Budaya & Tradisi: Menolak Bala, Baureh dan Berharap Berkah

KARU:  
Menolak Bala, Baureh dan Berharap Berkah
 
Bila saja kita berada di kota Sawahlunto. Ada baiknya mampir ke desa Balai Batu Sandaran. Desa ini berada dalam administratif Kecamatan Barangin. Berada diatas perbukitan, menjadikan desa ini memiliki udara yang sejuk dan bentang alamnya nan eksotik menyejukkan pandangan mata.Jalan mendaki dan menurun serta jurang dan dinding bukit menjadikan tantangan sekaligus keelokan bentangan alam desa ini. Desa Balai Batu Sandaran dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua (sepeda motor) maupun roda empat (mobil). Kondisi jalan cukup baik dan lebar dengan aspal dan sebagian beton.

Sejauh pengamatan kami di Balai Batu Sandaran, cukup banyak menyimpan  potensi wisata alam dan budaya dan agro wisata yang potensial. Khusus kebudayaan masyarakat disini. Ada satu hal yang menarik perhatian kami, ketika terungkap dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sawahlunto melalui Bidang Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman beberapa waktu yang lalu. Diskusi yang dilaksanakan di Balai Adat yang bersebelahan dengan Kantor Kepala Desa Balai Batu Sandaran dihadiri oleh Kepala Desa, Ninik Mamak, Bundo Kanduang dan Tokoh Masyarakat lainnya.
Diskusi kali ini menyangkut kesejarahan, sosial dan kebudayaan. Ada hal yang menarik dan menjadi fokus diskusi kami bersama diantara topik lainnya. Adalah Situs Balai Batu Sandaran itu sendiri. Lebih menarik lagi karena berkaitan erat dengan tradisi rakyat setempat. Tradisi itu dalam keseharian masyarakat setempat disebut dengan KARU. Karu adalah upacara Tolak Bala disertakan dengan Baureh. Karu dilaksanakan dari zaman dahulu hingga sekarang secara rutin. Waktu pelaksanaan Karu secara rutin 2 kali dalam setahun dan dilakukan pada siang hari.
 

Pelaksanaan pertama setiap akan memasuki bulan puasa Ramadhan. Sebulan atau 20 hari menjelang masuk Ramadhan, seluruh unsur pemuka dan tokoh masyarakat mengadakan rapat terlebih dahulu di Balai Adat untuk membicarakan dan mempersiapkan ritual Karu. Pada waktu ini, hari pelaksanaan Karu sekaligus ditetapkan. Biasanya 2 atau 1 hari menjelang pelaksanaan puasa Ramadhan, Karu diputuskan untuk dilaksanakan. Waktu pelaksanaan Karu ke 2 adalah selepas Ramadhan.
 

Karu ada kalanya dilaksanakan juga oleh masyarakat pada tingkat dusun/jorong masing-masing. Pelaksanaan Karu tingkat ini tergantung kesepakatan masyarakat setempat dan sesuai kemampuan. Akan tetapi Karu Nagari sebagai puncak dimana semua lapisan masyarakat setiap dusun/jorong serta merta bergabung pada Karu Nagari.

Selain dilaksanakan secara terjadwal tersebut, Karu juga adakalanya dilaksanakan pada saat-saat yang dianggap darurat seperti halnya kalau terjadi wabah penyakit yang meluas dalam masyarakat atau bahkan ketika pertanian terserang hama penyakit tanaman yang mengancam dan mengakibatkan gagal panen. Keadaan seperti ini diyakini sebagai bala yang sedang menyerang sendi kehidupan masyarakat. Maka untuk itu perlu diadakan sebuah upaya untuk melawan dan menetralisir, sehingga keadaan kembali normal. Dimana masyarakat dijauhkan dari gangguan kesehatan dan aktivitas perekonomian pertanian berjalan dengan baik untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

Karu sebagai ritual do’a tolak bala bagi masyarakat Balai Batu Sandaran Kota Sawahlunto memiliki keunikan dan beberapa perbedaan dengan tolak bala di beberapa tempat lainnya yang juga memiliki tradisi sama seperti Silungkang, Kubang, Kolok dan daerah lainnya. Perbedaan Pertama adalah dari nama. Kalau didaerah lain disebut dengan sebutan biasa Do’a Tolak Bala sedangkan di Balai Batu Sandaran Karu. Kedua, Do’a Tolak Bala dilaksanakan biasanya pada malam hari sambil berkeliling kampung dan mengunjungi tempat-tempat yang dianggap suci, keramat dsb-nya. Sedangkan Karu dilaksanakan pada siang hari dan dipusatkan satu tempat dalam hal ini di Situs Balai Batu Sandaran di Pusat Desa. Ketiga, jika Do’a Tolak Bala lebih banyak mengumandangkan dan membaca do’a serta pujia-pujian pada yang Maha Kuasa, Karu justeru memiliki prosesi lanjutan dengan Baureh dan Makan Bersama yang ditunggu masyarakat. Karenanya boleh dibilang hari pelaksanaan Karu itu bak hari libur semua lapisan masyarakat desa dari segala aktivitas selain hanya untuk mengikuti Karu. Tidak heran rasanya kalau masyarakat Balai Batu Sandaran tumpah ruah dijalan desa menuju tempat berkumpul di Situs Balai Batu Sandaran di Pusat Desa.
 

Sebelum menepati hari pelaksanaan, berbagai persiapan dilakukan. Untuk hal menyangkut prosesi dan ritual Karu segala persiapannya dilakukan oleh tetua dan orang pintar yang disebut dukun nagari. Berbagai do’a-do’a dan bahan serta peralatan baureh pun disiapkan. Baureh nantinya adalah bagian penting yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang mengikuti Karu. Dengan perantaraan Baureh masyarakat berharap kepada Allah, Tuhanp enguasa jagat raya melimpahkan berbagai nikmatnya. Terutama kesehatan dan apa yang diusahakan berhasil. Mendapat hasil yang melimpah dari kegiatan perekonomian terutama pertanian selamat jauh dari gangguan. Sedangkan persiapan tempat dilaksanakan secara bergotong royong disekitar Situs Balai Batu Sandaran yang dipimpin oleh Kepala Desa, Ninik Mamak dan Tokoh serta Pemuka Masyarakat lainnya.
 

Sementara kaum ibu kebagian tugas menyiapkan segala macam makanan. Saat ini berbagai jenis makanan dan penganan khas tersaji. Meskipun masakan itu dibawa oleh setiap keluarga yang datang, namun siapa saja dapat menyantapnya. Suasana seperti ini tentu mengambarkan kepada kita harmonisasi dan kebersamaan serta kegotong royongan masyarakat yang hidup di alam pedesaan Balai Batu Sandaran Kota Sawahlunto. Bahkan untuk Karu nagari sekali waktu disiapkan ternak seperti kambing, sapi atau kerbau untuk dipotong dan dimasak secara bersama-sama. Makan bersama pun diselenggarakan setelah do’a tolak bala dan baureh dilaksanakan.
Pada hari pelaksanaan, sang orang pintar (tetua/dukun nagari) mengambil posisi memimpin ritual Karu. Segala do’a dan puji-pujian dihaturkan kepada Allah, SWT, salawat serta salam pun tidak lupa ditujukan kepada nabi Muhammad, SAW. Di ikuti oleh semua masyarakat yang hadir dengan penuh khusyuk. Ditempatkannya upacara Karu di Situs Balai Batu Sandaran bukan hendak melakukan sebuah kesyirikan. Demikian penjelasan bapak Nasirwan kepala desa yang memoderatori diskusi kami dan penegasan itu diikuti penjelasan peserta lainnya. Tempat itu hanya sebagai tempat dan penghormatan kita pada yang telah terdahulu. Karena dahulu, di Balai Batu Sandaran yang sekarang merupakan Situs bersejarah ini. Para pemuka dan tetua pendiri nagari merumuskan berbagai tatanan kehidupan nagari ketika nagari ini dibuka (taratak). Kami hanya menjaga sikap terhadap alam dan lingkungan serta tradisi yang pernah ada. Kami tidak mau mengalami seperti yang pernah terjadi dan dialami oleh seorang anak muda sekitar tahun 1970-an.
 

Dimana kala itu, ada seorang anak muda mencomooh keberadaan Balai Batu Sandaran. Kalau kita lihat secara kasat mata yang ada memang hanya bebatuan yang tersusun dan ditempatkan sedemikian rupa. Namun ada hal-hal diluar pengetahuan dan kekuatan kita. Karena sikap dan perilaku anak muda tadi, dalam perjalanannya sepulang dari Balai Batu Sandaran, secara tiba-tiba anak muda itu sakit dan seketika meninggal dunia. Terlepas ada tidak kaitannya yang jelas peristiwa itu memberikan pelajaran kepada kami untuk tidak angkuh dan sombong, apalagi terhadap alam. cukuplah peristiwa gaib yang terjadi dahulu menjadi pesan dan pelajaran bagi kita selanjutnya.
Kembali ke ritual Karu, saat sang dukun nagari memercikkan siraman air dengan menggunakan tumbuhan alam yang terdiri dari Sitawa, Cikumpai, Cikarau, Sidingin yang telah dimantra-mantrai (dipanjatkan do’a pada Allah SWT) dengan sedikit diasapi asap kemenyan, masyarakat yang hadir saat itu berebutan untuk mendapat siraman dari percikan air itu. Bagian dari prosesi Karu ini mencapai pada tahap baureh namanya. Dalam prosesi baureh ini bebagai harapan dipanjatkan agar senantiasa Allah yang Maha Kuasa memberikan kesehatan jasamani dan rohani dan dijauhkan dari marabahaya dan penyakit yang akan mendera. Kadangkala masyarakat juga membawa bahan-bahan baureh berupa Sitawa, Cikumpai, Cikarau, Sidingin untuk di do’akan oleh sang orang pintar pemimpin ritual sebagai bekal baureh yang akan mereka bawa pulang dan dipergunakan nantinya dirumah.

Puncak Karu berakhir dengan makan bersama. Masyarakat kembali pulang ke rumah dengan membawa segenap harapan untuk dapat menjalani setiap sendi kehidupan dalam lindungan dan tuntunsn yang Maha Kuasa.

By: Yonni Saputra                                                Sumber Foto:Yogi