Sejarah Anyaman Pandan Paninggahan

MENGUAK SEJARAH PERKEMBANGAN 
ANYAMAN PANDAN PANINGGAHAN
     (1/2 dari Tulisan Berkaitan)

Peta Kerajinan Anyaman Pandan Sumatera Barat
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Usaha kerajinan tradisional sebagai warisan budaya pada setiap suku bangsa Indonesia, cukup potensial dikembangkan. Bidang kegiatan tradisi bernilai ekonomi ini cukup potensial dalam penyerapan tenaga kerja. Disamping itu juga memberikan sumbangan bagi peningkatan pendapatan masyarakat.[1] Kerajinan yang dimaksud adalah proses pembuatan berbagai macam barang dengan mengandalkan tangan serta alat-alat sederhana di lingkungan rumah tangga. Keterampilan di dapat dari proses sosialisasi dari generasi secara informal. Bahan baku didapatkan dari alam sekitarnya.[2] Bagi daerah Sumatera Barat banyak faktor yang dapat menunjang pengembang produk industri kecil dan kerajinan antara lain:
1. Sumber alam berupa bahan baku berbagai jenis kayu, bambu, rotan bahan anyaman, hasil laut, bahan mineral dan sebagainya. 2. Sumber daya manusia yang tersedia, dengan tingkat upah relatif murah. 3. Keanekaragaman budaya tradisional yang spesifik dan memiliki nilai seni cukup tinggi. 4. Motif berbagai ragam flora dan fauna. 5. Perkembangan pariwisata yang cukup berarti dapat menjadi sarana dan media promosi produk industri kecil dan kerajinan.[3]
Kerajinan anyaman di Sumatera Barat tersebar hampir disetiap daerah diantaranya; Kabupaten Agam, Solok, Padang Pariaman, Sawahlunto, Sijunjung, Pasaman dan Pesisir Selatan.[4] Di Kabupaten Solok kerajinan anyaman terdapat antara lain di Paninggahan Muaro Pingai, Bukit Kandung, Batu Bajanjang, Simpang Tanjung Nan IV, Kampung Batu Banyak, Bukit Sileh, Sei Nanam, Talang Babungo dan Salimat.
Apabila ditinjau dari bahan baku yang digunakan pengrajin. Di daerah Kabupaten Solok dapat dikelompokkan atas empat jenis bahan dasar yaitu; bambu, rotan, pandan dan mensiang yang dikenal juga dengan kumbuah.[5] Jika ditelusuri lagi daerah-daerah di Sumatera Barat yang mengembangkan kerajinan anyaman dengan bahan dasar pandan antara lain; Matur Mudik (Kabupaten Agam), Paninggahan, Muaro Pingai dan Bukit Kandung (Kabupaten Solok), Pakandangan, Ulakan, Koto Tinggi, Pakan Baru (Kabupaten Pariaman), Padang Laweh (Kabupaten Sawahlunto Sijunjung), Bonjol (Kabupaten Pasaman), Kambang (Kabupaten Pesisir Selatan).[6]
Dari ketiga daerah yang mengembangkan kerajinan anyaman berbasis bahan dasar pandan di Kabupaten Solok. Paninggahan merupakan daerah yang paling produktif mengembangkan kerajinan ini. Sebagai indikator dapat dilihat dari angka penyerapan tenaga kerja dan jumlah produksi yang tercatat di tahun 1983/1984. Dimana Paninggahan menempati urutan teratas dengan menghasilkan 20.000 M2 dan menyerap 1.000 orang tenaga kerja perempuan. Disusul Muaro Pingai yang menghasilkan 3.000 M2 yang menyerap 150 0rang tenaga kerja perempuan. Berikutnya diikuti Bukit Kandung yang menghasilkan 1.200Mmenyumbang penyerapan tenaga kerja perempuan 50 orang .[7]
Dengan catatan angka-angka tersebut tampak perbandingan yang sangat mencolok baik  dari sisi jumlah hasil produksi maupun sumbangan penyerapan tenaga kerja perempuan antara Paninggahan dengan Muaro Pingai dan Bukit Kandung. Sebagai ukuran sebuah statistik bolehlah untuk sebuah perbandingan produktifitas. Namun penulis tetap meragukan catatan-catatan angka tersebut. Sebab hingga tahun 1980-an aktivitas menganyam masih banyak dilakoni perempuan daerah ini, meskipun tidak lagi seperti ditahun 1970-an hingga kurun waktu sebelumnya. Bagaimana tidak, pada setiap hari pasar (kamis) di pasar nagari Paninggahan sebuah areal pasar terdapat khusus sebagai transaksi jual beli tikar pandan dari pengrajin kepada konsumen maupun ke pengepul. Kegiatan transaksi seperti itu terus terjadi setiap hari Kamis sebagai hari pasar daerah ini. Bahkan kalau terdesak akan kebutuhan pengrajin juga membawa tikar hasilnya anyamannya ke pasar Sumani di hari Minggu.

Menganyam: Identitas dan Warisan Tradisi Yang Terancam Punah

Malu dan tidak sempurna rasanya
menjadi perempuan asal Paninggahan kalau tidak bisa menganyam.
Ditegaskan lagi oleh orang-orang tua terdahulu dengan pernyataan;
jangan mengaku orang (perempuan) Paninggahan kalau tidak bisa menganyam

Menganyam daun pandan menjadi tikar dilakukan hampir setiap rumahtangga di Paninggahan. Tapi itu kondisi dimasa tiga puluhan tahun yang lalu hingga masa sebelumnya.
Asal-usul dan kapan kerajinan anyaman pandan bermula di Paninggahan? pertanyaan yang sulit untuk diterangkan. Sumber tertulis untuk jawaban pertanyaan tidak tersedia. Adapun sejauh usaha penulis hanya dapat diterangkan dari penelusuran melalui jawaban sejarah dari tradisi lisan. Banyak informan memberikan  penjelasan seragam dari wawancara yang dilakukan dari beragam tingkatan umur dan jenis kelamin. Informasi seragam itu menuturkan bahwa keterampilan mengolah dan menganyam daun pandan didapat secara turun temurun dari keluarga dan sosialisasi lingkungan.[8] Pekerjaan menganyam pada tahap awal diproduksi berupa tikar atau dalam istilah lokal lapiak juga kampia, sumpik dan sarung bantal.[9] Namun demikian Chistine Dobbin sekilas mengambarkan dalam bukunya ‘Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847’ akan keberadaan pedagang berkeliling yang menjajakan tikar pandan di sekitar Danau Singkarak. Aktivitas berdagang keliling seperti itu di sebut dengan bajojo. Lintasan fakta Dobbin itu setidaknya memberikan pemahaman bahwa kerajinan anyaman Paninggahan telah eksis sejak lama di abad-abad yang lalu. Meskipun Dobbin tidak secara tegas dan rinci menyebut nama daerah Paninggahan. Tapi dapat disimpulkan berdasarkan fakta bahwa daerah sekitar danau Singkarak yang aktif dan membudaya aktivitas menganyamnya adalah Paninggahan.
Pada tahap awal hasil pekerjaan tangan itu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dilingkungan rumahtangga dan kerabat. Terbukanya peluang pasar dan berbagai tuntutan ekonomi, kerajinan anyaman pandan Paninggahan kemudian menjadi salah salah satu sumber penghasilan dengan cara memperdagangkannya. Tidak dapat disangkal, menganyam daun pandan menjadi sumber ekonomi tambahan maupun pokok sejalan dengan kegiatan pertanian. Aktivitas menganyam mempertegas bahwa rumahtangga petani tidak bergantung pada usaha tani semata. Mereka juga bekerja diluar kegiatan ekonomi bertani dan beternak sebagai salah salah satu bentuk strategi keberlangsungan ekonomi rumahtangga. Oleh karena itu tumbuhnya sektor industri di pedesaan terutama industri kecil dan rumahtangga sangat penting artinya karena kegiatan tersebut memberikan peluang berusaha, merangsang pertumbuhan ekonomi dan mampu menekan migrasi tenaga kerja keluar pedesaan.[10] .
Pekerjaan menganyam di Paninggahan merupakan dominasi kaum perempuan. Dari banyak tahapan pengolahan bahan mentah hingga masuk pasar nyaris dilakoni utuh oleh kaum hawa di daerah ini. Usaha ini merupakan matapencaharian alternatif, sehingga perekonomian keluarga tidak semata bergantung pada sektor pertanian beternak dan berdagang. Pekerjaan menganyam dilakukan secara sambilan secara rutin untuk mengisi waktu luang setelah pulang membantu kaum laki-laki mengolah lahan pertanian keluarga.[11] Biasanya pekerjaan menganyam dilakukan pada sore hari hingga jelang tidur, bahkan larut malam.[12]  Perempuan terlibat secara penuh dalam usaha kerajinan ini. Mulai dari mendapatkan, pengolahan bahan baku pandan, proses pembuatan hingga membawa produk ke pasar untuk dipasarkan. Peran ditingkat pedagang pengepul hingga pedagang pengecer pun masih diambil alih oleh kebanyakan perempuan. Fenomena berdagang keliling atau dalam istilah setempat manggaleh babelok dan bajojo anyaman berupa tikar pandan marak dilakoni perempuan dimasa lalu. Berjualan keliling dengan bajojo menawarkan barang dagangan dari rumah ke rumah di lakukan ke berbagai tempat di Sumatera Barat (Minangkabau) terutama dimasa sulit karena berbagai keterbatasan. Terlebih masa pergolakan kemerdekaan hingga pasca PRRI hingga tahun 1960-an.[13]
Memasuki tahun 1980-an usaha kerajinan anyaman pandan memperlihat gejala melemahnya akan keberlangsungan tradisi di  Paninggahan. Banyak faktor penyebab, hal positif yang bermuara baik pun menjadi negatif dampaknya terhadap aktivitas menganyam di Paninggahan. Misalnya saja kondisi pertanian yang semakin membaiknya terutama sawah setelah ditopang irigasi teknis sejak tahun 1982, penggunaan pupuk kimia, pestisida pemberantas hama penyakit tanaman serta bibit unggul. Kegiatan bertanam padi pada masa sebelumnya hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun menjadi lebih intensif. Dengan dukungan berbagai kemajuan teknologi dan pengetahuan bertani, telah menyita banyak waktu dan perhatian masyarakat mengurus lahan pertanian mereka.
Alih fungsi lahan sebagai tempat tumbuh kembang habitat tanaman pandan juga tidak terelakkan. Sebanding dengan angka pertumbuhan penduduk Paninggahan, desakan kebutuhan hunian bagi keluarga yang memerlukan lahan. Tidak jarang lahan yang ditumbuhi tanaman pandan dibabat untuk keperluan pembangunan perumahan. Kondisi seperti itu terus terjadi, apalagi jika budaya menganyam telah terputus dalam sebuah keluarga. Lahan yang dulu ditanami pandan dinggap hanya semak dan perlu dibersihkan atau dialih fungsikan untuk keperluan lain seperti untuk membangun rumah, menanam tanaman yang dianggap lebih produktif dan bernilai lebih.
Faktor yang lebih memprihatinkan adalah dari generasi muda terutama remaja yang enggan untuk mempelajari dan menerima keterampilan menganyam. Padahal menganyam sudah berpuluh tahun berlalu membudaya di Paninggahan. Kondisi itu semakin diperkuat dengan arus modernisasi dan globalisasi yang salah tafsir . menerobos hingga ke pelosok pedesaan melalui berbagai media dan sarana. Modernisasi pendidikan misalnya. Pelajar disibukkan dan daya filterisasi masyarakat yang lemah telah megubah cara pandang. Paradigma yang baru adalah baik dan yang lama dan berbau tradisional adalah kuno dan ketinggalan zaman tercermin disini. Pandangan dimasa yang lalunya ‘malu bila tidak bisa menganyam sekarang menjadi malu dan gengsi kalau melakukan aktivitas menganyam’.
Modernisasi pendidikan sekolah dengan segal beban tugas belajar yang mesti dikerjakan hingga ke rumah sepulang sekolah. Alam kehidupan desa yang banyak keterbatasan juga menuntut setiap individu dalam keluarga mesti bekerjasama, terlibat dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga dalam upaya memenuhi kebutuhan bersama. Dengan demikian antara bersekolah, tugas sekolah dirumah dan tugas rumah yang senantiasa menunggu. Terlebih bagi keluarga-keluarga dalam kondisi ekonomi lemah dan pas-pasan. Bagaiamana mungkin lagi waktu dan tugas yang demikian tersisa untuk belajar dan mendalami keterampilan menganyam yang sempurna.
Persepsi menganyam sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi, pekerjaan yang cocok dan layak dikerjakan oleh orang-orang tua atau dalih sulit mempelajari keterampilan menganyam menjadi menjalar luas. Bersekolah, jikalau tidak merantau ikut suami atau sanak famili menjadi harapan baru.
Kemajuan teknologi industri yang menciptakan produk massal berupa tikar-tikar plastik dengan aneka desain, warna dan corak motif banyak sedikitnya telah mencuri perhatian dan menggeser selera masyarakat untuk beralih menggunakan produk moderen ini. Produk dari bahan plastik mampu mengggeser eksistensi kerajinan anyaman pandan ditengah masyarakat Paninggahan. Produk sentuhan teknologi canggih itu jelas lebih praktis, murah, warna, model dan bentuknya punya banyak pilihan.[14] Demikian penegasan dari kenyataan yang sedang dihadapi produk anyaman pandan Paninggahan dalam sebuah laporan penelitian Bappeda Sumatera Barat pada tahun 1976. Semakin lengkap tampaknya serangan dan ancaman bagi anyaman pandan produk berbasis tradisi dan budaya. 

Diversifikasi: Pertahankan Eksistensi Anyaman Pandan Paninggahan

Menyadari berbagai kekuatan yang dapat menggeser atau bahkan mematikan potensi  kerajinan anyaman pandan ditengah masyarakat pendukungnya di Paninggahan. Melihat kenyataan itu pada tahun 1988 Perintah Daerah Kabupaten Solok melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan bekerjasama dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Paninggahan menyelenggarakan program pelatihan diversifikasi produk anyaman pandan. Diversifikasi produk merupakan salah satu upaya mengembangkan dan melestarikan budaya bangsa. Selain memiliki nilai budaya, seni terlebih lagi nilai ekonomi, aktivitas menganyam ternyata juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan mandiri hingga terorganisir. Dengan demikian jenis pekerjaan ini mampu meminimal angka pengangguran dan menambah pendapatan masyarakat.
Di tahun 1988, pemerintah Kabupaten Solok melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangannya memfasilitasi masyarakat mempelajari dan mendalami seluk beluk diversifikasi produk anyaman pandan ke Tasik Malaya Jawa Barat. Sosok yang diberi kesempatan itu adaalh Misnawati Mukhtar. Misnawati Mukhtar diberi kesempatan dengan pertimbangan bahwa diantara sejumlah peserta pelatihan diversifikasi lokal Misnawati Mukhtar dinilai memiliki daya inovasi dari hasil pelatihan yang dilaksanakan selama pelatihan dalam waktu singkat ditingkat lokal itu. Lebih dari mempelajari dan mendalami seluk beluk bentuk diversifikasi produk anyaman pandan, Misnawati Mukhtar diharapkan dapat menjadi fasilitator didaerahnya kelak.
Tasik Malaya menajdi pilihan, karena diversifikasi kerajinan anyaman pandan disana sudah berkembang jauh lebih baik dan maju. Kerajinan anyaman pandan didaerah ini sudah beraneka ragam, mampu dirubah keberbagai bentuk barang kebutuhan dan souvernir. Sementara di Paninggahan masih monoton, hanya tikar  dominan bernilai ekonomi. Seperti apa yang diwarisi dari satu generasi ke generasi tidak jauh berubah dalam soal motif. Kecuali perubahan pemakaian warna dari pewarna dari bahan alami ke pewarna buatan.
Sementara Tasik Malaya variasi-variasi motif, keanekaragaman produk, pemasaran yang lebih luas, modal yang digunakan pengrajin sudah beragam karena dapat dukungan berbagai pihak untuk mempertahan dan mengembangkan kerajinan yang bernilai dalam banyak hal. Inilah kekuatan kerajinan anyaman pandan Tasik Malaya yang telah teroganisir.
Dua minggu waktu yang belum cukup bagi Misnawati Mukhtar untuk menguasai secara utuh model pengembangan diversifikasi produk anyaman pandan seperti halnya Tasik Malaya. Akar budaya dan potensi masing-masing daerah tentu akan mempengaruhi penerapan model diversifikasi seperti apa yang bisa diterima konsumen. Kepergian pada kali pertama itu telah menumbuhkan semangat dan memblatkan tekat Misnawati untuk menguasai lebih jauh soal diversifikasi produk anyaman pandan. Hatinya kian yakin bahwa anyaman pandan Paninggahan bisa bernilai lebih kalau dikembang tepat sasaran sesuai selera pasar dan konsumen. Oleh karena itu itu, Misnawati pada kesempatan kedua secara mandiri melanjutkan belajar selama satu minggu pengembangan produk anyaman pandan ke Tasik Malaya.[15]
Pembinaan terus diintensifkan dalam upaya meningkatkan mutu dan kwalitas produk anyaman pandan Paninggahan. Apalagi diversifikasi merupakan formula baru bagi sejarah perkembangan anyaman pandan Paninggahan. Pada tahun 1993 pemerintah Kabupaten Solok melanjutkan pembinaan dengan membentuk kelompok-kelompok pengrajin. Enam kelompok pengrajin terbentuk yang tersebar di Nagari Paninggahan dalam Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok adalah: diantaranya kelompok Perdana, Mutiara, UPPKA, Janur Kuning, Dahlia di Kecamtan Junjung Sirih. Sementara dua kelompok pengrajin Melati dan Mawar berada di daerah Muaro Pingai.[16]
Agar lebih teroganisir, tahun 1995 dibentuk ‘Asosiasi Pandan Serumpun’ sebagai induk organisasi kelompok pengrajin.Kelompok-kelompok pengrajin melebur kedalam asosiasi ini. ‘Asosiasi Pandan Serumpun’ menjadi sarana dan wadah komunikasi untuk saling bertukar informasi antar sesama kelompok pengarajin dan dengan berbagai instansi pemerintah atau swasta yang memberikan dukungan dan motivasi.
Dengan tekat dan dukungan dari berbagai pihak, sentuhan diversifikasi, akhirnya menghantarkan kerajinan anyaman pada babak perkembangan dalam wajah yang berbeda tanpa mengkensampingkan keberadaan tradisi lama. Hasilnya, kerajinan anyaman pandan Paninggahan menjadi salah satu produk kerajinan unggulan di Kabupaten Solok bahkan Sumatera Barat.[17] Pasarnya terbukti melampau batas negara hingga ke Eropa. Keunggulan-keunggulan dari segi teknis barangkali dapat diserap pengrajin daerah lain. Namun varietas pandan yang tumbuh didukung habitat lingkungan, tempat tumbuh pandan di Paninggahan yang lebih baik.  
  Seperti apa dan bagaimana proses anyaman pandan Paninggahan mencapai diversifikasi?  Lalu siapa dan  bagaimana perjalanannya hingga bisa mengakat anyaman pandan Paninggahan yang mulai redup ? Untuk mendapatkan jawabab itu semua ada baiknya pembaca, pemerhati dan pecinta produk anyaman pandan mengikuti bagian tulisan yang mengupas sosok, usaha dan perannya dalam mendiversifikasi anyaman pandan Paninggaham di Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok Sumatera Barat Indonesia.


[1] Zaiful Anwar, dkk., Pengrajin Tradisional Daerah Sumatera Barat. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 1991. Hlm.1.
[2] Usria Dhavida dan Lisa Sri Dwiyanti., Kerajinan Anyaman Pandan Di Sumatera Barat. (Padang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Propinsi Sumatera Barat ‘Adhityawarman’, 1997). Hlm. 7.
[3] M.Syafiudin L. Lubis., Strategi dan Peluang Pasar Industri Kecil dan Kerajinan Sumatera Barat Dalam dan Luar Negeri. Makalah Kantor Wilayah Departemen Perdagangan Propinsi Sumatera Barat, 1996. Hlm. 1-2.
[4] Tanpa nama pengarang., Pola Kebijaksanaan Pemasaran Hasil Pertanian dan Industri Kerajinan Sumatera Barat. Laporan penelitian (Padang: Bappeda Sumatera Barat, 1976). Hlm. 189.
[5] Diolah dari., Kabupaten Solok Dalam Angka. Solok: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappeda, 1983/1984). Hlm. 166-167.
[6] Tanpa nama pengarang. Op. cit. Hlm. 189
[7] Ibid.,
[8] Wawancara dengan Rosliana dan Niar, pada tanggal 6 Agustus 2003, di Jorong Kampung Tangah Nagari Paninggahan.
[9] Lapiak merupakan sebutan lokal masyarakat Paninggahan terhadap hasil anyaman pandan berupa tikar. Kampia banyak memiliki fungsi sebagai tempat beras, sirih dan peralatan atau barang. Bentuknya pun bervariasi, ada yang dibuat bulat sebesar bahkan lebih besar dari toples. Adakalanya bentuknya menyerupai kubus yang salah satu sisinya terbuka atau berbentuk ruang empat persegi tergantung kegunaannya. Untuk  lebih menarik kampia diwarnai dan diberi motif-motif tertentu seperti geometris. Sumpik seperti halnnya kampia, namun berukuran lebih besar layaknya karung yang terbuat dari bahan plastik maupun serat. Jauh sebelum masyarakat mengenal dan menggunakan karung berbahan plastik atau serat, anyaman pandan lebih dulu mengambil peran untuk menyimpan barang terutama sebagai tempat padi dan beras.
[10]Ken Suratiyah., Pengorbanan Wanita Pekerja Industri. Dalam Irwan Abdullah, (Editor)., Sangkan Paran Gender. (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Hlm. 22
[11]Tanpa nama pengarang., op cit. Hlm. 188.
[12]Wawancara dengan Niar, pada tanggal 6 Agustus 2003, di Jorong Kampung Tangah Nagari Paninggahan.
[13]Wawancara dengan Miah, pada tanggal 26 November 2003, di Lubuk Panjang Dusun Cacang-Batua Jorong Subarang Nagari Paninggahan.
[14]Tanpa nama pengarang., op cit. Hlm. 188.
[15]Wawancara dengan Misnawati Mukhtar, pada tanggal 4 Agustus 2003, di Jorong Gando Nagari Paninggahan. Lihat juga., Jumadi., Misnawati Mengubah Daun Pandan Menjadi Bernilai Ekonomi Tinggi. (Tabloid Limbago Nusantara, Edisi Perdana, Padang, 1996). Hlm. 25
[16]Suhafni Duski., Profile Beberapa Kelompok Industri Rumahtangga DI Paninggahan dan Saning Bakar, Kecamatan X Koto Singkarak. (Pemerintah Kabupaten Solok Pro-RLK Sektor Perindustrian Bappeda Kabupaten Solok, 1995). Tanpa nomor halaman.
[17]Wawancara dengan A. Rusmi, pada tanggal 5 Agustus, di Solok.