'Ular Besi Di Persimpangan' Dan Harapan Baru Kereta Api Di Sumatera Barat

'Ular Besi Di Persimpangan' 
Dan Harapan Baru Kereta Api  Di Sumatera Barat 
(2 dari 2 Tulisa Berkaitan)

'Ular Besi Di Persimpangan
Sinyal buruk pokok pertimbangan 'pilot project sistemic linkage' yang dulu masa Belanda menjadi perhatian dan kajian terdepan bermakna; jika salah satu dari ketiga pembangunan (1. Tambang Batubara Ombilin (Ombilin Mining Coal), 2. Jaringan Kereta Api dan 3. Pelabuhan Teluk bayur) tersebut gagal, maka berdampak buruk atau hilanglah fungsi bagian lainnya. Oleh karena itu siapapun yang mengerjakannya harus sekaligus jika diinginkan semuanya berfungsi dan berdaya guna.Tampak hal itu benar-benar terjadi dan dialami dampaknya bahkan tidak satu-dua bagian, tapi pada ketiganya.
Lembaran tahun 2002 menjadi awal catatan buram perkeretaapian di Divisi Regional II Sumatera Barat. Persoalan utamanya adalah bagian sentral sumber kegiatan ekonomi bagi yang lainnya adalah aktivitas dan produksi batubara Sawahlunto yang terhenti. PT. BA-UPO selaku pewaris dan penerus kegiatan produksi tambang batubara peninggalan rintisan Belanda di Sawahlunto sudah tidak lagi berproduksi. Pertanyaannya apa yang mesti dibawa kereta api ke Telukbayur (Emmahaven) Padang ?
Selama berpuluh tahun, bahkan lebih satu abad tugas kereta api lebih sebagai angkutan batubara. Meski kereta api dalam catatan sejarahnya juga mengangkut barang, penumpang dan batukapur, namun tetap tidak bisa seperti di Jawa atau daerah lainnya. Di Sumatera Barat Kereta api lebih tercitra sebagai angkutan batubara, ketimbang barang, penumpang. Oleh karenanya transportasi kereta api sebagai angkutan manusia dimasa-masa lalu yang panjang tidak begitu populer di ranah Minang. Dengan tugas utama kereta api mengangkut arang (batubara) hitam legam itu pula ia digelari ‘Mak Itam’ atau si ‘Ular Besi’.

Harapan Baru: Kereta Api Di Sumatera Barat Kembali Bergairah
Sejak disahkannya RUU No. 23 menjadi UU tahun 2007 lalu banyak harapan dan peluang pembaharuan bagi perkeretaapian secara nasional. Terlebih UU No. 23 Tahun 2007 yang menggantikan UU No. 13 tahun 1992 tentang Kereta Api membuka peluang keterlibatan berbagai pihak untuk kemajuan dan masa depan kereta api di Indonesia. Tidak seperti UU pendahulunya yang monopolistik UU No. 23. Tahun 2007 memberi kesempatan swasta dan pemerintah daerah ikut andil berperan serta mengembangkan perkeretaapian.[1] Dukungan akan itu sebagaimana Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) UUKA yang menyatakan:
   “Perkeretaapian dilaksanakan oleh pemerintah sesuai rencana induk masing-masing; Rencana Induk Pemerintah Pusat, Rencana Induk Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota”.
Dengan payung hukum yang terang itu, peluang pengawasan dan pembinaan dari pemerintah terhadap perkeretaapian baik pusat maupun daerah akan mempermudah jalan mengembangkan perkeretaapian. Jalur-jalur kereta api yang tidak aktif lagi di daerah-daerah berpotensi untuk kembali diaktifkan.[2]
Melihat kenyataan kereta api di Sumatera Barat pasca ‘putus hubungan’ dengan PT. BA-UPO dalam hal transportasi batubara. Nasib kereta api di Sumatera Barat berubah drastis menjadi ‘hidup segan mati tak mau’. Kehadiran UU perkeretaapian yang baru, bagi kereta api Divisi Regional II Sumatera Barat benar-benar menjadi harapan yang nyata. Pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat memutuskan mendukung beroperasinya kembali kereta di wilayah Sumatera Barat. Dukungan itu dituangkan dalam MoU antara PT. KA (Persero) dengan Pemerintah Propinsi dan Pemkab/Pemko yang dilewati kereta api. Komitmen bersama untuk mengembangkan dan mengoperasikan kembali kereta api karena disadari bahwa kereta api di Sumatera Barat tidak hanya berpotensi sebagai alat transportasi barang. Namun kereta api juga berpotensi sebagai angkutan penumpang untuk menunjang dan mewarnai duni kepariwisataan Sumatera Barat.[3] Alih tugas dari angkutan barang ke penumpang tentu menjadi babak lain dari perjalanan sejarah kereta di Sumatera Barat. Kondisi untuk alih tugas itu sangat mendukung bagi usaha perkeretaapian. Yang jelas akan muncul animo masyarakat menggunakan jasa perjalanan dengan kereta api. Bagaimana tidak, ini kan wajah dan fenomena lama yang baru dalam transportasi penumpang di Sumatera Barat.
Dukungan lebih jauh pemerintah daerah adalah dengan mengucurkan dana bantuan pusat sebesar 6,7 Miliar untuk revitalisasi sarana jalur kereta api terutama bantalan rel terutama jalur Pariaman-Padangpanjang-Sawahlunto.Selain itu pemerintah propinsi Sumatera Barat mencairkan dana hibah sejumlah 500 juta rupian.[4] Dan ditambah lagi anggran pemerintah Kota Sawahlunto 300 juta untuk membawa ‘Mak Itam’ Lokomotif Uap E1060 dari Museum Kereta Api Ambarawa. Sokongan dana itu ditujukan agar revitalisasi kereta api di Sumatera Barat dapat kembali membangkitkan semangat ‘Pilot Project Sistemic Linkage’ yang sesungguhnya.  Satu dengan lainnya menyokong dan menguatkan. Suasana babak tugas yang berbeda dari masa lalu tentunya. Kalau diwaktu yang lalu kereta api menyokong transportasi batubara, sekarang tentu menyokong transportasi penumpang dan dunia kepariwisataan dengan segala peran dan daya tarik serta kesejarahannya. Semoga Slogan HIDUP KERETA APIKU ! yang didenggungkan para awak kereta api benar-benar hidup.


[1] Aidul Adha., Hakikat Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. Tabloid Sibinuang, Media Internal PT KAI Divre II Sumbar, Edisi II Desember 2008. Hlm. 7.
[2] Ibid.,
[3]Tri Septa Riza., Potensi Pengembangan Aset Kereta Di Sumatera Barat. Tabloid Sibinuang, Media Internal PT KAI Divre II Sumbar, Edisi II Desember 2008. Hlm. 7.
[4]Diolah dari Tabloid Sibinuang, Media Internal PT KAI Divre II Sumbar, Edisi II Desember 2008. Hlm. 7 dan 15