Bahasa Tansi Sawahlunto: Bahasa 'Kreol Buruh' Pertama Di Indonesia


Bahasa Tansi :
Satu Bahasa Ibu Dan Identitas Yang Terabaikan
Oleh:
Elsa Putri Ermisah Syafril (Penulis Kamus Bahasa Tansi)

I. Sejarah Masyarakat Tansi

Sejarah pertambangan yang sekaligus menandai perubahan Sawahlunto dari areal persawahan dan perladangan menjadi sebuah Kota Arang Modern bermula dari penemuan kandungan batubara di Timur Singkarak pada tahun 1851 oleh Ir. C. De Groot dan penemuan lapisan batubara di Ulu Air, lembah bukit yang tidak berpenghuni di daerah aliran batang Ombilin pada tahun 1868 oleh Ir. W.H. de Greve, seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda yang lain – yang telah membuat catatan Geognostische yang diplubikasikan pada tahun 1871. Penemuan-penemuan de Groot dan de Greve itu diperkuat oleh laporan P. Van Diest yang terbit setahun kemudian tentang tingginya kualitas batubara Ombilin yang dilanjutkan oleh penelitian opzechter Kals-Hoven dan juga penelitian Ir.Verbeek.
Penemuan cadangan batubara di Sawahlunto yang diharapkan akan menjawab kebutuhan atas bahan bakar kapal uap segera disusul oleh hasrat eksploitasi yang menggebu, yang baru terealisasi di dekade terakhir abad ke-19. Guna melancarkan upaya eksploitasi, sejumlah infrastruktur, seperti pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) dibangun pada 1892, menyusul kemudian jalur kereta api Sawahlunto-Teluk Bayur pada tahun 1894. Untuk melancarkan hasrat eksploitasi beserta pembangunan sejumlah infrastruktur pendukung itu, perusahaan tambang milik Pemerintah Kolonial Belanda mengerahkan buruh paksa dalam jumlah yang besar, yang dimungkinkan setelah sebelumnya ada kesepakatan dengan Departemen Kehakiman di Batavia untuk mempekerjakan para narapidana, terutama dari penjara Glodok dan Cipinang yang sudah penuh sesak. Melalui keberadaan para buruh inilah, sebuah sejarah pertambangan di pedalaman Sumatera Barat dimulai, dan sebuah cikal-bakal masyarakat Tansi Sawahlunto dilahirkan.
Guna menampung para buruh tambang itu, H.G. Heyting, Asisten Residen Tanah Datar, mengusulkan agar dibangun desa buruh tetapi usulnya itu tidak diindahkan. Pihak perusahaan tambang hanya membangun barak-barak bagi para buruh yang disebut Tansi. Ada tiga (3) pengertian Tansi, pertama, kata Tansi sebagai akronim dari ’tahanan besi’, khusus bagi buruh paksa, kaum pekerja pertama yang didatangkan yang menjadi cikal bakal terbentuknya masyarakat buruh tambang atau yang disebut sebagai masyarakat tansi. Informasi ini didapat dari masyarakat yang tinggal di daerah yang dulunya adalah kawasan Tansi Rantai. Pengertian ini agaknya mengacu pada buruh paksa yang selalu dalam keadaan dililiti rantai besi. Kedua, kata ’tangsi’ sebagai akronim dari ’tahanan kongsi’ dengan ditambahkan konsonan ”g”. Informasi ini didapat dari kalangan peranakan Tionghoa, generasi kemudian dari para buruh Cina. Pengertian ini berkemungkinan mengacu pada para buruh Cina yang ’dijual’ oleh kongsi-kongsi pengerah tenaga kerja yang ada di Pinang dan Singapura. Keiga, kata ” tangsi” dalam pengertian sebagai barak.
Pada Awalnya, ada tiga tansi yang dibangun di kawasan ’pusat kota lama’ (PKLm), yaitu Tansi Rantai (untuk orang-orang rantai), Tansi Tanah Lapang dan Tansi baru yang berlokasi di desa Air Dingin. Namun, seiring perluasan dan dibukanya areal tambang baru yang lebih ke utara, tansi-tansi baru terus dibangun. Perkembangan lokasi tambang dan dibangunnya tansi-tansi yang baru, seperti di kampung-kampung Surian, Sungai Durian, dan Sikalang membentuk apa yang disebut sebagai ’teras kota lama’ (TKLm). Tansi-tansi yang dibangun belakangan ini memang sedikit lebih baik seperti bangunan yang semi permanen, adanya kamar khusus untuk buruh-buruh yang sudah beristri, dapur dan kamar mandi bersama.
Di tansi-tansi itulah para buruh tambang menjalani kehidupan sosial yang timpang yang selalu dalam pengawasan dan diwarnai kekerasan. Pengawasan itu datang ari para mandor yang tinggal di sekitar tansi, atau pun dari pejabat Kolonial dan Petinggi Perusahaan dari rumah mereka yang terletak di tempat tinggi dan langsung menghadap tansi, terutama Tansi Rantai (Tansi Rante). Meskipun demikian, interaksi sosial antar buruh di tansi jauh lebih terbuka dibandingkan saat mereka berada di lokasi tambang dengan pengelompokan kerja berdasarkan etnis.
Tansi, dengan ruang bangsal dan jalan-jalan kecil yang disebut gang serta dapur dan kamar mandi bersama yang dibangun lebih kemudian menjadi media interaksi sosial yang mempertemukan buruh tambang dari berbagai etnik, bangsa, dan kategori. Pertemuan ini tentu diiringi dengan terjadinya peristiwa komunikasi, mulai dari yang sederhana sampai ke yang lebih kompleks, yakni ditandai dengan adanya sebuah ”bahasa” yang dapat berterima dan dipahami bersama dalam interaksi sosial antar buruh tersebut.  Sebuah ”Bahasa” yang oleh generasi yang lahir belakangan, dinamai sebagai bahasa Tansi.

II.     Bahasa Tansi dalam Telisik Sosiolinguistik Antropologi

Bahasa Tansi (BT), secara kualitatif (sejarah, sosial, dan budaya), merupakan bahasa kreol (creole) yang berasal dari kelompok sosial masyarakat buruh tambang batubara yang hidup di lubang-lubang tambang, di penjara-penjara dan di tansi-tansi di kota Sawahlunto. Dengan demikian, dalam konsepsi kebahasaan, BT merupakan bahasa campuran (mixture) dari berbagai bahasa buruh tambang batubara, seperti Minangkabau, Melayu, Jawa, Cina, Sunda, Balil, Madura dan Bugis. Secara etimologi, creole berawal dari bahasa Spanyol criollo dan atau Portugis crioulo, keduanya berasal dari kata kerja criar (memunculkan)yang pada dasarnya berasal dari bahasa Latin creare (menghasilkan). Pengertian secara spesifik dari kata tersebut muncul pada abad ke-16 dan 17 pada masa ekspansi kekuatan maritim dan sistem perdagangan Eropa yang menjadikan bangsa tersebut memiliki koloni-koloni yang tersebar di seluruh dunia. Kata criollo dan crioulo pada awalnya digunakan oleh bangsa Spanyol dan Portugis untuk menyebutkan kualifikasi kelompok keturunan berdasarkan perkawinan campur yang lahir di daerah-daerah koloni yang di anggap berbeda dari bangsa Spanyol dan Portugis ”asli”. Selanjutnya, seiring perkembangan waktu, istilah creole, kreyol, kriol dan sebagainya telah menjadi sebuah nama yang digunakan untuk menyebutkan kelompok etnis yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah baru yang berawal dari imigrasi dan perkawinan campur di antara etnis yang bermigrasi atau etnis tersebut dan masyarakat lokal yang kemudian istilah bahasa kreol mengacu pada bahasa yang dituturkan oleh masyarakat kreol.
Sementara itu, apabila dari kehadirannya, secara teoritis, BT (sebelum berkembang menjadi bahasa kreol) dapat digolongkan sebagai bahasa pijin dengan sifat polygenetic, berasal dari campuran (mixture) beberapa bahasa asal buruh tambang, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan sejumlah contoh, seperti adanya penggunaan kata sapaan untuk orang yang lebih tua dari berbagai bahasa dalam BT secara umum, seperti ’ni’ (kata sapaan untuk perempuan yang lebih tua, kakak perempuan dalam bahasa Minangkabau (BM): ’uni’. Mas (mas) (kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua, kakak laki-laki dalam bahasa Jawa (BJ). ’Kang’ (kan) (kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua; kakak laki-laki dalam BJ dan bahasa Sunda (BS), ’beli’ (beli) (kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua; kakak laki-laki dalam bahasa Bali (BB), ’deyeng’ (deyen) (kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua; kakak laki-laki dalam bahasa Bugis (BBg): ’daeng’ (daen), ’incek’ (ince) (kata sapaan untuk perempuan yang lebih tua; kakak perempuan dalam bahasa  Cina (BC), dan ’koko’ (koko) (kata sapaan untuk laki-laki yang lebih tua; kakak laki-laki dalam BC). Sebagai tambahan, terdapat juga kata sapaan ’ke’ yang diasumsikan berasal dari BJ ’koe’.
Selain kata sapaan tersebut, juga terdapat beberapa kata, seperti ’kede’ (kade) (bahasa Melayu (BMy): ’warung’), ’cammana’ (BMy ’cemana’ : bagaimana ), dan ’kerna’ (BMy ’karna’: ’karena’). Gambaran leksikon itu menjelaskan bahwa BT ”miskin” kosakata karena umumnya kosakata yang ada berasal dari berbagai bahasa yang mengalami perubahan bentuk, baik fonologis maupun morfologis. Meskipun demikian, penggunaan berbagai leksikon tersebut tidak menegaskan BT sebagai bahasa yang sarat dengan ”pinjaman” dari satu bahasa ke bahasa lain, melainkan sebagai sebuah pijin karena tidak adanya satu struktur bahasa pun yang dipinjam.
Selain itu, kodifikasi BT sangat sederhana dan kendur; kecenderungan struktur kalimat mana suka atau tidak baku, serta terdapat penggalan-penggalan kata dan kalimat dari bahasa tertentu (reduced). Bentuk itu dapat dibuktikan melalui salah satu contoh:
+ : ”Ni Tis, mo mana ke ?”
     ’Kak Tis, mau (ke) mana kamu?’
     ’Kak Tis, hendak ke mana kamu?’
-                                                          : ”Mo belanja”.
’Mau (ber-)belanja’.
’Hendak berbelanja’.
                        +  : ”mana?”
                              ’Ke mana?’
-                                                       : ”Kede (kade), Mo titip apa ke ?”
 ’ke kedai. Mau (men-)titip apa kamu?’
 ’(aku hendak) ke warung. Apakah kamu akan menitip sesuatu?’

+  : ”Ndak (nda), aku sangka (sanka) mo pigi pasar, aku mo titip  bayam”.
’Tidak, aku sangka mau pergi pasar, aku mau (men-)titip (sayur)   bayam’.
      ’Tidak, aku mengira kamu mau pergi (ke) pasar, aku mau menitip sayur bayam.

Berdasarkan beberapa contoh kalimat di atas, kalimat tanya dalam BT cenderung mana suka dalam pemakaian kata tanya dan kata tanya cenderung terbentuk dari verbum, Contoh Ni Tis, mo mana ke ? dan pigi pasar ke Lik?, (untuk bahasa pijin yang polygenetic dan reduced).
Apabila ditilik beberapa contoh penggunaan BT di atas, bahasa dasar dari BT adalah bahasa Melayu yang mengalami pecampuran dengan berbagai bahasa dari berbagai etnis yang ada di kota Sawahlunto. Hal ini menjadi kasus kebahasaan yang menarik, bahwa sebagai bahasa kreol, BT tidak sebagaimana bahasa kreol umumnya yang menjadikan bahasa-bahasa Eropa sebagai bahasa dasar, seperti kreol Karibia dan Tok Pisin di Papua New Guinea yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa dasar. Pertanyaan lebih jauh ialah sejauhmana intensi politik di balik kasus kreol Tansi ini ? Apakah memang ada kesadaran dekolonisasi dan resistensi melalui bahasa, atau lebih disebabkan politik kebahasaan Kolonial Belanda  yang lebih memilih menggunakan bahsa Melayu dan bukan bahasa Belanda sebagai bahasa ”pengantar” di Hindia Belanda? Penulis sendiri lebih cenderung untuk melihat kedua hal itu tidak secara dikotonomi. Namun, dalam hemat penulis, kedua hal itu, baik politik bahasa kolonial maupun latar sejarah masyarakat Tansi sebagai masyarakat yang berawal dari pembuangan tahanan politik kolonial, menjadi dua faktor penting yang secara natural membentuk BT. Politik bahasa kolonial di satu sisi dan semangat resistensi di sisi yang lain, keduanya secara bersama ikut menyumbang bagi lahirnya bahasa Kreol Tansi.
   Selain itu, dari sisi sintaksis, ada temuan lain yang cukup menarik, yakni struktur kalimat pasif BT yang lebih menggunakan kata kenak sebelum predikat, seperti:
Ke kalo jaek kenak marah sama bapak ntik.
Kamu kalau nakal (nanti dimarahi bapak).
Contoh di atas menunjukan bagaimana kalimat pasif BT tidak diikuti pengimbuhan (prefiks (di-), tetapi memiliki pola tersendiri, yaitu kenak + predikat (verba, nomina dan adjektiva). Pola ini merupakan konstruksi pasif dalam BT tanpa pengaruh morfologi dan sintaksis BI. Hal ini, secara linguistik, memperjelas bahwa BT memiliki kodifikasi yang kendur (mudah berubah) dan berdasarkan latarbelakang sejarah perburuhan di Sawahlunto. Buruh adalah kelompok yang berada pada status sosial paling rendah, yang selalu menderita dikenai tindakan, seperti dimaki, dicambuk dan dirantai sehingga penggunaan kata kenak (kena tesebut dilatari oleh kondisi para buruh sebagai lapis bawah di dalam struktur sosial kolonial. Ciri sintaksis yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan sejarah buruh dipertambangan ini disebut sebagai sosio-historis sintaksis. Penamaan tesebut didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa sintaksis saat akan makna budaya, ketika membicarakan pemaknaan sintaksis, kita akan menemukan nilai-nilai budaya dan pemikiran, petunjuk tentang struktur sosial yang dibentuk oleh si pembicara dan fakta tentang hubungan timbal balik antara sejarah dan struktur sosial dari masyarakat.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dengan masyarakat awal yang berasal dari para buruh tambang yang sengaja didatangkan oleh Belanda dari luar Sumatera Barat. Mereka adalah masyarakat yang diisolasi di dalam sistem peburuhan yang kejam di tengah belantara Sumatera Barat, yang hidup di antara lubang-lubang aliran tambang, tansi-tansi dan penjara-penjara. Interaksi dengan penutur bahasa Minangkabau khususnya pada periode-periode awal, sangat terbatas yang dilatari oleh keengganan oran Minangkabau untuk bekerja di lubang-lubang tambang dan lebih memilih sebagai buruh lepas atau pedagang yang menetap di luar tansi, baik di pusat kota lama maupun di teras kota lama.
Hal menarik selanjutnya ialah telah ditemukannya ragam ”tulis” dari bahasa Tansi. Ragam tulis BT ini ditemukan dalam kegiatan seni, khususnya pertunjukan tonel yang telah muncul dan berkembang sejak masa perburuhan tambang batubara zaman kolonial. Sejak tahun 1965, seni pertunjukan ini dilarang tampil dan baru muncul kembali pada tahun 1970-an dengan nama yang berganti menjadi Sandiwara. Adanya naskah tonel dalam BT tersebut, yang ditulis pada tahun 1988 dengan berlatar Sawahlunto pada tahun 1923, dengan sendirinya menegaskan tentang kehadiran tradisi tulis dalam BT yang di sisi lain juga menegaskan bahwa BT bukan semata ”dialek”, tp sebuah ”bahasa ibu” bagi masyarakat Tansi Sawahlunto.
Pada saat ini, berdasarkan deskripsi struktur linguistik yang khas, BT dapat dibagi menjadi dua dialek, yaitu Pusat Kota Lama dan Teras Kota Lama. Untuk dialek PKLm, secara fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikosemantik telah dipengaruhi dan mengarah pada bahasa Indonesia, sementara dialek Teras Kota lama (yang sampai hari ini dapat terpengaruh secara signifikan oleh bahasa Indonesia, namun apabila dibiarkan bahasa Tansi ”asli” ini akan hilang dan tergantikan oleh bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia seperti dialek Pusat Kota Lama (PKLm). Perubahan PKLm sangat dipengaruhi oleh posisi daerah penggunaan dialek PKLm yang merupakan pusat kota, pusat administrasi kota dan perdagangan yang memungkinkan percampuran dengan orang luar terjadi. Selain itu, sistem pendidikan di daerah pusat kota lebih baik daripada daerah lain, ini sangat berpengaruh terhadap dekreolisasi bahasa Tansi.
Proses dekreolisasi ini telah menempatkan bahasa Tansi dalam perbandingannya denngan bahasa bawah dalam situasi ”triglosik”, bahasa Tansi akan dibandingkan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabu dan juga terdapat bahasa lain yang ’berdampingan’ penggunaannya dengan ketiga bahasa tersebut, terutama yang digunakan oleh para remaja, yaitu bahasa yang mereka sebut sebagai bahasa gaul.
Pada akhirnya, sebuah politik bahasa dengan paradigma yang berbeda dari politik bahasa kolonial menjadi sebuah jawaban yang akan membuka ruang bagi perkembangan dan pemertahanan bahasa-bahasa ”ibu” secara umum, termasuk di dalamnya bahasa kreol Tansi yang memiliki latarbelakang sejarah, sosial dan budaya yang unik. Begitu pun telaah-telaah kebahasaan yang sekian lama hanya berkurung dalam kajian-kajian intralinguistik mungkin sudah tidak dapat menjadi jawaban di tengah perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam percepatan perubahannya, baik secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Telaahan-telaahan kebahasaan yang lebih holistik dengan metode partisipatif yang memungkinkan terbangunnya ”dialog” dan perubahan cara pandang atas bahasa secara substantif agaknya sudah mesti diperhitungkan. Melalui perubahan dalam politik kebahasaan dan telaah-telaah kebahasaan, khasanah keberagaman bahasa akan menjadi satu sisi yang menguatkan dan memberikan pengayaan atas Bahasa Indonesia di sisi yang lain. 
 ***********
Ctt:
Elsa Putri menyelesaikan studi S3nya  dengan kajian Bahasa Tansi dan menghantarkannya memperoleh gelar Doctor di UGM ditahun 2010 lalu.