Jangan Ganggu Hutan Kami: Batang Paninggahan, Kapalo Aia Sumber Kehidupan

JANGAN GANGGU HUTAN KAMI:
BATANG PANINGGAHAN, KAPALO AIA 
SUMBER KEHIDUPAN

I. Citra Geografis dan Astronomis Paninggahan
Karakteristik suatu daerah senantiasa mempengaruhi kehidupan masyarakatnya yang dapat ditinjau dari sejarah, tabiat dan watak perilakunya. Demikian pula halnya dengan masyarakat nagari Paninggahan di Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok Sumatera Barat .
Paninggahan berjarak 22 Km dari pusat Kabupaten Solok dan 91 Km dari kota Padang dimana pusat pemerintahan propinsi berada. Daerah yang berada disebelah Utara Kabupaten Solok ini dapat dicapai melalui beberapa pintu masuk. Pertama,dari pusat kabupaten atau kota Solok terus ke Sumani-Saningbakar-Muaro Pingai-Paninggahan atau kedua meneruskan perjalanan dari alternatif pertama itu sedikit berputar dan lebi jauh melalui Singkarak-Batutaba-Kacang-Omblin terus belok kiri di Simpang Payo-Malalo-Paninggahan. Begitupun kalau dari arah Padang-Pariaman atau Bukitinggi-Padangpanjang belok kanan di Simpang Payo-Malalo-Paninggahan. Berada dipinggir danau Singkarak dengan akses jalan melingkar menjadikan daerah Paninggahan dapat diterobos melalui beberapa arah pintu masuk tentunya. Dan kalau mau dan tersedia sarana transportasi air, untuk menuju Paninggahan dan daerah sekitarnya juga dapat dilakukan melalui jalur air Danau Singkarak.
Paninggahan memiliki luas wilayah 95,50 Km2 terbagi kedalam enam wilayh jorong; Subarang, Parumahan, Kotobaru-Tambak, Kampung Tangah, Gando dan Ganting Padangpalak. Wilayah seluas 95,50 Km2 itu dimanfaatkan untuk areal persawahan 579 ha dan lahan kritis 2.700 ha. Sisa lahan seluas 6.253 ha dapat diperkirakan pemanfaatannya sebagai pemukiman, ladang/huma, hutan rakyat/nagari, hutan negara, tebat/kolam/empang.[1]
Paninggahan memiliki batas alami wilayah meliputi; sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar, Sebelah Timur Berbatasan dengan Danau Singkarak, sebelah Selatan dengan Muaro Pingai dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman.
Secara astronomis, daerah ini berada pada 0,310 – 1,450 LS, 100,250 – 101,410 BT. Topografi tidaklah. Bentangan alam yang bergelombang dengan hamparan bukit dari jajaran bukit barisan. Seperti wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis, Paninggahan berada pada ketinggian 400-600 meter diatas permukaan laut[2]. Suhu udara menunjukkan sedang dengan temperatur 190 – 280 C. Suhu rata-rata mencapai 220 C, dengan kelembaban rata-rata 83%[3].
Angin di daerah Paninggahan berhembus cukup kencang. Masyarakat lokal meyebutnya dengan angin hulu dan ada juga yang menyebutnya dengan angin dulu. Barangkali sebutan itu diilahami dari arah tiupan angin yang berhembus dari Barat ke Timur dimana terhampar danau sepanjang Timur Daerah Paninggahan. Hembusan angin ini pada puncaknya sering mengakibatkan malapetaka dan bencana bagi lingkungan masyarakat karena pohon dan dahan kayu yang roboh.
Musim hujan di Paninggahan terjadi pada sekitar Maret – Juli, dan kemarau Februari. Sedangkan musim peralihan atau pancaroba Agustus – Oktober. Terlihat intensitas hujan lebih lama dari musim kemarau. Curah hujan relatif tinggi 1.484 mm/tahun, dengan rata-rata 231 mm/tahun.
Berada di sebelah Barat Laut, Paninggahan terletak lereng dan kaki diperbukitan, Junjung Sirih yang membentang ke arah Selatan. Sedangkan sebelah Barat terdapat bukit Batu Agung yang membentang ke Utara, arah daerah tetangga Malalo Tanah Datar. Jajaran bukit-bukit itu dan lainnya merupakan bagian dari jajaran bukit barisan. Jika diamati seolah-olah Paninggahan berada pada sebuah lembah yang cukup luas karena diapit oleh kedua bukit tersebut. Sementara sebelah Timur terhampar Danau Singkarak menjadi muara aliran berbagai sumber air.
Di Paninggahan terdapat beberapa aliran anak sungai dan sumber mata air. Namun satu-satunya sungai yang aktif mengalirkan air hingga ke danau Singkarak baik musim kemarau apalagi musim hujan adalah Batang Paninggahan. Batang Paninggahan melintasi sekaligus menjadi batas simbol alam antara dua Jorong Subarang dan Parumahan. Sumber mata air yang cukup besar dan aliran bahkan membentuk sebuah sungai kecil terletak di Jorong Kotobaru di Nagari Paninggahan Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok Sumatera Barat. Mata air yang melekat dengan sebutan lokal mato aia (mata air) atau kapalo aia (hulu air) ini terletak di pinggir desa, digaris pinggang bukit Junjung Sirih.
Kedua sumber daya air ini dapat dipastikan erat kaitannya dengan hutan bukit Junjung Sirih dan jajaran bukit lain dengan hutannya. Memang batang Paninggahan dan mata air (kapalo aia) berada dekat dan berhulu dari hutan jajaran bukit Junjung Sirih. Termasuk sungai yang mengalirkan air ke Muaro Pingai dan Saningbakar bergantung pada keadaan resapan air hutan di bukit tersebut. Meskipun sungai-sungai dan mata air mengalir ke tempat dan daerah yang berbeda, namun hulu air menunjukkan dari arah jajaran bukit dan hutan yang sama.
Kedua sumber air utama di Paninggahan itu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan masyarakat. Pemanfataan aliran sungai Batang Paninggahan dan mato/kapalo aia (mata air) terlihat sebagai sumber utama  irigasi teknis dan pengairan tradisional lahan pertanian padi sawah sebagai usaha pertanian pokok penduduk. Untuk irigasi teknis dalam skala besar saja, batang Paninggahan terdapat dua unit yang hulunya teerletak di dusun Kotobasi. Pengairan teknis ini mengalirkan air ke lahan-lahan sawah yang terdapat di jorong Parumahan. Sedangkan irigasi yang satunya terletak hulunya di dusun Cacang-Batua mengalirkan air bagi sebagian besar areal persawahan di jorong Subarang. Itu belum terhitung pengairan tradisional yang jumlahnya puluhan dan memanfaatkan aliran sungai batang Paninggahan.
Sementara itu  mato/kapalo aia (mata air) yang membentuk aliran sungai kecil mengalirkan air ke lahan-lahan pertanian sawah bagi jorong Kotobaru-Tambak, Gando, Kampung Tangah dan Ganting Padang Palak. Letak mato/kapalo aia (mata air) di jorong Kotobaru diketinggian dan debet airnya hampir tidak pernah berubah pada musim kemarau sekalipun menjadikan aliran dan distribusi airnya cukup luas kebeberapa tempat di Paninggahan. Bahkan mata air ini disalurkan dengan pipa dan pada jarak tertentu dipinggir-pingir jalan dibuat bak penampungan bagi keperluan air bersih penduduk. Belakngan juga dialirkan ke rumah-rumah penduduk dan dikelola oleh pemerintahan nagari setempat.Pemanfaatan lainnya adalah untuk kebutuhan sumber air minum, memasak, mandi dan mencuci, perikanan.
Dengan demikian keberadaan hutan di Paninggahan menjadi sangat menentukan dan mempengaruhi berbagai kebutuhan dan aktivitas kehidupan serta ekonomi pertanian masyarakat. Gangguan dan perusakan hutan di Paninggahan jelas akan memporak-porandakan berbagai sendi kehidupan masyarakatnya terutama yang bergantung sebagian besar pada lahan pertanian padi sawah.
Pemanfaatan khusus dan unik aliran sungai Batang Paninggahan adalah sebagai alahan. Banyak diantara kita tidak tahu apa itu alahan? Alahan bagi masyarakat Paninggahan bukan hal asing lagi. Meskipun alahanbilih dari danau Singkarak. Bagaimana proses dan metodenya? Silahkan ikuti tulisan ke terkait dengan judul Alahan Ikan Bilih dan Mangutang di Muara Batang Paninggahan. hanya diusahakan sebagian masyarakat dengan garis kerabatnya. Namun keberadaannya sejak lama dan erat kaitannya dengan metoda mengambil ikan langka
Menganggu hutan-hutan diperbukitan Paninggahan sama saja menciptakan kemiskinan bahkan kelaparan di ranah Paninggahan.  Hutan daerah ini menjadi harapan bank air yang akan mengalirkan air pada dua saluran vital Sungai Batang Paninggahan dan Mata Air (kapalo aia).Menebang pohon, membakar hutan-hutan disana juga sama menciptakan kematian bagi banyak kehidupan.
Apalagi ekonomi pertanian sawah begitu dominan diusahakan disini. Bareh Solok yang terkenal karena kwalitas dan keunggulan-keunggulannya itu sebagian diproduksi di daerah Paninggahan tentunya. Dapat dikatakan daerah ini menjadi salah satu lumbung padi dan beras yang memasok kebutuhan lokal dan berbagai masyarakat di daerah lain, bahkan hingga keluar daerah.

II. Kearifan Lokal: 'Fatamorgana' Lasi, Inyiak Junjung Sirih Jaga Hutan Kami

Kita tentu masih ingat beberapa tahun lalu. Sebuah peristiwa yang menghebohkan dan meminta banyak perhatian, ketika napak tilas Gamawan Fauzi  Bupati Solok saat itu (sekarang Menteri Dalam Negeri RI 2009-2014) dengan rombongan dinyatakan hilang ‘kelelep’ rimba. Dari manakah gerangan napak tilas itu dimulai da ke mana arah tujuan?
Yang jelas napak tilas itu berangkat dari Paninggahan menyusuri rancangan jalan tembus Paninggahan-Lubuk Minturun Padang.
Kalau soal jalan Paninggahan-Lubuk Minturun Padang beritanya sejak penulis masih ‘ingusan’ ditahun 1980-an sudah terdengar juga. Alhamdulillah sampai sekarang saat penulis berusia 33 tahun jalan itu juga tidak selesai-selesai. Kecuali dari ujung ke ujung, beberapa kilometer bukaan di Lubuk Minturun dan beberapa kilometer bukaan badan jalan di Paninggahan melintasi lereng bukit Junjung Sirih. Dapat dikatakan tak lebih juga dari jalan ladang. Itupun, usaha dan prestasi dari seorang Wali Nagari Ir. Bakar ketika itu lewat pertengahan sekitar tahun 2007 lalu.
Tapi kalau seandainya jalan raya Paninggahan-Lubuk Minturun itu hanya akan menjadi akses bagi para perambah dan pencuri hutan. Lebih baik jalan itu tidak perlu ada. Buat apa kalau hanya memperlancar jalur pengangkutan dan transportasi hasil perambahan atau pencurian kayu hutan bukit Junjung Sirih dan hutan jajaran bukit sekitarnya.
Berbagai spekulasi dan tanggapan masyarakat Paninggahan kalau terjadi peristiwa tersesat di rimba hutan Paninggahan dibukit Junjung Sirih. Peristiwa seperti yang dialami Gamawan Fauzi juga sering terjadi sebelum-sebelum, terutama orang-orang luar yang mencoba melintasi hutan, terutama mahasiswa pecinta alam atau masyarakat yang memasuki hutan lebih jauh. Ada yang mereka lupakan, dan lewati begitu saja. Bertanya pun tidak apalagi yang muda-muda dan datang dari luar lagi. Apa yang dimaksud masyarakat itu kalau sudah ada yang kelelep rimba Paninggahan?
Menurut keyakinan masyarakat Paninggahan, nenek moyang mereka dulu bermukim disalah satu sisi bukit Junjung Sirih itu dengan nama tempat Lasi. Di Bukit Junjung Sirih itu juga inyiak Junjung Sirih pengembang syiar Islam didaerah ini bermukim. Kapan waktunya belum diketahui. Tapi jangan salah diatas bukit ini terdapat bukti dan jejak peninggalan inyiak berupa mesjid yang sampai hari ini tetap berdiri. Disini juga terdapat makam inyiak Junjung Sirih.
Lasi dikatakan juga dapat ditemukan oleh orang-orang yang dikehendaki berupa tanda-tanda alam sebagai bekas perkampungan lama. Kalau ada yang dapat menjumpai keberadaan Lasi yang bak fatamorgana itu akan mendapati areal bekas persawahan, peralatan hidup yang digunakan orang-orang terdahulu berupa lesung, puing sisa-sisa kayu berupa bekas bangunan dan ladang-ladang serta kebun penduduk. Luar biasa memang dari cerita lisan dari mulut kemulut yang diwariskan turun temurun bagi masyarakat Paninggahan.
Lasi dan mesjid Inyiak Junjung Sirih, kapalo aia bagi masyarakat Paninggahan adalah tiga serangkai yang disakral dan keramatkan. Bersentuhan dengan kapalo aia artinya bersentuhan dengan inyiak manusia keramat yang telah tiada itu diyakini bermukim secara gaib di kapalo aia (mata air) itu. Jadi jangan sesekali berbuat yang buruk, jahat dan tidak-tidak di tempat ini kalau tidak ingin dapat bala musibahnya. Masyarakat Paninggahan bahkan luar menjadikan tempat ini sebagai pelaksaan berbagai nazar/hajatan kala lepas dari masalah, musibah dan marabahaya. Atau tatkala ingin memulai, mendapatkan sesuatu maksud tujuan. Hajatan dan do’a digelar di kapalo aia, mandi-mandi disumber air nan jernih ini, lalu mengambil untuk diminum langsung dan dibawa pulang.
Begitu pula kalau bersentuhan dengan hutan, berarti akan bersentuhan dengan tiga serangkai sekaligus. Lasi bisa saja berwujud hutan yang akan menelan dan menghilagkan orang-orang yang berniat tidak baik, atau lupa dimana dia berada dengan sikap-sikap dan perilakunya. Inyiak Junjung Sirih sang tokoh gaib menegur bagi sikap-sikap, tindakan dan perilaku yang tidak ramah lingkungan.
Lasi, Inyiak Junjung Sirih masalalu yang nyata dan kini keberadaannya diyakini tetap eksis dalam keagaiban. Namun, ia mampu menjadi bagian dari pranata sosial masyarakat Paninggahan dalam bersikap dan memandang lingkungannya terutama hutan-hutan di bukit Junjung Sirih. Apalagi sangat disadari sumber daya air Paninggahan berpusat hulu dari sana. Semoga Lasi bak fatamorgana, Inyiak Junjung Sirih masalalu yang kini diyakini dalam kegaiban menjadi sumber kearifan agar kita mampu memperlakukan alam dan lingkungan hutan Paninggahan. Sehingga fungsinya sebagai resapan sekaligus bank air tetap mengalir untuk segala keberlangsungan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.


[1] Monografi Nagari Paninggahan, tanpa tahun
[2] Kantor  Walinagari Paninggahan, tahun 2002
[3] Tanpa nama pengarang.,Rencana Umum Tata Ruang Ibukota Kecamatan Junjung Sirih Dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota Paninggahan, Resume Laporan Fakta dan Analisa. (Pemerintah Kabupaten Solok Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 1999/2000). Hlm.IV-3.