Krisis Pendidikan Kritis

Krisis Pendidikan Kritis(*)
Elsa Putri E. Syafril[1]


Sumber Ilustrasi Animasi
http://smayani.wordpress.com
Iqra’, ‘bacalah’, begitu seru Allah, melalui Jibril, kepada nabi-Nya, Muhammad. Seru ini diulang sampai tiga kali, menggema dan memenuhi hening gua Hira. Ajaib, sebuah agama yang dalam kecenderungan hari ini, seperti disinyalir Muhammed Arkoun, bergerak menjadi doktriner dan bersifat dogmatis, awal pewahyuannya di mulai dari kata “bacalah”. Sebuah kata perintah langsung, seru yang tergolong tegas dan keras. Dan, ajaibnya, seru ini ditujukan kepada Muhammad yang buta aksara.
Apa makna di balik seru-Nya di atas? Mengapa Ia berkenan, melalui seru itu, menjelmakan diri seperti guru dalam dunia persekolahan hari kini? Tidakkah seru  tersebut dapat dimaknai sebagai “kata sandi”, atau semacam “password” yang dapat menuntut manusia dari sejenis murid-murid yang bebal dan bengal menuju keberadaannya yang baru sebagai insan kamil, manusia dari golongan yang sempurna.
 Tentu ada hubungan antara seru “bacalah” di awal pewahyuan Quran itu dengan sebutan ulil albab, kaum yang berpikir. Sebutan ini berulang-ulang muncul dalam pewahyuan Quran pada masa-masa berikutnya. Dan, sepertinya bukan satu kebetulan bila umat Islam pada awal keberadaannya tampil menjadi umat yang berpikir. Umat yang mengusai perbendaharan ilmu, baik ilmu yang disebut Arkoun dengan Islamawiyah (wilayah akhirat atau transcendental) maupun Islamiyah (wilayah keduniawian). Begitupun kemajuan dan peradaban yang mencengangkan yang dihasilkan dan dicapai umat Islam pada masa-masa kejayaannya, kesemuannya seperti bermuara pada seru: “bacalah” itu.
●●●
Seru “bacalah” bila diikuti, maka akan melahirkan apa yang disebut dengan aktivitas membaca. Dalam masyarakat yang masih niraksara atau era kelisanan (orality), aktivitas membaca belum begitu dominan. Di sini yang dominan adalah aktivitas mendengar seiring pemerolehan bahasa masih berlangsung secara alamiah dan pengetahuan masih dipelajari dan diwarisi lewat tuturan, direkam oleh ingatan untuk kemudian kembali dituturkan.
Dalam masyarakat tersebut, aktivitas membaca masih berada dalam makna luas, ia berkaitan dengan dunia dan kehidupan. Di sini yang dibaca bisa jadi konteks. Konteks ini mungkin alam seperti filsafat masyarakat Minang “membaca alam takambang”. Dari peristiwa membaca alam inilah sejumlah pengetahuan dan kearifan (lokal) dilahirkan, diwarisi dan diwariskan yang umumnya melalui khazanah sastra lisan dengan aspek bunyi memainkan peran bagi proses penghapalan.
Sebaliknya, dalam  masyarakat yang sudah memiliki aksara atau sudah dalam era keberaksaraan, aktivitas membaca berada dalam kerangka budaya literasi. Literasi, yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, merupakan tradisi yang mengakrabkan seseorang dengan buku, kitab, dan teks sekaligus konsekuensi dari keakraban itu, yakni tulisan. Dengan kata lain, aktivitas membaca dalam masyarakat beraksara umumnya berserangkai dengan aktivitas menulis. Ketekunan dalam mengaji teks biasanya akan berujung pada lahirnya teks yang baru. Di sini, ilmu dan pengetahuan tidak sekedar diwarisi dan diwariskan, tetapi juga disempurnakan atau malah disanggah sama sekali oleh satu gagasan dan pikiran yang baru.
Aktivitas membaca dalam pengertian yang disebut terakhir di atas membuat ilmu dan pengetahuan menjadi tidak stagnan dan statis. Ilmu dan pengetahuan berada selalu dalam proses pembaharuan dan kebaharuan yang tidak pernah usai. Demikian pula manusia sebagai pelaku aktivitas membaca. Mereka tidak menjadi objek pasif atau sekedar selang yang mengalirkan air atau kabel yang mengalirkan arus listrik. Mereka menjadi subjek, tampil sebagai agent of change bagi perubahan dan penyempurnaan, kebaruan dan pembaharuan ilmu dan pengetahuan beserta kebudayaannya.
●●●
Pendidikan seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire adalah media “pembebasan” manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat terlepas bukan saja dari buta aksara, tetapi juga dari pengetahuan dan ikatan tradisional yang seringkali menindas potensi dirinya dan hak-hak normatifnya selaku manusia. Dan, yang terpenting adalah melalui pendidikan setiap orang akan terbebas dari kebodohan dan  proses pembodohan. Metode paling ampuh yang ditawarkan Freire dalam rangka pembebasan ini adalah metode “membaca”.
Metode membaca, sebagaimana yang ditawarkan Freire, sangat efektif dimulai pada anak usia sekolah dasar. Dalam ilmu psikologi, anak usia sekolah dasar disebut berada pada critical period, atau periode dengan potensi berkreasi yang luar biasa. Namun, critical period ini seringkali tidak dioptimalkan dengan baik, bahkan cenderung sebaliknya. Sekolah-sekolah dasar, khususnya yang dikelola pemerintah, justru jadi penghambat pertumbuhan dan perkembangan critical period ini. Metode membaca hanya diterapkan sebatas pemerolehan aksara dan kemampuan mengeja dalam kata dan kalimat yang acapkali asing di dalam lingkungan sosial peserta didik. Metode ini dianggap berhasil bila seorang anak telah mampu mengeja satu paragraf dan wacana, dan tidak sebagaimana dilakukan Freire membawa peserta didik dalam suasana dialog dengan kata, kalimat, paragraf, dan wacana  itu untuk  memunculkan daya kritisnya.
Metode membaca yang diterapkan itu diperparah oleh sistem ajar-mengajar yang monolog dan terkadang otoriter. Guru dalam kapasitasnya sebagai “sang segala tahu” menerangkan isi buku dan kemudian menutup penerangannya dengan sejumlah pertanyaan. Sementara murid dalam posisinya sebagai tabula rasa duduk tertib, menjadi pendengar dan pencatat setia. Mereka mesti bisa menjawab apa-apa yang ditanyakan guru sebagai tolak-ukur mereka menyimak pelajaran atau tidak. Sistem ajar-mengajar ini tentu tidak di akhir pelajaran sebagai menerima apa adanya pengetahuan yang dimiliki guru tanpa ada kesempatan mereka untuk mengembangkan daya kreativitasnya—hanya mencawan. Kembali, tradisi lisan dikekalkan dalam proses ajar-mengajar ini.
Metode membaca yang menjadi pangkal budaya literasi, secara psikologis, mengaktifkan fungsi otak kiri dengan sistem intelektual long term memory, kemampuan memahami dan memaknai kembali apa yang dilihat melalui membaca dalam waktu yang cukup lama. Sebaliknya, tradisi lisan dengan metode hapalan, cenderung memfungsikan otak kiri dengan sistem intelektual short term memory, kemampuan memahami dan mengingat kembali apa yang didengar melalui hapalan dalam waktu singkat. Fungsi otak kiri dengan sistem intelektual long term memory akan memungkinkan seorang peserta didik untuk memaknai dan menganalisis apa yang telah dibaca untuk direfleksikan dalam bentuk inteletualitas baru yang konstruktif.
Tradisi lisan dalam proses ajar-mengajar, yang terlaksana secara sadar maupun tidak dalam sistem pendidikan kita akan menjadikan peserta didik stagnan dan statis dalam memperoleh ilmu dan pengetahuan tanpa mampu memaknainya secara analitis. Pewarisan ilmu dan pengetahuan, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, melalui membaca akan memunculkan telaahan dan penciptaan baru berkaitan dengan apa yang telah dibaca. Seperti halnya awal kemunculan sejarah yang ditandai dengan keberadaan aksara yang kemudian dianalisis untuk mempelajari perjalanan waktu manusia yang “mungkin” untuk diwariskan dan diperbaharui untuk kelangsungan kehidupan berikutnya.  Dengan demikian, langkah terbaik untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia yang selama ini lebih banyak berkutat di wilayah makro adalah penitikberatkan pembelajaran dengan metode “membaca”.

●●●

(*) Pernah juga dimuat di Koran Harian Singgalang

[1] Penulis, Doktor Linguistik menyelesaikan Magister Pendidikan di UNJ bekerja pada Roda Education and Culture Yayasan Pendidikan Roda