Tradisi Alahan: 'Mangutang' Bukan Mencuri Atau Mengemis

TRADISI ALAHAN: 
'MANGUTANG' BUKAN MENCURI ATAU MENGEMIS
Tulisan Ke-3 Berkaitan Alahan dan Tradisi Mengutang

Selepas waktu Isya, selesai mengaji di surau beberapa orang remaja laki-laki sudah mengatur rencana, apalagi pada waktu libur sekolah pada hari Minggu. Besok subuh mereka bangun kira pukul 04.00 atau 05.00 wib jelang waktu sholat subuh. Dengan berjalan kaki menuju Muara (tempat ikan bilih akan diambil pada alahan). Subuh yang dingin dan gelap itu tidak menjadi halangan bagi mereka. Toch... senter atau andang (daun kelapa kering diikat lalu dinyalakan) dapat dijadikan penerangan selama berjalan.
Setengah jam perjalanan para remaja itu sampai di muara. Jika mereka lebih dulu sampai dilokasi alahan mereka terpaksa menunggu si pemilik alahan sampai memperlihatkan aktivitas tanda-tanda akan mengambil ikan bilih yang sudah terkurung diantara hirok-hirok yang. Jika didapati pengambilan ikan alahan sedang berlangsung mereka tinggal bergabung dengan remaja lainnya. Para remaja itu berbaris dibelakang pemilik yang sedang menggiring ikan-ikan dari ujung alahan arah hulu ke ujung arah muara.
Pemilik pada kiri kanan alahan, dengan mengibaskan kaki dan dibantu tangan mengupayakan ikan-ikan yang sudah dilumpuhkan dengan akar kayu tuba hanyut terbawa air. diujung sana  dekat muara hirok dan anggota keluarga lainnya sudah bersiap-siap. Dengan sigap mengangkat ikan yang tertahan dihirok ke baskom, ember bahkan perahu sengaja ditempatkan kala hasil alahan dalam jumlah sangat banyak.
Sepanjang alahan itu para remaj terus dengan tertib berada dibelakang penggiring yang mengusahakan ikan-ikan yang tersangkut batu kerikil lepas dan hanyut hingga ke hirok ujung. Jumlah ikan yang sangat banyak dan ikan-ikan yang mabuk itu berusaha bersembunyi diantara kerikil dan keadaan subuh yang gelap tidak semuanya ikan-ikan bilih itu dapat dihanyutkan. Nah.... ikan-ikan yang tercecer dan lupt dari halauan pemilik alahan itulah yang dipungut satu persatu oleh para remaja yang membuntuti si tukang giring ikan.
Satu alahan selesai. Biasanya begitu sampai ujung, pemilik dengan sukarela membagikan sedikit banyaknya dengan rata kepada para remaja-remaja yang mengutang. Kalau alahan menghasilkan banyak ikan bilih, pemilik yang lagi panen dengan senang hati juga berbagi kepada remaja-remaja para pengutang itu.
Alahan berikutnya juga segera akan mengangkat ikan bilihnya dari alahan. Mau tidak mau satu alahan ke alahan lainnya bergantian. Karena ketika satu alahan akan diambil ikan-ikannya, aliran airnya akan dihentikan sementara selama prose menuba. Aliran air alahan yang dihentikan sementara waktu juga dialirkan ke alahan sebelahnya. Begitulah prosesnya terus secara bergantian dan bergilir. Tergantung kesepakatan antar pemilik alahan siapa yang akan duluan dan belakangan mengambil ikan.
Mengutang dari satu alahan ke alahan lain terus dijalani para remaja itu. Untung-untung dapat banyak seliter dua liter, hasilnya sebagianmereka jual. Uangnya digunakan untuk berbagai keperluan jajan dan kebutuhan sekolah. Kalau mereka memperolehnya sedikit, cukup dibawa pulang kerumah sebagai penambah lauk bagi keluarga.
Mengutang bagi remaja-remaja putus sekolah pun menjadi pilihan untuk memperoleh uang. Maklum hidup dikampung memperoleh uang cukup sulit dan terbatas lahannya. Mau ikut bertani bekum cukup tenaga dan pengalaman.
Sejak penghujung akhir tahun 1990-an, terutama ketika keberadaan dan perolehan ikan bilih menurun secara drastis. Aktivitas mengutang pada alahan juga tidak lagi tampak. Ataukah juga karena semakin tumbuhnya kesadaran dan keengganan menjalani aktivitas mengutang. Lagipula peningkatan hasil produksi alahan sudah tidak lagi mendukung.