Cakak Banyak : Studi Tentang Perang Kampung Di Sumatera Barat

CAKAK BANYAK: 
Studi Tentang Perang Kampung Di Sumatera Barat
Oleh : Zaiyardam Zubir [2]

Tagak bakaum, mambela kaum
Tagak basuku, mambela  suku
Tagak banagari, mambela nagari

Prolog

Ilustrasi Gambar
 Sumber: Google, Edit/Efek: Yonni
Seorang pengetua adat di Sikabau menyebutkan bahwa; “Jika kampung sudah dimasuki oleh orang lain, dan kemudian dia macam-macam tingkahnya dikampung kita, dimana letak harga diri. Adalah kewajiban setiap orang untuk membela kampungnya dari penghinaan orang lain”. Hal yang penting bagi mereka adalah “Tibo di Nagari, Nagari ditagakkan, Tibo di kaum, kaum ditagakkan”. Dalam konteks ini, pembelaan terhadap kampung menjadi suatu hal yang wajib dilakukan. Tidaklah heran, dalam banyak kasus, tetua kampung secara tidak langsung juga ikut terlibat dalam perilaku tindakan kekerasan dan agresifitas di kalangan remaja.
Misalnya saja, peristiwa abad lalu antara sungai Dareh dengan Pulau Punjung, menurut beberapa informan, ada sebuah skenario besar yang telah disiapkan untuk agenda itu. Kongkritnya begini, menjelang puasa tahun 1999, masyarakat Pulau Punjung berniat untuk mengadakan acara dalam menyambut bulan suci itu. Adapun bentuk acara yang diadakan adalah orgen tunggal, yang sesungguhnya juga tidak bernuansa Islam, karena acara seperti ini akrab dengan minuman keras, judi dan obat-obatan. Dalam penyusunan agenda acara, tetua masyarakat Pulau Punjung sudah merencanakan bahwa jika ada orang Sungai Dareh yang mengacau, maka mereka siap untuk membalas.[3] Pikiran ini disebabkan seringkalinya orang Sungai Dareh yang mengacau  dan mengganggu acara-acara mereka. Lebih dari itu, anak-anak Pulau Punjung yang sekolah di Sungai Dareh seringkali menjadi korban seperti perkelahian dan ‘pengompasan’. Oleh sebab itu, jika ada yang mengganggu, maka mereka siap untuk membalas. Direncanakan   atau tidak, keramaian seperti itu sudah mejadi ajang pertempuran di kalangan muda, sehingga ketika ada joget dangdut, dan orang Sungai Dareh yang naik pentas dilarang oleh orang Pulau Punjung, perkelahianpun tidak dapat dielakkan.[4]
Sebagai wilayah yang bersebelahan dan dibatasi oleh sungai perseteruan kedua wilayah ini merupakan perseteruan yang sudah lama. Warisan itu sampai saat ini masih berlaku, sehingga kalau ada orang mengadakan acara seperti orgen tunggal, olah raga, ataupun keramaian lainnya, seringkali terjadi kekacauan oleh kalangan mudanya. Hanya saja, tidak untuk setiap persoalan harus dibela kaum mudanya. Bahkan, seorang tetua lain menyatakan bahwa ; “Kami telah bosan mengurus mereka. Persoalanya hanya itu melulu yaitu Bacakak banyak antar kampung”.[5] Perilaku ini pada gilirannya sudah menjadi hal keseharian, sehingga menghabiskan energi didalamnya.
Ada dua versi yang saling bertolak belakang tentang hubungan orangtua kampung dengan kaum remaja. Pada satu sisi, orang-orang tua menyalahkan remaja yang hobby berkelahi. Pada sisi lain, anak muda menyalahkan orang tua yang mengambil lahan bisnis mereka.[6] Satu hal yang pasti, dalam setiap penyelesaian perkelahian, jika sampai kepada polisi, maka keluarga yang ditangkap secara beramai-ramai meminta kepada polisi untuk membebaskan sanak saudaranya yang ditangkap. Hukum sendiri menjadi tidak jalan, sehingga wilayah ini menjadi mirip wilayah koboi saja. Dengan jumlah yang kecil, pihak polisi seringkali kewalahan menghadapi berbagai persoalan, apalagi telah menyangkut pada perang antar kampung. Mereka selalu meminta bantuan pada  Brimob, yang kemudian didatangkan dari Padang, Payakumbuh, dan Padang Panjang. Kejadian ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari karakter budaya yang mewajibkan setiap anggota masyarakat membela kampungnya.
Dalam pepatah petitih adat Minangkabau terdapat ungkapan yaitu, jika musuh menyerang suku, maka suku dipertahankan. Ketika musuh menyerang kaum, maka kaum dipertahankan dan takkala musuh  menyerang kampung, maka kampung dipertahankan. Ungkapan itu terbatas pada kampung. Artinya, untuk wilayah yang lebih luas, jika diambil pengertian sekarang seperti kecamatan, kabupaten, propinsi, negara atupun agama, tidak ada ungkapan dalam pepatah petitih untuk kewajiban membelanya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kewajiban membela suku, kaum ataupun kampung sudah menjadi hal mutlak yang harus dilakaukan oleh setiap lelaki Minangkabau. Dalam konteks inilah, studi ini mengkaji tentang konflik horizontal di pedesaan Minangkabau yang kemudian dituangkan dalam penelitian yang berjudul : Pemetaan Potensi Konflik dan Skenario Penanggulangannya : Studi Tentang Bacakak Antar Kampung di Kabupaten  Pasaman  dan  Kabupaten Sawahlunto Sijunjung di Sumatera Barat.
Mengamati secara seksama kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini, seringkali memperlihatkan tanda-tanda hilangnya nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah persoalan kecil bisa bisa membuat nyawa melayang. Teriakan maling terhadap seseorang yang belum tentu melakukannya, bisa saja membuatnya dibakar massa. Ketidaksengajaan, persenggolan di jalan ataupun terinjak kaki dalam sebuah keramaian, bisa membuat perang antar kampung. Hal ini terlihat secara jelas dari berbagai perang antar kampung yang terjadi di kabupaten Pasaman dan kabupaten Sawahlunto Sijunjung.
Situasi ini diperparah lagi dengan ketidakstabilitas politik, terutama konflik di tingkat elite, yang sesungguhnya  tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak pihak yang memprediksi bahwa terjadinya krisis  yang melanda republik ini, jika  tidak segera diambil langkah-langkah antisipatif sejak dini, maka akan dapat membubarkan tatanan kehidupan bangsa yang telah susah payah dibangun oleh the founding fahther.
Memburuknya kondisi sosial masyarakat tersebut, tentu akan menimbulkan penurunan terhadap kualitas kehidupan  masyarakat, yang selanjutnya berpengaruh terhadap  tingkat produktifitas masyarakat. Pada sisi  lain, perlu disadari bahwa daya tahan masyarakat terhadap kondisi tersebut kian hari, kian melemah.  Implikasi konkrit dari krisis  tersebut adalah munculnya beraneka ragam masalah-masalah sosial,  ekonomi, agama dan krisis kepercayaan  dalam masyarakat. Beberapa kasus nyata  adalah terjadinya perang antar kampung di berbagai kenagarian di kabupaten Pasaman dan kabupaten Sawahlunto Sijunjung Sumatera Barat. Dalam konteks inilah, studi ini melakukan penelitian tentang  konflik horizontal dalam bentuk bacakak banyak antar kampung- yang terjadi pada massa akar rumput  di kedua kabupaten itu.

 Rumusan Masalah

Ditinjuau dari sudut sejarahnya, perang antar kampung merupakan pola perang yang pernah berkembang pada abad XVIII dan XIX yang lalu di Minangkabau.[7] Perubahan pola ini mulai terjadi sepanjang abad XX, terutama semenjak Indonesia merdeka.  Namun, dipenghujung  abad XX ini atau tepatnya sejak runtuhnya rezim Soeharto, pola perang kampung kembali berkembang dengan suburnya di beberapa wilayah seperti kabupaten Pasaman, dan kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Dalam konteks inilah, penelitian ini mencoba mengkaji kembali akar permasalahan bacakak  antar kampung, yang yang seringkali terjadi belakangan, terutama sejak berakhirnya rezim Orde Baru dan memasuki era reformasi. Untuk mempertajam analisis, maka perlu dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut ;
1.    Faktar-faktor apakah yang menyebabkan munculnya tindakan kekerasan dan perilaku agresif yang menyebabkan terjadinya bacakak  antar kampung ?
2.    Sentimen atau solidaritas apakah yang dikembangkan dalam kelompok yang bertikai, sehingga mobilisasi massa dengan sangat mudah dilakukan  setiap terjadi bacakak antar kampung ?
3.    Bagaimana program yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan bacakak  antar kampung ?
4.    Bagaimana peranan institusi sosial yang ada dalam masyarakat untuk mencegah bacakak  antar kampung ?
5.    Bagaimanakah perumusan skenario pencegahan bacakak  antar kampung,  sehingga tidak terjadi lagi bacakak banyak itu di masa-masa depan ?

 Kaum Muda Sebagai Pemicu

Dalam sebuah pertunjukan orgen tunggal dalam acara pesta perkawinan di Malana Batusangkar, Rici, tewas ditikam ole Irwan akibat kesalahpahaman. Harian Singgalang melaporkan bahwa Riki dan teman-temannya sedang duduk menonton acara orgen tunggal. Diseberang kursinya, duduk pula Irwan,  kelompok pemuda lain. Mereka tidak saling kenal. Namun, ketika Irwan melihat-lihat kearah meja Rici, pandangan matanya berhenti pada Rici, yang duduk disebelahnya. Entah apa sebabnya, Rici yang merasa dilihat itu langsung merasa tidak senang. Karena merasa dilihat, Rici mendatangi meja Irwan dan langsung saja menegur secara kasar, “apa yang kau lihat”?. Irwan  juga merasa tidak senang, sehingga balik menjawab, “mataku yang melihat, bukan mata kau”. Pertengkeran kecil itu kemudian berlanjut dengan perkelahian. Dalam perkelahian itu, Irwan mengeluarkan pisau, dan akhirnya ia berhasil melukai. Hasil visum dokter menyebutkan bahwa ada 3 luka robek yaitu di dada kiri, peruk kiri dan perut kanan. Walaupun sudah sempat dilarikan kerumah sakit, namun nyawa Rici  tidak tertolong. Pada akhirnya, Rici meninggal dunia hanya karena kesalah pahaman dalam memandang dalam sebuah acara pesta perkawinan, sebuah pesta yang seharusnya penuh dengan kegembiraan dan kesenangan, namun berubah menjadi pesta kematian.[8]
Jika perkelahian Irwan dengan Rici berlangsung begitu cepat, sehingga orang disekitaranyapun tidak menyadari, maka bentuk perkelahian lain bisa saja direncanakan.  Melihat dari contoh kasus diatas, emosional yang membabi butalah menyebabkan nyawa orang melayang. Hasil penelitian yang Nurmina (dkk) lakukan mencoba menyoroti kondisi emosi sebagai penyebab utama perkelahian remaja (Lihat tabel 1)
 TABEL 1
Faktor Kondisi Emosi
Sebagai Penyebab Tingkah Laku Agresi Remaja
Faktor Emosi
Sangat Sering
Sering
Kadang-Kadang
Jarang
Tidak Pernah
Tidak ada teman
10%
6%
21%
13%
50%
Merasa bangga berkelahi
1%
4%
6%
10%
78%
Fisik mengecewakan
4%
13%
32%
18%
34%
Tak dapat menahan kecewa
6%
16%
24%
22%
29%
Tidak ada dibanggakan
4%
6%
24%
15%
50%
Tempat bercerita
10%
16%
33%
20%
16%
Tidak ada  dapat dipercaya
5%
5%
26%
16%
48%
 Sumber: Nurmina, Zaiyardam, Firman dan Ferawati, Penanggulangan Tindakan Kekerasan dan Agresivitas Remaja di sumatera Barat. Padang, Balitbangda, 2003, hal. 68.

Jika perkelahian Rici diatas berlangsung sedemikian cepatnya, sehingga mengakibatkan melayangnya nyawa, bandingkan misalnya kalau terjadi perkelahian antara kelompok atau kampung. Dalam perkelahian antar kelompok, biasanya  segerombolan remaja – dengan berbagai senjata ditangannya- mengejar kelompok remaja lainnya. Remaja yang dikejar bukannya takut, namun mereka juga menanti dengan aneka senjata yang dimilikinya. Biasanya, dalam suasana seperti itu, bacakak banyakpun tidak dapat dihindari.  Kelompok itu bisa saja berdasarkan antar sekolah, antar geng ataupun antar kampung. Dalam kelompok itu, jumlah yang terlibat bisa  5 orang, 10 orang, 100 orang atau bahkan sampai satu  kampung. Dalam konteks inilah, studi ini meneliti perkelahian antar kampung atau dalam idiom Minangkabau lazim disebut Bacakak Banyak.
Dalam bacakak banyak itu, berbagai faktor bisa saja menjadi penyebabnya. Faktor bisa datang dari dalam diri ataupun dari luar diri remaja itu.  Jika diamati jenjang pergaulan dari dalam rumah tangga sampai diluar rumah, maka faktor utama bisa jadi berangkat dari ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Simak tabel hasil penelitian Nurmina, dkk dibawah ini.

TABEL 2
Faktor Keluarga Sebagai Penyebab
Tingkah Laku Agresi Remaja
Factor keluarga
Sangat Sering
Sering
Kadang-Kadang
Jarang
Tidak Pernah
Pertengkaran orang tua
3%
6%
27%
37%
27%
Ayah memaki ibu
3%
4%
15%
22%
55%
Dimarahi orang tua
3%
4%
15%
20%
59%
Dipukul ayah
1%
3%
19%
30%
38%
 Sumber: Nurmina, Zaiyardam, Firman dan Ferawati, Penanggulangan Tindakan Balitbangda, 2003, hal Kekerasan dan Agresivitas Remaja di Sumatera Barat. Padang, 58.

Berlaku atau tidak sebagai penyebab kekerasan, satu hal yang pasti adalah masalah kenakalan remaja memang berangkat dari kondisi internal yang dialami dalam rumahtangganya. Konflik yang berlangsung dirumahtangga kemudian menjadi bagian dari emosi yang mendalam bagi anak dalam kehidupan diluar rumahnya. Mulai maki-makian yang ia dengar antar ibu dengan bapak, makian yang langsung ia terima ataupun sebuah pukulan dan tendangan yang didapatkan dirumah, maka modal inilah yang ia jadikan pergaulan diluar rumahnya. Kehidupan diluar tinggal meledakkan sajaa, emosi yang tak terkendali yang didapatkan dari kehidupan rumahtangganya. Dengan demikian, faktor yang berlangsung dari luar akan memudahkan mereka untuk melakukan tindakan kekerasan. Beberapa faktor pencetus seperti putus pacar, terhina, dan membela kawan dan kampung sesungguhnya menjadi faktor mempercepat meledaknya emosi remaja. (Simak tabel 3)

TABEL 3
Faktor Pencetus Tingkah Laku Agresi Remaja

Faktor pencetus
Sangat Sering
Sering
Kadang-Kadang
Jarang
Tidak Pernah
Putus pacar
2%
4%
4%
7%
82%
Berebut daerah kekuasaan
1%
2%
5%
7%
84%
Merasa terhina
6%
20%
32%
23%
18%
Membela harga diri kampung
11%
13%
14%
18%
47%
 Sumber: Nurmina, Zaiyardam, Firman dan Ferawati, Penanggulangan Tindakan Kekerasan dan Agresivitas Remaja di sumatera Barat. Padang, Balitbangda, 2003, hal. 51.

Wilayah kasus penelitian di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan Pasaman, pencetus terjadinya bacakak banyak tidak dapat terlepas dari persoalan ini. Biasanya asal muasal dimulai dari perkelahian dua remaja. Kemudian berkembang menjadi perkelahian antar kelompok, suku dan kampung. Dalam banyak perkelahian, korban jatuh sudah hal yang biasa. Penelitian Nurmina memperlihatkan bahwa akibat yang tak dapat dielakkan akibat bacakak banyak diantaranya luka-luka, ditahan polisi, masuk rumah sakit dan mati (Lihat tabel 4).

TABEL 4
Intensitas Akibat Tingkah Laku Agresi Remaja

Akibat tingkah laku agresi
Sangat sering
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak Pernah
Membunuh Orang
-
-
-
2%
98%
Korban masuk rumah sakit
2%
4%
4%
8%
82%
Korban Luka-luka
3%
5%
10%
15%
66%
Ditahan Polisi
1%
1%
5%
3%
92%
Diri sendiri luka-luka
1%
6%
15%
27%
51%
 Sumber: Nurmina, Zaiyardam, Firman dan Ferawati, Penanggulangan Tindakan KeKerasan dan Agresivitas Remaja di sumatera Barat. Padang, Balitbangda, 2003, hal. 43.

 Beberapa Kejadian Yang Mengenaskan

Ketika sudah terjadi korban berjatuhan, maka gambaran masyarakat Minangkabau memiliki jiwa-jiwa bar-bar untuk menghabiskan kehidupan orang lain sudah tergambar secara jelas didepan mata. Dengan demikian, tidak terlalu sulit untuk menyatakan bahwa orang Minangkabau memiliki sifat yang suka tindakan kekerasan. Mereka yang terdidik dalam budaya dialektika sesungguhnya dalam banyak hal dalam setiap penyelesaian masalah dilakukan dengan jalan dialogis ataupun berunding. Dalam melihat kasus yang ada, mereka justru menyelesaikannya dalam bentuk kekerasan sebagaimana seringkali terjadi di kabupatan  Sawahlunto Sijunjung dan Pasaman. 
Dalam melihat bacakak  banyak ini, biasanaya terjadi antar dua nagari yang berbatasan. Alasan pokok perkelahian ini biasanya mereka memiliki berbagai akar persoalan yang bersifat laten seperti batas nagari, tradisi yang turun temurun, sehingga meminjam istilah Mario Puzo, dalam waktu tertentu mereka harus membersihkan darah kotor [9], yang kemudian ditandai dengan korban nyawa dalam setiap bacakak banyak.
Kejadian-kejadian seperti ini sesungguhnya seringkali terjadi didalam masyarakat. Di penghujung abad lalu, tepatnya Bulan Desember 1999, salah satu ruas jalur jalan Lintas Sumatera mengalami macet total selama 5 hari. Jalur yang mengalami macet itu adalah pada dua kampung yaitu Sungai Dareh dan Pulau Punjung. Asal muasalnya adalah kedua kampung yang dibatasi oleh Sungai Batang Hari dan dihubungkan dengan sebuah jembatan[10] sedang berlangsung bacakak banyak,[11]  sehingga mobil-mobil yang melewati jalur itu dicegah oleh kedua belah pihak untuk melanjutkan perjalanan. [12] Dalam perang antar kampung itu, kedua pihak yang telah berseteru lama itu meminta bantuan pada kampung tetangganya, sehingga melibatkan banyak orang didalamnya.  Surat kabar Padang Ekspres melaporkan bahwa perang antara Pulau Punjung dengan Sungai Dareh itu melibatkan tiga puluh ribu orang, mereka menggunakan bermacam senjata seperti   seperti pedang, parang, anak panah berapi dan gobok (sejenis senjata api, yang biasanya digunakan untuk berburu babi).
Ketika korban  mulai jatuh, perang antar kampungpun tidak dapat dielakkan. Pada saat rumah penduduk yang tak bersalah  mulai dibakari oleh pihak yang bertikai dan bahkan pada puncaknya ketika 5 nyawa melayang dari kedua belah pihak yang sedang berperang, polisipun terpaksa turun tangan. Kapolda Sumbar Brijen Polisi Dasrul Lamsudin, kemudian  menurunkan anak buahnya dari kesatuan Brimob Padang, Padang Panjang, dan Payakumbuh sebanyak 500  orang anggotanya  kelapangan, untuk mencegah korban nyawa dan harta  yang semakin banyak.[13] Barulah, setelah kesatuan Brimob itu turun tangan, maka selama 2 hari pula penyelesaian dapat dijalankan.
Sementara itu di Ujung Gading kabupaten Pasaman,  Leni (23 tahun), seorang ibu rumah tangga yang masih muda belia tidak mengerti kejadian yang menimpa suaminya. Sambil mengendong si buah hatinya, Satria (2 tahun), ia hanya bisa bertanya-tanya dan menduga-duga,  kenapa suaminya yang harus jadi korban dalam perang antar kampung Ujung Gading dengan Air Bangis. Jumsari, sang suami  sebagai tiang  penyangga keluarga Leni dan Satria hanya membisu dan terbaring di rumah sakit, menghadapi malapetaka sebagai salah seorang korban dari perang antar kampung itu. Leni dan Satria bukanlah satu-satunya korban. Masih banyak lagi yang lain jadi korban, ketika perang itu berkecamuk antara Ujung Gading dengan Air Bangis Pasaman.[14]
Mengikuti seksama penyebab perang antarkampung di Kabupaten Pasaman itu sesungguhnya dapat diawali masalah kecil saja. Ia bisa dimulai dari kesenggol di jalan, tabrakan di pasar, ataupun kaki yang terinjak satu dengan lainnya ataupun rebutan penumpang. Namun, hal-hal kecil ini bisa menjadi petaka yang lebih besar lagi, terutama ketika mereka membawa persoalan ini pada orang-orang satu kampungnya.
Fenomena bacakak antar kampung merupakan gejala yang  sering terjadi di kabupaten Pasaman dan kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Gejala ini sesungguhnya semakin kuat ketika diberlakukannya UU no. 5 tahun 1979 mengenai pemerintahan desa. Ketika pemerintah desa terbentuk, maka batasan-batasan geografis yang dianggap sebagai kesatuan nagari menjadi pudar. Hal ini juga diikuti dengan tingginya emosional antar desa. Akibat yang tidak dapat dielakan adalah alasan-alasan kecil saja mudah menjadi perang antarkampung. Persoalannya tidak hanya pada masalah tanah ulayat saja, tetapi juga  masalah sosial, ekonomi, elite dan kesatuan politik lokal.
Menurut hasil survey majalah Tempo, “Setelah Wali Nagari Hapus”,[15] menyebutkan bahwa bersamaan dengan lahirnya UU No. 5/1979. Kepemimpinan kharismatik itu telah digeser oleh kepala desa. Dengan adanya Undang-Undang tersebut partisipasi rakyat semakin berkurang dan mereka terkurung dalam sistem birokrasi yang diciptakan secara nasional, tanpa memperhatikan apsirasi lokal. Kepala desa tidak begitu dekat dengan masyarakat dan kurang dikenal apalagi yang duduk di LKMD, bukan lagi elite nagari dulu.

Kaya kok Jadi Bodoh 
Baik Kabupaten Pasaman maupun kabupaten Sawahlunto Sijunjung merupakan kabupaten yang kaya di Sumatera Barat. Contoh kasus misalnya dalam melihat kondisi ekonomi Pulau punjung, ada dua kisah yang menarik untuk diceritakan. Kisah pertama, “Berapa harga Ikan patin Sekilo”, begitu terdengar seorang ibu menanyakan harga ikan kepada seorang pedagang. Dijawab oleh pedagang itu harganya Rp. 30.000.- Sang ibu yang pegawai negeri (terlihat dari pakaian seragamnya) menawar Rp. 25.000.- Sebelum pedagang menjawab, seorang ibu lain (perempuan kampung biasa, terlihat dari pakaiannya) menanyakan berapa kilo ikan yang ada. Sang pedagang menjawab 5 kilo. Lantas, ibu itu tanpa menawar-nawar langsung memborong semua ikan yang ada. Kebetulan ibu itu baru panen sarang burung walet. [16]
Kisah kedua, seorang toke emas bercerita bahwa seorang ibu, yang kebetulan penduduk kampung menanyakan harga sebuah kalung yang berat 20 emas. Ketika dijawab harganya Rp. 5 juta. Tanpa menawar-nawar, ia langsung membayar dan kemudian ia memberi bonus lagi sebanyak Rp. 100.000,- [17]
Dua kisah diatas memperlihatkan  bahwa Pulau Punjung sebagai wilayah penelitian memperlihatkan tingkat ekonomi yang bagus. Potensi ekonomi masyarakat di Kecamatan Pulau Punjung dapat dikatakan sangat baik. Potensi utama terletak pada  dukungan sumber daya alam terutama karet, kebun kelapa sawit dan sarang walet. Khusus untuk yang terakhir ini, mereka mampu memanen sekali empat bulan, yang membuat ekonomi masyarakat demikian hidupnya. Seorang tokoh terkemuka di Pulau Punjung mengakui bahwa potensi  sumber daya alam yang memadai tersebut menyebabkan daerah ini disebut sebagai “daerah dollar”.  Uang banyak beredar sehingga kehidupan sosial-ekonomi masyarakat relatif baik. Hal ini secara kasat mata dapat dibuktikan dengan perilaku dan pola kehidupan masyarakat. Dimana pola kehidupan konsumtif adalah ciri khas masyarakat Pulau Punjung dan Sungai Dareh. Hal ini terlihat jelas ketika hari pasar di Pulau Punjung. Pada saat hari pasar pada setiap hari Jum’at dan minggu, Pasar Pulau Punjung sangat ramai di kunjungi oleh para pedagang dan  pembeli.
Dukungan sumber daya alam itu yang kemudian menjadi daya tawar bagi masyarakat di luar Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.  Mereka berdatangan dan tinggal untuk menjadi pelaku ekonomi. Biasanya pendatang tersebut sebahagian besar bekerja sebagai pedagang. Pada umumnya pendatang berasal dari Batusangkar, Bukittinggi, Padang Pariaman, Solok, Padang Panjang dan Payakumbuh. Ada juga yang sebahagian yang berasal dari luar Sumatera Barat seperti Jambi dan Jawa.
Baiknya tingkat ekonomi masyarakat juga dapat dilihat dari sektor perilaku sosial. Dimana pada umumnya masyarakat mulai dari orang tua sampai kepada anak-anaknya memperagakan dalam bentuk barang berharga seperti emas. Di leher, pergelengan tangan dan jari mereka senantiasa dihiasi dengan emas dan berlian. Ini tidak hanya dipakai oleh kuum perempuan akan tetapi juga dilakukan oleh kaum laki-laki. Disamping perhiasan juga dapat dilihat dari pakaian mereka. Pakaian anak gadis dan anak bujang di sini tidak kalah dengan pola berpakaian anak-anak remaja yang tinggal di kota.
Kemapanan  ekonomi masyarakat berpengaruh juga terhadap pola dan perilaku kawula remajanya secara lebih khusus, terutama yang berasal dari penduduk asli. Sebahagian besar mereka lebih memilih untuk bekerja mencari uang dibandingkan untuk bersekolah tinggi, Umumnya pendidikan mereka rata-rata SD dan SMP.  Setelah mereka tamat SD atau SMP lebih memilih untuk bekerja “manakiak gatah, bakabun sawit atau karet, mamanen walet ataupun maambiak kayu ka hutan, sehingga dengan demikian anak mudo bapitih”.
Dukungan sumber daya alam itu yang kemudian menjadi daya tawar bagi masyarakat di luar Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.  Mereka berdatangan dan tinggal untuk menjadi pelaku ekonomi. Biasanya pendatang tersebut sebahagian besar bekerja sebagai pedagang. Pada umumnya pendatang berasal dari Batusangkar, Bukittinggi, Padang Pariaman, Solok, Padang Panjang dan Payakumbuh. Ada juga yang sebahagian yang berasal dari luar Sumatera Barat seperti Jambi dan Jawa.
Jika dibandingkan antara jumlah penduduk asli dan pendatang hampir berimbang. Kira-kira 50%  penduduk asli dan 50% pendatang. Hubungan antara pendatang dan asli berjalan dengan baik. Sangat jarang terjadi perselisihan antara pendatang dan asli. Hal ini di sebabkan oleh faktor keterbukaan antara kedua kelompok tersebut. Kalaupun ada perselisihan antara pendatang dan asli, cenderung penduduk pendatang mengambil posisi mengalah. Maka dalam hal perkelahian dan konflik, itu hanya sering terjadi antar sesama penduduk asli.

Agama : Masih kah sebagai penawar sitawa sidingin (Penyejuk)
Sebagai wilayah bagian dari geografis Adat Minangkabau, kedua kabuapten ini termasuk penganut agama Islam. Walaupun ada juga non Islam, namun mereka ini umumnya pendatang dari luar terutama transmigrasi dari Jawa dan Batak di kabupaten Pasaman dan Jawa di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Kisah dibawah ini memperlihatkan sebuah realiatas kebergamaan dipedesaan Minangkabau.
Berkumandang azan magrib sesungguhnya menyeruak sampai kepelosok nagari. Dibantu oleh pengeras suara, maka suara orang sedang azan akan sampai dalam radius 5 km. Artinya, satu mesjid itu cukup mengingatkan orang kampung untuk sholat ke masjid. Ketika menginjakkan kaki di masjid, (sebuah masjid yang megah dan besar, barangkali dapat menampung 100 jamaah),  yang ditemui adalah orang –orang tua yang sedang sembahyang. 14 Laki-laki, dan 7 perempuan, merupakan jamaah yang mengisi solat magrib di masjid Sikabau. Lantas, yang lainnya bagaimana? Satu hal yang pasti, anak-anak muda masih asik di warung-warung. Ibu-ibu asyik mengasuh anaknya. Sementara itu, sebuah surau kecil yang jaraknya 50 meter dari masjid itu sedang solat berjamaah sekitar 50 orang. Dengan gambaran seperti itulah, Islam menjadi agama utama yang dianut dalam masyarakat. Satu pertanyaan ingin diajukan, masihkah agama menjadi tawaran yang menarik bagi masyarakat ?
Pertanyaan diatas agaknya tepat diajukan pada masyarakat, karena persoalan keberagamaan menjadi krusial. Artinya, walaupun masyarakat merata memeluk agama Islam di wilayah penelitian,  namun mereka belumlah menjalankan agama Islam secara lebih konsisten. Berbagai fasilitas agama cukup memadai tersedia. Namun, mesjid misalnya lebih banyak diisi oleh orang-orang tua. Dengan sendirinya, persoalan agama menjadi persoalan yang cukup krusial sebagai tuntutan hidup dalam masyarakat. Bahkan, agama yang seharusnya dapat dijadikan filter bagi kemaksiatan, namun ulama dan masyarakat telah gagal menjadikannya sebagai sebuah ideologi, sehingga berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat gagal diperbaiki.
Kegamangan masyarakat yang ironis dewasa ini terasa disaat pudarnya kesadaran atau penghayatan agama generasi muda. Keironisan itu terasa tatkala pemerintah sedang menggalakkan “kembali ke nagari-kembali ke surau”. Kegamangan itu seperti terbingkai dari potongan aspek kehidupan yang penting dan relatif. Potongan tersebut menentukan ‘ukuran gambar’. ‘Ukuran gambar’ yang dimaksud adalah sikap keagamaan masing-masing individu.
Kegamangan masyarakat terhadap realitas kondisi remaja dewasa ini ibarat seorang perempuan tua yang tengah memandangai potret buram anak cucunya. Sebuah potret kehidupan yang dibingkai dari potongan frame dari aspek kehidupan yang penting namun begitu relatif. Aspek kehidupan tersebut adalah aspek pandangan hidup, standar kekayaan, hingga menyangkut status sosial yang semuanya dikonkritkan dengan gaya hidup. Potongan frame (semua aspek) itulah yang menentukan ukuran  gambar atau potret hingga menjadi bingkai foto persegi empat. Remaja adalah potret/gambar yang melekat di dalamnya. Sikap keagamaan yang dimiliki remaja itu pula yang menentukan keindahan atau kemuraman potret kehidupan masyarakat itu.    
Potongan-potongan frame itu dapat menjadi salah satu indikator tingkat kesadaran keagamaan individu-individu dalam komunitas lokal (kampung, nagari, kecamatan, dan jorong). Maka jika hendak ingin mengetahui ‘ukuran gambar’ tersebut, pembingkainya perlu dilepas satu persatu, yaitu dengan memperhatikan pandangan hidup, status sosial, standar kekayaan dan gaya hidup. Setiap ‘bingkai sosial’ tersebut tidak dapat dipisahkan secara kentara karena satu sama lain saling mempengaruhi. Namun bagian ini tidak membahas masalah sosial-ekonomi secara gamlang, karena difokuskan pada masalah agama. 
Melihat latar belakang basis ekonomi masyarakat di Kecamatan Pulau Punjung, maka mustahil rasanya jika   pemuka agama tidak pernah memberi materi ceramah yang relevan dengan hal itu. Salah satu materi ceramah yang relevan yaitu kutipan sebuah hadist yang mengatakan bahwa “kemiskinan lebih dekat kepada kekufuran”. Hadist tersebut selintas hanya bermuatan da’wah, Islami yang terkadang dipandang dogmatis dam sempit. Akan tetapi, hadist tersebut bersifat universal (berlaku untuk siapa saja), logis, dan dapat dianggap sebagai pandangan hidup yang sering disuarakan lewat ceramah-ceramah agama.  
Pandangan hidup tersebut mengarah pada suatu pemahaman tentang spirit atau semangat hidup untuk arah kehidupan yang baik. Namun persoalannya miskinkah masyarakat Kecamatan Pulau Punjung, sejauhmana pandangan hidup tersebut melekat dalam pribadi-pribadi mereka, dan yang terpenting adalah bagaimana variabel ini mempengaruhi variabel lainnya, terutama terhadap sikap keagamaan mereka ?

Kesimpulan

Bacakak banyak antar kampung sesungguhnya bukanlah hal baru dalam budaya Minangkabau. Perang antar kampungpun sudah ada sejak sebelum kedatangan Belanda, terutama persoalan batas kampung.  Bahkan, dalam perang Paderi misalnya, perlawanan yang dilakukan terhadap Belanda justru lebih banyak bersifat upaya mempertahankan kampung yang dilewati Belanda, bukan dalam konteks Minangkabau secara keseluruhan.
Belakangan ini, perang antar kampung itu menjamur kembali. Jika dilihat asal muasalnya, setidaknya dapat dikategorikan atas dua hal pokok yaitu yang bersifat laten dan temporal. Persoalan yang bersifat laten adalah penguasaan sumber daya alam seperti sarang walet seperti di Pulau Punjung kabupaten Sawahlunto Sijunjung, dan Tinggam kbupaten Pasaman. Persoalan hasil tambang seperti tambang emas dan batu bara Di kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Persoalan batasan tanah yang tidak tegas sesungguhnya merata terjadi disetiap kampung di Sumatera Barat. Batasan yang tidak tegas satu kampung dengan kampug lainnya seringkali menjadi sumber utama konflik. Konflik ini yang sudah terjadi secara turun temurun, kemudian menjadi warisan dalam masyarakat sebagai potensi besar sumber konflik. Bahkan konflik sudah menjadi tradisi yang mengakar dalam masyarakat, yang kadangkala dapat diselesaikan secara cerdas dan seringkali dengan tindakan kekerasan seperti bacakak banyak. Hal iniah yang menjadi persoalan besar didalam masyarakat perkampungan di Sumatera Barat, yang ditandai kualitas dan kuantitas dari korban bacakak banyak.
Persoalan laten diatas dengan mudah dipacu oleh hal-hal yang sifatnya amat sederhana. Menggoda perempuan di jalan,  terinjak dikeramaian, pertandingan sebokbala, pesta, pasar dan tempat umum lainnya merupakan arena perkelahian. Contoh kongkriknya adalah seorang pemuda Sungai Dareh terinjak kakinya oeh seorang pemuda Pulau Punjung dalam sebuah acara organ tunggal. Merasa tidak senang, langsung terjadi perkelahian antar keduanya. Setelah dipisahkan dan kemudian mengalah salah satu, perkelahian berhenti. Ternyata, 1 jam kemudian, terjadi perkelahian antar kelompok pemuda Pulaupunjung dengan Sungai Dareh itu yang melibatkan antara 10 sampai 20 orang. Jika sudah demikian, maka esok harinya akan terjadi bacakak banyak, yang melibatkan semua lelaki dewasa dalam masyarakat kedua kampung. Pada hal, antar keduanya maih banyak juga memiliki hubungan persaudaraan, baik lewat turunan maupun perkawinan. Kasus akhir 1999 lalu berlangung seperti itu adanya.
Tidak jauh berbeda dengan di Pulaupunjung dengan Sungai Dareh, di Kinali bacakak banyak ini disebabkan oleh perkelahian dua orang anak kecil. Ketika anak kecil itu selesai berkelahi, masing-masing anak mengadu pada bapaknya. Kemudian, sang bapak mengajak kaumnya untuk melanjutkan perkelahian itu. Pada akhirnya, perkelahian yang awalnya dimulai dengan persoalan anak kecil karena berebut play stasion, berakhir dengan bacakak antar kampung yang ditandai dengan bakar membakar antar kedua pihak yang bertempur. Dari beberpa kasus diatas, jelas sekali potensi laten konflik itu mudah saja menjalar oleh berbagai persoalan yang sifatnya kecil. Artinya, potensi konflik yang telah dibangun oleh sistem budaya ini kemudian oleh hal-hal kecil mudah meledak menjadi sebuah kweeusuhan yang bersifat horizontal.
Dari pemetaan masalah diatas, diperlukan sebuah skenario untuk penanggulangannya. Selama ini, dalam mengantisipasi masalah-masalah yang berkembang, pihak-pihak yang terlibat juga tidak memiliki kerangka berpikir yang terarah dan sistematik. Ironisnya lagi, informasi yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah sosial tersebut masih sangat tidak memadai. Hal ini disebabkan karena tidak lengkapnya informasi dan data yang siap pakai, serta mencerminkan realitas sosial yang  sebenarnya. Dalam konteks inilah, penelitian ini dapat memberikan alternatif pemecahan terhadap bacakak kampung yang terjadi dalam masyarakat di kabupaten Pasaman dan Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.
Pendekatan yang dikembangkan selama ini dalam pencegahan konflik sesungguhnya tidak ada. Artinya, keterlibatan pihak luar konflik biasa setelah meletusnya konflik. Pada hal, jika ada political will dari pihak pemerintah misalnya, maka bacakak banyak itu tidak harus terjadi, jika sudah ada upaya pencegahan dan penanggulangan sebelum jatuh korban. Dari pendekatan yang dikembangkan selama ini, kesan kuat yang muncul adalah bersifat top down. Ternyata, hal ini hanya dapat menghentikan konflik yang tengah berlangsung atau sedang terjadi. Bukan mencegah konflik yang akan terjadi.
Pada gilirannya, dalam merumuskan skenario mencegah dan menanggulangi bacakak banyak harus melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Mau tidak mau, pendekatan botton up agaknya menjadi alternatif yang lebih baik untuk menghindari terjadinya pembakaran rumah penduduk yang tak bersalah, pertumpahan darah sampai kematian yang tidak diinginkan.***


TENTANG PENULIS:
Drs. Zaiyardam Zubir, M. Hum lahir di Sumanik, Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 1962. Menyelesaikan studi S1 di Fak. Sastra UGM pada than 1988 dan kemudian menamatkan S2 di almamater yang sama pada tahun 1996. Sejak tahun 1988 menjadi pengajar pada Jurusan  Sejarah, Fak. Sastra Universitas Andalas. Selain rutinitas  sebagai dosen, peneliti pada  Pusat Studi Humaniora (PSH) Unand Padang, beberapa LSM seperti KPMM, Totalitas, LP2M,  PBHI. Pernah juga juga menjadi wartawan di Limbago,1992-1997, Lentera Indonesia 1997 –2001 dan Gelora Reformasi 2001- 2003. Karya yang telah diterbitkan  adalah :
1. Zaiyardam Zubir,  “Orang Rantai, Orang Tambang dan Orang Lobang : Studi Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Batu Bara Ombilin, dalam Edy S. Ekawati dan Susanto Zuchri (Eds), Arung Samudra : Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya UI Jakarta,  2001.
2. Zaiyardam Zubir, dan Harry B. Tanjung, Transparansi dan Capacity Bulding dari LSM Anggota KPMM Padang. Padang : Kerjasama Ford Foundation, 2002.
3. Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran : Studi Tentang Issue, Strategi dan Dampak gerakan  Yogyakarta : Insist Press, Desember 2002.
4.    Zaiyardam Zubir, Lani Fitrianti , Lusi Herlina dan Dwi Bertha,  Partisipasi Politik Perempuan di Minangkabau.Yogyakarta: Insist Press, 2003
5.  Zaiyardam Zubir, Eka F. Putra, dan Harry Effendi, Gerakan Mahasiswa dan Otoritarisme Negara : sketsa Gerakan Mahasiswa Sumatea Barat 1958-1999. Jakarta : CPI, 2003.
6.    Zaiyardam Zubir dan Lindayanti, Dari Ahong Sampai Ahmad, Studi tentang Politik Kekerasan dan Jebakan kemisiskinan Pada Level Akar Rumput. Yogyakarta, Insist Press, 2004.
7.   Zaiyardam Zubir (eds.) Rakena, Mande Rubiah : Penerus Kebesaran Bundo Kanduang dan Dalam Penggerogotan Tradisi. Yogyakarta : Resist Book, 2004
8.    Zaiyardam Zubir dan Herwandi  (ed), Menggugat Minangkabau. Padang : Unand Press, 2006
9. Zaiyardam Zubir, Pertempuran Nan Tak Kunjung usai : Eksploitassi Buruh Tambang Batu bara Ombilin 1891-1927. Padang : Unand Press, 2006
10.   Zaiyardam Zubir, Kecelakaan Intelektual di Sumatera Barat. Padang : Diagonal Institute, 2007
11.  Zaiyardam Zubir (ed), 7 abad Penindasan Perempuan Minangkabau. (Proses Percetakan )
12. Zaiyardam Zbir, Peta Konflik Di sumatera Barat (Proses Percetakan )


[1]Makalah ini disampaikan dalam Lokakarya Memperingati 50 Tahun Antropologi Universitas Indonesia “Konflik dan Disharmoni Sosial pada Era Reformasi di Indonesia: Sumbangan Pemikiran Antropologi untuk Pembangunan Demokrasi” Waktu : 11-12 Desember 2007 di Kampus UI, Depok.
[2]Penulis, Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unand dan Peneliti di Pusat Studi Humaniora (PSH) Unand Padang. 
[3]Wawancara dengan Eri di Pulau Punjung. 
[4]Kejadian ini menjadi headline beberapa surat kabar lokal dan nasional 
[5]Wawancara dengan Datuak Gadang di Sikabau. 
[6] Wawancara dengan Iyan di Sikabau.  
[7] Christine Dobbin, 1992. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah. Sumatera Barat 1784-1847. Jakarta : INIS.
[8] (Surat kabar  Singgalang, 6 Oktober 2004, hal. 1)
[9] Mario Puzo, Gorfather. Jakarta : Mitra Utama, 1994.
[10] Jembatan Sungai Dareh ini diresmikan pemakaiannya oleh Presiden Soeharto pada tahun 1977, yang pada saat itu merupakan Jembatan terpanjang di pulau Sumatera. Lihat misalnya, Mestika Zed dkk, 1998. Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995.  Jakarta : Sinar Harapan.                                                                                                                                                                             
[11] Dalam bahasa Minangkabau, istilah bacakak banyak ini diambil dari ungkapan  yang lazim digunakan ketika terjadi perkelahian massal antar kampung. Bacakak sama artinya dengan perkelahian massal atau tawuran.  Hanya saja,  perkelahian itu melibatkan orang satu kampung dan kadangkala kampung-kampung bersebelahan juga ikut membantu. Untuk selanjutnya, bacakak banyak akan disebut perang antarkampung.
[12] “ Macet Total di Pulau Punjung dan Sungai Daerah”, dalam Surat kabar Harian Padang Ekspers, 20 Desember 1999, hal. 1.
[13] Ibid.
[14] Surat Kabar Padang Ekpress,18 Januari 2003.
[15] “Setelah Wali Nagari Hapus”, majalah Tempo, No.14 th XIX-3 Juni 1989, hal 18.
[16] Wawancara dengan Betriza, guru SMPdi Sikabau.
[17] Sebagaimana yang dikisahkan oleh Zulbachri, pedagang Emas di Sikabau.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Muluk Nasition, 1981. Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat  1926-1927. Jakarta : Mutiara.
A.A  Navis, 1986. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta : PT Grafiti press
                  , ( ed.), 1988. Dialektika Minangkabau. Padang : PT Singgalang Press. 
Bell, David, V.J., 1973. Resistence and Revolution. Boston : Hontoun Miflin Company.
Brinton, Crene, 1984. Anatomi Revolusi. Jakarta : Bharatara.
_______, 1997. Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20. Jakarta : Grafiti.
Burke, Peter, 1992. History and social Theory. Cambridge, Polity Press.
Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa : Dimulai Dari Belakang. Jaklarta : LPES.
Debray, R., 1969. Strategy for Revolution. New York : Monthly Review Press.
Dobbin, Christine, 1992. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847.  Jakarta : INIS.
Erwiza, 1999. Miners, Managers and the State: A Socio-Political History of the Ombilin Coal-Mines, West Sumatra 1892-1996. Phd. Disertation. University  Amsterdam.
Franz von Benda-Beckman, Keebet von Benda Beckman and Hands Marks  (eds), 2000. Coping with Insecurity, An “Underall” Perspective on Social Security in the Third World. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hefner, Robert W., 1999. Geger Tengger, Perubahan  Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta : LKIS.
Hungtinton, Samuel.  P dan Nelson, Joan, 1986. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta.
Kuntowidjojo, 1993. Radikalisme Petani.  Bentang Press Intervisi Utama.
Legg, Keith R, 1983. Tuan, Hamba dan Politisi.  Jakarta : Sinar Harapan.
Moleong L.,  1993. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda.
Sartono Kartodirdjo, 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT Gramedia.
Scott. James , 1985. Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.  Jakarta: LP3ES.
___________, 2000. Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Taufik Abdullah, 1987. Islam  dan Masyarakat. Jakarta : Pustaka Firdaus.
                          , 1982. Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta : LP3ES.
Thee Kian Wie, 1981. Pemerataan, Kemiskinan, Ketimpangan. Jakarta : Sinar Harapan.
Weber, Max, 1999. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Jakarta : Pustaka Pramathea.
Wolf, Eric R., 1983. Petani Sebuah Tinjauan Antropologis. Jakarta : CV Rajawali                           

B. Majalah dan Surat Kabar

Majalah Tempo
Surat kabar harian Halauan
Surat kabar Harian Padang Ekpsress
Surat kabar harian Singgalang