Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat

Oleh: Zaiyardam Zubir
Dari DOKTOR BATANG PISANG
-sekali berbuah setelah itu mati-
Sampai GURU BESAR HANYA NAMA (GBHN):
Nestapa Kaum Intelektual di Sumbar[1]

Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu
(Alquran, Al-Mujadalah: 11)
Tuntutlah ilmu mulai dari turun buaian sampai ke liang lahat 
 (Hadist Nabi Muhammad SAW)
Dan tak satu pun ayat menyebutkan,
Allah meninggikan derajat orang berkuasa
                                                                                    (Kuntowijoyo, 2001) 

 I. Dari Manakah Kita Mulai Menulis ?

Seorang dosen muda berbakat, dengan semangat menggebu-gebu, mendatangi saya. Ia ingin konsultasi soal dunia tulis-menulis. Katanya ia pingin jadi penulis, namun ia menghadapi kesulitan besar. Kesulitan yang dihadapinya adalah ia tidak tahu dari mana harus mulai menulis. Padahal, di kepalanya telah bergumul berbagai gagasan yang radikal dan cemerlang dari proses belajar yang ia lewati. Saya sebenarnya tidak memiliki obat apa pun dalam menghadapi persoalan seperti ini sehingga tidak dapat memberi resep bagi penyakit yang dihadapinya itu. Ketika ia tanyakan bagaimana saya memulai menulis, pengalaman sayalah yang saya ceritakan, sebagaimana juga ingin saya ceritakan dalam forum ini.
Hal yang paling utama adalah biarkan saja gagasan yang ada di kepala bergerak secara liar, tak terkendali, melampaui tapal batas pikiran manusia. Apa pun gagasan yang ada, jangan takut dan jangan dibatasi oleh norma apa pun juga. Biarkan saja ia menerawang  bebas, mencari bentuknya sendiri dan inilah yang kemudian dituliskan. Setelah gagasan terbentuk di kepala, endapkan dalam jiwa dan biarkan ia bergumul dengan nurani kemanusiaan. Setelah melewati proses itu, resep untuk menulis itu sederhana saja, yaitu hidupkan komputer, lantas ketik saja apa yang diingat, dipikirkan, dirasakan dan biarkan saja diketik semuanya dahulu seperti air mengalir.
Saya ingin mencontohkan proses keterlibatan saya dalam salah satu pelatihan menulis buku ajar. Sebelumnya, satu pertanyaan ingin saya kemukakan : sebagai sebuah proses kreatif dalam dunia tulis-menulis, apakah pelatihan buku ajar ini akan dapat melahirkan penulis handal ataukah hanya sebagai sebuah proyek belaka ? Ada dua kata kunci di sini, yaitu pelatihan ini sebagai sebuah proses latihan tulis-menulis dan sebagai sebuah proyek. Sebenarnya hal ini amat sangat tergantung dari peserta, sebagai contoh keterlibatan saya dalam pelatihan ini : 
Contoh 1
Rabu, pukul 10 pagi 19 November 2003 saya didatangi oleh Erma Dewita, seorang pegawai di Fakultas Sastra. Ia menawarkan kepada saya untuk mengikuti Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah atau Pelatihan Buku Ajar. Saya pun mengambil kesempatan untuk mengikuti pelatihan buku ajar tersebut sebagai peserta. Namun, ketika saya pulang sekitar pukul 12 malam, istri saya memberikan surat yang diberikan oleh Pak Ismet, panitia penyelenggara pelatihan ini,  yang rumahnya berdekatan dengan rumah saya. Setelah saya baca suratnya, saya jadi heran juga : mendaftar sebagai peserta, kok  surat yang ke tangan saya itu meminta saya sebagai narasumber. Ketika membaca surat itu, di kepala saya bergumul pikiran-pikiran liar: apa kriteria narasumber ini, apa saya berhak sebagai narasumber, bagaimana panitia memutuskan saya sebagai salah seorang narasumber? Sementara di Unand banyak  Prof. dan Dr. yang namanya sudah melanglang buana, dipakai di banyak tempat dan tamatan dari universitas bergengsi di luar negeri lagi. Sementara awak ini apalah, cuma seorang magister, tamatan  dalam negeri pula.

Pikiran memelas diatas  muncul karena saya baru saja membaca buku baru yang diterbitkan oleh Unand yang berjudul New Paradigm of Andalas University in the Era of Globalization. Buku yang dicetak dengan edisi luks itu berisi tentang: Paradigma Baru Unand Dalam Menyongsong Era Globalisasi. Bagian yang menarik bagi saya dari isi buku itu adalah bagian Academic Profile of Professor and Doctor. Jumlah yang ada pasti akan dapat membuat kaget karena melihat banyaknya jumlah Prof. dan Doktor di Unand ini sangat banyak, yaitu 197 orang (162 orang Dotkor, 69 orang Profesor dan 39 orang Profesor Doktor dan 30 Prof. Drs. atau Prof. IV E). (Lantas, saya biarkan pikiran liar saya berkembang).
Jika mereka yang Prof. dan Dr. ini menulis 1 buku dalam setahun (menurut hemat saya, menulis 1 buku dalam setahun itu angka rendah), bayangkan, Unand akan melahirkan setidaknya 200 judul buku dalam setahun (yang tiga tambahannya mungkin dari drs. atau magister). Realitasnya, berapa buku yang dilahirkan oleh Unand dalam setiap tahunnya? Memang ada beberapa nama cemerlang yang menulis seperti Dr. Fasli Jalal. (Namun yang lainnya, sepatutnyalah mereka berterima kasih kepada Andalas University Press karena penerbit inilah yang menyelematkan muka para Prof. dan Dr. di Unand atau kepada jurnal ilmiah di lingkungan Unand yang mereka buat untuk menerbitkan karya mereka sendiri, baca sendiri atau untuk kalangan sendiri). Bahkan kacaunya lagi, ada Prof. yang tidak memiliki karya sama sekali. Heran juga, kok bisa jadi mereka Prof., ya?!
Program PR I Unand tahun anggaran 2003 lalu tentang penerbitan buku misalnya, sangat mendukung proses kreatif menulis dosen. Progam itu telah melahirkan 7 buah buku, yang diterbitkan oleh Andalas University Press. Hanya, rasio naskah yang masuk dengan Prof. Dr. di Unand kembali berbanding terbalik. Betapa tidak, naskah yang masuk hanya 14 buah dan diterima 8 buah. Dari yang delapan itu, 3 naskah ditulis oleh Prof. Dr,  3 naskah ditulisDr. dan 2 naskah ditulis magister 6  (1 naskah magister mengundurkan diri).
Kalau di atas tadi muncul pikiran memelas, maka sekarang muncul ‘pikiran sesat’. ‘Pikiran sesat’ saya menyatakan bahwa jangan-jangan anggapan umum selama ini benar adanya bahwa Prof. di Unand adalah Prof. GBHN (Guru Besar Hanya Nama) dan doktor batang pisang (setelah sekali berbuah, yaitu menulis disertasi, sesudah itu mati).[2] Kalau memang demikian adanya, maka sesungguhnya mereka inilah yang menjadi beban negara. Betapa tidak, berapa banyak tunjangan yang harus dibayarkan dari uang rakyat untuk mereka, sementara mereka tidak menghasilkan karya apa pun juga untuk kemajuan bangsa. Kacau.
Untuk menjawab persoalan besar ini, pelatihan seperti ini menjadi sangat penting sebagai sebuah proses lahirnya sebuah karya akademis. Program ini tidak lagi menjadi sebuah proyek yang menghambur-hamburkan uang atau sekedar program saja. Akan tetapi, Program Penulisan Buku Ajar ini menjadi sangat penting sebagai sebuah proses untuk membangkitkan spirit dalam dunia tulis menulis, proses menuju penulisan buku yang sebenarnya. Atas dasar inilah, makanya saya tertarik untuk ikut mendaftar sebagai peserta walaupun kemudian pihak penyelenggara menempatkan saya sebagai narasumber. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah kekeliruan besar panitia, atau malahan sebaliknya; inilah sesungguhnya paradigma baru di Unand di mana seorang yang bukan Prof. dan Doktor pun diberi kesempatan untuk berceloteh di depan forum berharga ini (entah enak didengar atau menyakitkan, entah bermanfaat atau bahkan menyesatkan, entah bisa  berguna untuk proses menulis buku ajar atau malahan akan melahirkan buku ‘kurang ajar’, sebagaimana buku saya sering dicap oleh pihak penguasa, pengusaha ataupun aliran konservatif sebagai buku ‘kurang ajar’). Betapa tidak, ungkapan-ungkapan saya dalam buku itu membuat bulu kuduk mereka merinding. Hal ini bisa jadi karena benci, ketakutan ataupun mengakui kebenarannya. Simak misalnya ungkapan-ungkapan yang saya tulis :
Contoh 2
Para penguasa 
yang seharusnya melindungi kaum pinggiran 
dari tindakan pengusaha yang tidak adil,
namun mereka melakukan kolaborisasi
untuk mengeksploitasinya
Contoh 3
kehidupan buruh PT Semen Padang :
andema bare pirang
karajo untuk awak, pitinya untuk urang

Gadut, Ramadhan 1424 H


[1]Disampaikan pada Pelatihan Penulisan Buku Ajar,  yang diselenggarakan Unand Padang,  Desember 2003
[2]Istilah GBHN ini pertama kali saya dengar dari Prof. Drs. Hendra Asmara, sedangkan istilah Doktor Batang Pisang ini dari Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo.