Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat


Lanjutan......
Dari DOKTOR BATANG PISANG-sekali berbuah setelah itu mati-
Sampai GURU BESAR HANYA NAMA (GBHN): Nestapa Kaum Intelektual di Sumbar

II. Malapetaka Akademik  atau Keledai Naik Haji

   Seorang Doktor tamatan Eropa pernah bercerita kepada saya tentang penelitian disertasinya di Amerika Latin. Ia meneliti ekosistem sebuah sungai di Amerika Selatan. Penelitiannya meliputi aspek ekosistem yang terdapat di sepanjang sungai itu mulai dari hulu sampai hilir. Ia dapat menceritakan dengan baik perubahan-perubahan tumbuhan, ikan, warna air, dan corak kehidupan manusia di sepanjang sungai. Pengalaman yang amat dahsyat selama penelitian juga ia ceritakan seperti hambatan cuaca, tantangan alam yang keras, dan penduduk yang masih buas. Kalau mengingat-ingat penelitiannya, ia merasakan tidak akan sanggup lagi menjalaninya.
Hal-hal yang dikerjakannya selama penelitian dan menulis disertasinya itu merupakan pengalaman yang luar biasa. Betapa tidak, sekolah di Eropa, penelitian di Amerika Latin, laporan dalam bahasa asing pula, sehingga hampir seluruh pelosok kehidupan intelektual telah dimasukinya. Secara akademik, ia sesungguhnya merupakan harta karun yang sangat berharga bagi bangsa ini (ketika tragedi Bahorok berlangsung, ia sesungguhnya memiliki kemampuan akademik yang sangat bagus untuk menjelaskan kejadian itu karena disertasi yang ditulisnya mengenai sungai dan kejadian-kejadian mirip dengan peristiwa banjir bandang yang menimpa sungai Baharok dan Bukit Lawang).
Satu semester pertama, semangat akademiknya masih menggebu-gebu. Sampai kemudian malapetaka akademik menimpanya. Malapetaka ini sesungguhnya diciptakan oleh kondisi lingkungan kerjanya  sendiri yaitu memberi dia sebuah jabatan. Dikatakan malapetaka, karena pilihan yang diambilnya bukannya mendekatkan dia kepada ilmu yang dimilikinya, akan tetapi malahan menjauhkan dirinya, sehingga kesibukannya bukan lagi pada taraf akademik, akan tetapi birokrasi. Nasib yang sama juga banyak menimpa ilmuan muda berbakat lainnya, sehingga tidak heran mereka terperangkap dalam almamater yang dicintainya itu.
Dilihat dari kuantitas yang ada, jumlah Prof. dan Dr. di Unand sesungguhnya memiliki kualitas dan kuantitas yang hebat. Jumlah Prof. dan Dr. sebanyak 197 orang merupakan bukti nyata. Banyaknya tamatan dari berbagai lembaga pendidikan tinggi yang bergengsi dari luar negeri merupakan fakta keras yang tidak dapat ditolak.  Hanya saja, sistem yang dikembangkan oleh Unand membuat mereka terjebak ke dalam perangkap kebodohan (kalau boleh digunakan teori jebakan kemiskinan atau kebodohan dari Robert Chambers), yaitu kemiskinan untuk berkarya. Betapa tidak, seorang Doktor yang cemerlang dari Eropa, misalnya, dikasih jabatan mengurus surek-menyurek, rapek ka rapek (surat menyurat, rapat lagi rapat lagi) dan dengan dasi yang tidak pernah copot di lehernya yang tidak ada hubungannya dengan bidang ilmunya. Konyolnya lagi, mereka baru merasa memiliki harga diri, jika memang terlibat dengan urusan administratif seperti itu. Kalau tidak, bisa jadi mereka itu tidak dapat tidur 3 hari 3 malam (ini guyonan teman-teman yang tidak mendapat jabatan). Pada gilirannya, mereka tidak ubahnya seperti keledai naik haji. Pulang dari Mekah tidak disebut Haji Keledai, akan tetapi  tetap saja keledai.
Jebakan kebodohan inilah yang membuat mereka tidak sempat lagi menulis ataupun berkarya. Sudut pandang yang mendapat jabatan tentu saja, bagi mereka, merupakan rahmat karena dengan jabatan seperti itu status sosial mereka terangkat. Gelar akademik pada gilirannya bukan lagi untuk mengembangkan ilmu, akan tetapi tidak lebih dari upaya peningkatan derajat sosial. Pada gilirannya, jangan berharap banyak dengan mereka karena ideologi yang mereka anut adalah ideologi kejar jabatan. 
Orang seperti inilah yang menyia-nyiakan rahmat Allah SWT.  Betapa tidak, kemampuan intelektual dan pengalaman pendidikan yang diperolehnya sesungguhnya bisa membuatnya jauh lebih besar. Akan tetapi tingkat kesabaran dan jebakan struktural yang dihadapinya membuatnya tergoda sehingga rahmat Allah berupa kecerdasan, gelar Prof. Dr. yang ia miliki menjadi sia-sia belaka.
Tidak dapat pula dinafikan bahwa di satu sisi menjadi pejabat memang menggiurkan. Betapa tidak, sebagai pejabat, ia pun dihormati. Selain itu, ia  juga diberi berbagai fasilitas seperti mobil, sopir (bisa jadi sopir dinas dan bisa juga jadi sopir pribadi), tunjangan yang besar dan belum lagi honor-honor dari setiap SK yang ada (satiok manggarik, pitih masuak. Tentu Saja mereka protes keras dengan statement ini).
Mereka tidak bodoh, bahkan sangat cerdas. Hanya saja, meminjam ungkapan Agus Salim bahwa memimpin adalah jalan untuk menderita, tidak siap dilakoninya. Impian-impian yang bersifat materialistik seperti ini membuat mereka menggunakan kecerdasan yang diberikan oleh Allah SWT itu hanya sekedar untuk mendapat jabatan yang diberikan. Padahal, kecerdasan yang dimilikinya dapat membuat mereka jauh lebih berkarya lagi. Kemudian, sayangnya pula,  setelah menduduki jabatan, maka orientasi akademis menjadi luntur karena seperti ini:
Contoh 5
Di kepalanya hanya ada dua hal
pertama, 
bagaimana jabatannya bertahan lama 
kedua,
bagaimana dapat memperkaya diri dari jabatannya

Tidak heran, misalnya seorang Profesor yang cemerlang malah bersedia menjadi seorang wakil dari seorang sarjana. Seorang doktor muda berbakat bersedia jadi PD III. Saya tidak katakan jabatan itu tidak terhormat. Bahkan jabatan itu amat sangat terhormat, sehingga banyak yang menguber-ubernya. Hanya saja, pertanyaan pokok adalah apakah posisi yang diincarnya itu sesuai dengan gelar akademis yang dimilikinya.  (Bandingkan dengan Prof. Ichlasul Amal, misalnya, ia dengan enteng menolak jabatan menteri sebanyak 4 kali, yaitu ketika rezim Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Ichlasul Amal memilih mengurus mahasiswa daripada jadi menteri). Tentu saja, lain padang lain belalang, lain Prof. Dr. lain pula orientasinya.
Pertanyaan pokok di sini adalah, apakah mereka memiliki ideologi atau sekedar orientasi saja. Kalau memiliki ideologi, maka mereka bekerja berdasarkan ideologi yang dimilikinya. Akan tetapi jika ia memiliki orientasi, maka kerjanya hanya sekedar mencapai orientasi yang biasanya bersifat jabatan dan materi saja.  Tidak semua Prof. atau Dr. memiliki orientasi yang sama. Prof. Kuntowijoyo, seorang sejarawan misalnya, jabatan tertinggi yang dipegangnya adalah ketua jurusan. Ia menyatakan bahwa untuk pengembangan ilmu, maka ketua jurusan merupakan tempat yang paling strategis. Jelas sekali, ideologi yang dikembangkannya, yaitu ilmu–bukan kedudukan atau jabatan, sehingga lahirlah berpuluh-puluh buku yang ditulisnya. Kalau sudah demikian, maka barulah ia berhak mendapatkan gelar Prof.


                                                            Gadut, Ramadhan 1424 H