan dekat pertemuan muara air sungai dan danau. Setiap kali selesai mengambil ikan bilih pada waktu subuh pagi hingga jelang siang area itu senantiasa diperbaiki. Pasir dan kerikilnya dibentuk datar sedemikian rupa sehingga ikan-ikan bilih dapat dengan mudah naik menyongsong aliran air alahan terus menuju ke arah hulu.
Pada alahan bagian ujung arah ulu air hirok. Hirok pada bagian pintu masuk air alahan berupa bilah-bilah bambu. Bambu-bambu itu dipilih yang telah tua, lurus dan kuat.  Pemilihan seperti karena bambu akan berfungsi dibagian sentral dibagian pintu masuk air skaligus sebagai saringan sekaligus pengontrol air. Bambu-bambu itu dipotong 1 -1,5 meter dan dibelah-belah selebar jari tangan. Kemudian bilah-bilah bambu itu dijalin rangkai berangkai sedemikian rupa dengan tali. Jarak susunan bambu cukup rapat, hanya berupa celah, dari satu bilah bambu kebilah lainnya agar air dapat masuk mengalir sera teratur pada badan alahan. hingga mencapai panjang menyesuaikan lebar alahan. Hirok dapat dibongkar pasang kapanpun, karenatidak dipasang secara permanen. Pemasangannya hanya membutuhkan bantuan sandaran bambu yang melintasi lebarnya alahan. Agar tidak hanyuk akibat tekanan arus air, apalagi sebagian air tertahan, hirok dipasang tegak sedikit dimiringkan pada bambu sandaran dengan kemiringan 300. Nah fungsi kontrol hirok dihulu ini akan terlihat pada ketinggian dan besarnya air yang mengalir dalam badan alahan. Air yang disalurkan lewat celah-celah hirok bambu hanya mencapai sedikit diatas mata kaki. Volume air lebih agak besar aliran air dalam badan alahan paling mencapai betis bagian tengah orang dewasa. Kalau kondisi aliran air makin besar dan makin deras tentu ikan bilih yang hendak dikurung tidak mampu menyosong derasnya air menyusuri alahan. Beberapa puluh meter setelah  hirok hulu, arah aliran air ke muara dipasang lagi hirok sejenis sebagai lapis kedua kalau boleh dikatakann
Selain hirok bambu terdapat lagi hirok yang terbuat dari lidi ijuk pada pohon enau yang dalam istilah lokal disebut saga anau. Hirok lidi enau dipasang seperti halnya Hirok bambu, tapi dipasang pada badan alahan dalam jarak tertentu. Gunanya adalah untuk mengurung ikan. Ikan-ikan dari Danau Singkarak biasa bergerombol-gerombol berusaha menyongsong aliran air alahan terus berusaha menyusuri arah hulu.gerombolan-gerombolan ikan yang masuk itulah terus diamati pemilik alahan secara bergantian dengan anggota keluarga atau orang yang diajak mengelola alahan. Gerombolan Ikan-ikan bilih itu terus digiring dan diarah menyosong arah hulu air. Semakin kerah hulu ikan-ikan itu dipasangi hirok lidi enau agar tidak kembali mengikuti aliran air ke muara Danau.
Proses pengurungan itu terus dilakukan dan diawasi hingga jelang diambil dikala subuh. Satu hirok pengurung ke hirok lainnya berada dalam jarak-tertentu dan terus dilakukan perubahan buka tutup untuk memberi jalan gerombolan ikan-ikan yang baru masuk menyosong arah hulu. Pada akhirnya ikan-ikan bilih yang berusaha menyongsong ke arah hulu akan terhenti pada Hirok bambu terkurung. Sementara alahan dekat pertemuan muara air terus dibiarkan terbuka untuk memberikan jalan dan keluasaan pada gerombolan ikan-ikan yang akan menerobos masuk menyongsong aliran air alahan. Hanya saja beberpa puluh meter dari muara kerah hulu tetap dipasang hirok pengurung bagi ikan bilih lainnya yang sudah masuk dan terus menyosong air arah hulu. Buka tutup dan alihkan dari hirok pertama dari muara dan hirok-hirok seterusnya hingga jelang hirok bambu sebagi hirok pengunci terus dilakukan.
Hirok pengunci dekat muaro barulah dipasang saat jelang dimana ikan-ikan yang sudah terkurung itu akan diambil. Sejalan dengan itu, jejeran hirok-hirok pengurung lainnya dibuka dan digulung. Bagaimana proses pengambilan ikan bilih pada alahan? Bagaimana proses pengambilannya?
Pada bagian Hirok bambu, akan dipasangi terpal untuk menutup air masuk. Sementara alahan akan dikeringkan. Tahapan selanjutnya adalah proses membuat ikan mabuk sementara dengan memanfaatkan akar kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya. Akar kayu tuba demikian disebut, akar kayu dipukul-pukul hingga menjadi lunak. Pemerasan dimulai dari bawah hirok bambu yang dipasang terpal. Disana tempat ikan-ikan berkumpul paling banyak. Pemasangan tuba dari tumbuhan alam itu terus hingga ke hirok pengunci dekat muara air. Melihat ikan sudah dalam keadaan lemah akibat air perasan akar kayu tuba, terpal kembali dibuka untuk mengalirkan air. Aliran air ini bertujuan dapat membawa menghanyutkan ikan. Pada ujung dekat muara hirok yang akan menunggu laju ikan yang hanyut terbawa air sudah terpasang. Disini ikan-ikan dalam keadaan tak berdaya itu tersangkut pada hirok.
Perolehan ikan bilih oleh masyarakat yang mengusahakan penangkapan ikan bilih dengan alahan hingga tahun tidak jarang harus memparkir sampan/biduk dekat hirok pengangkatan ikan bilih. digunakannnya perahu bidul itu sebagai wadah sementara karena jumlah ikan yg diperoleh dalam jumlah sangat banyak. Tidak heran kalau masa itu pemilik alahan memanen ikan bilih 100 hingga 200 liter setiap hari panen. Perolehan dalam jumlah besar  itu juga dialami oleh nelayan dengan mengunakan jaring dan jala.
Meskipun alahan hanya diusahakan sebagian masyarakat dengan garis kerabatnya. Namun keberadaannya sejak lama
Meskipun dilakoni sebagian masyarakat namun alahan berdampak luas bagi aktivitas ekonomi dan kebutuhan masyarakat akan ikan. Seperti metoda pengankapan ikan dengan  jaring langli/jala, alahan juga memberikan sumbangan kegiatan ekonomi yang tidak bisa dianggap remeh. Alahan sendiri telah menciptakan peluang usaha dan menyerap tenaga kerja karena dikerjakan secara berkelompok dalam skala usaha kekerabatn, memang. Namun selain itu alahan juga telah memberikan kesempatan usaha kepada para pedagang pengepul atau pedagang ikan bilih dalam partai besar. Yang lebih mengembirakan lagi bagaimana alahan memberikan kesempatan kepada pedangang kecil/eceran yang dilakoni oleh kaum perempuan. Pedagang eceran/kecil ini membawa dan memasarkan ikan bilih ke berbagai pasar daerah di Sumater Barat seperti ke Sijunjung, Sawahlunto, Solok, Batusangkar, dan Bukittinggi.
Fenomena perempuan pedagang ikan bilih segar dapat kita temui diberbagai pasar yang tersebar di wilayah Sumatera Barat. Segmen ini akan kita bahas dan dalami pada lain paparan pada lain waktu dan kesempatan.

II.b. Danau Singkarak Yang Menunggu Kearifan Masyarakat  
Meskipun hingga saat ini alahan tetap diberfungsi, namun perolehan ikan bilih besar-besaran kini sudah tidak lagi dapat ditemukan. Kondisi itu tidak hanya dialami oleh para pencari ikan dengan media alahan, tapi juga para nelayan yang menggunakan jaring dan jala. Kondisi itu terus berlanjut, meskipun ada masa-masa ikan bilih musim jumlahnya relatif banyak tapi tetap masyarakat pencari dan nelayan tidak menemukan kondisi seperti sebelum-belumnya dimana ikan bilih Danau Singkarak mudah didapat dalam jumlah banyak.
Tentu berbagai penyebab berkurangnya secara drastis keberadaan ikan bilih di Danau Singkarak  harus diketahui. Alam atau manusiakah yang membuat habitat dan ekosistem ikan bilih menjadi berubah. Masyarakat pernah menuding sebagai sumber masalah sejak pengoperasian terowongan air dari Baing Malalo ke Lubuk Alung untuk mengalirkan air Danau Singkarak untuk listrik. Sulit dijelaskan, tapi yang jelas pihak pengelola menanggapi positif dengan mendukung pelestarian dan pengembangan ikan bilih melalui sebentuk pusat studi dan pengembangan ikan bilih yang berpusat di Malalo.
Namun kearifan masyarakat terhadap lingkungan dan ekosistem tempat dimana ikan bilih dan ikan-ikan lainnya di danau Singkarak juga mesti lahir. Mengambil ikan bilih dan ikan-ikan lainnya tanpa henti dengan segala prosesnya tentu akan menganggu juga proses perkembangbiakaan dari induk, telur hingga bibit yang merupakan calon-calon ikan yang nanti akan memberikan kehidupan bagi masyarakat nelayan.
Belum pernah terdengar oleh kita bentuk kearifan masyarakat nelayan pencari ikan sekeliling Danau Singakarak selama ini bersepakat barang sehari saja berhenti turun ke danau dengan segala aktivitasnya. Memberikan kepada ekosistem danau Singkarak terutama ikan-ikan untuk bebas dari segala gangguan peralatan penangkapan. Bagaimana biduk-biduk nelayan tidak melintas danau, bagaimana jaring langli dan jala tidak ditebar. Apalagi kalau tidak sama sekali tida ada terdengar ledakan badia (bahan peledak serupa dinamit) meledak dengan segala dampaknya.