Mencuri Banyak Perhatian, ‘Mak Itam’ Makin Tua Makin Menawan

MENCURI BANYAK PERHATIAN,  ‘MAK ITAM’
 MAKIN TUA MAKIN MENAWAN 


“Kita tidak merampas,
tapi kita hanya memulangkan
‘Mak Itam’ ke kampungnya”
Pernyataan itu disampaikan walikota Sawahlunto dalam pidato sambutannya dihadapan  ribuan orang yang menunggu detik-detik penyambutan sekaligus peresmian pengoperasian kereta api wisata dengan lokomotif uap E1060 ditahun 2008 lalu. Apa yang dikatakan itu tidak berlebihan rasanya. Apabila ditelusuri masa lalu atas nama kereta api lokomotif berteknologi uap, khususnya ‘Mak Itam’ di Sumatera Barat, dengan tugas utama menarik atau mendorong rangkaian gerbong-gerbong bermuatan batubara dari Sawahlunto ke Emmahaven (Telukbayur) Padang.

'Ular Besi Di Persimpangan' Dan Harapan Baru Kereta Api Di Sumatera Barat

'Ular Besi Di Persimpangan' 
Dan Harapan Baru Kereta Api  Di Sumatera Barat 
(2 dari 2 Tulisa Berkaitan)

'Ular Besi Di Persimpangan
Sinyal buruk pokok pertimbangan 'pilot project sistemic linkage' yang dulu masa Belanda menjadi perhatian dan kajian terdepan bermakna; jika salah satu dari ketiga pembangunan (1. Tambang Batubara Ombilin (Ombilin Mining Coal), 2. Jaringan Kereta Api dan 3. Pelabuhan Teluk bayur) tersebut gagal, maka berdampak buruk atau hilanglah fungsi bagian lainnya. Oleh karena itu siapapun yang mengerjakannya harus sekaligus jika diinginkan semuanya berfungsi dan berdaya guna.Tampak hal itu benar-benar terjadi dan dialami dampaknya bahkan tidak satu-dua bagian, tapi pada ketiganya.

KERETA API ANGKUTAN MASSAL PERINTIS DI SUMATERA BARAT

Kereta Api Angkutan Massal Perintis 
Di Sumatera Barat
 (1 dari 2 tulisan terkait)

A.Sekilas Pembangunan Perkeretaapian Di Indonesia (Hindia Belanda)
Kereta api di Hindia Belanda (Indonesia sekarang) dimulai oleh N.V. NISM di daerah Jawa Tengah. Pembangunan diawali pencangkulan tanah pertama oleh Gubernur Jenderal tanah jajahan pada tanggal 7 Juni 1864 yang berlokasi di desa Kemijen (sekarang Stasiun Gudang Semarang). Pelaksanaan proyek pembangunan dipimpin Baron Sloet Van den Beele (1886-1866). Berselang tiga tahun kemudian jalur Semarang-Temanggung sepanjang 25 km dioperasikan sebagai angkutan umum. Meski menghadapi berbagai kendala pengerjaan terutama masalah pendanaan. Pembangunan jalur kereta api terus berlanjut dan sampai ke Yogykarta pada tanggal 10 Juni 1872.[1]
N.V. NISM berada di depan dalam pembangunan rel periode awal ini. Perusahaan ini membangun jalur rel Semarang-Surakarta-Jogja. Langkah N.V. NISM disusul 21 perusahaan kereta api lainnya. Satu diantaranya dari perusahaan pemerintah yaitu Staatsspoorwegen/SS. Dari ke 21 perusahaan kereta api itu pun 17 perusahaan tercatat memiliki manajemen dan perlatan yang berbeda.[2] Namun tidak dapat di sanksikan periode ini teknologi uap sedang berkembang pesat. Dengan demikian sudah jelas lokomotif uap tampil sebagai tonggak sejarah perkeretaapian di belahan dunia manapun. Sampai akhir Perang Dunia II terdapat 982 lokomotif dari 69 jenis.[3]

Cerita Sejarah Orang Rantai I (Bagian Ketiga)

ORANG RANTAI: DARI PENJARA KE PENJARA
(Bagian Ketiga: Hiburan)

”Orang hukuman dari penjara Muaro Padang ada wanita juga”, Jij(Anda), pikir apa lagi ha...? Napi wanita sedikit yach..yach...? Jadi rebutan, bisa terjadi yang tak elok. Jadi apa usul Jij (Anda) lagi? Ambil orang hukuman dari Jawa saja, bawa gamelan dari Jawa Tengah, dikapalkan dari pelabuhan Semarang”. Goed (bagus), goed, goed, Jij punya usul. Ik mau pikir dulu”. Begitulah percakapan Petinggi Belanda, Tuan Asisten Resident dengan Tuan Besar Ombilin.
Hiburan... hiburan... sambil mengangguk-anggukkan kepala, Tuan Asisten Resident berpikir dari mana uang dianggarkan untuk mendatangkan hiburan. Bak makan buah si malakama. Jika hiburan tidak didatangkan, sudah pasti kuli-kuli akan kabur melarikan diri dari kota yang sepi dan kerja keras tanpa henti. Lalu kalau mereka semuanya kabur, arang tidak bisa keluar, kereta api di Jawa akan berhenti, kapal-kapal uap juga tidak akan berlayar, membawa hasil bumi Indonesia ke negeri induk. Rugi tokh, pikirnya lebih lanjut. Dan lebih gawat lagi, kalau Ik dipecat dari jabatan atau dimutasikan ke daerah lain oleh atasan.  Belum tentu Ik mendapat gaji lebih banyak, apalagi kalau dipindahkan ke daerah miskin. Tentu saja Ik harus mengencangkan ikat pinggang, tidak bisa plesiran setiap minggu atau liburan ke Eropa. Sawahlunto memang sulit diurus karena kuli-kuli itu, tetapi tokh juga mendatangkan banyak uang.  Di tengah pikirannya yang berkecamuk itu, akhirnya ia mendapat ide untuk merundingkan masalah ini dengan Tuan Besar tambang keesokan harinya. Dalam Vergadering (rapat) besok harus diputuskan segera masalah yang urgen ini, katanya.
Akhirnya, sekitar awal abad ke 20, seperangkat gamelan didatangkan oleh Residen Belanda di Semarang. Orang-orang perantaian tentulah merasa senang. Denting-denting lembut gamelan Jawa mengalun di hari libur akhir pekan. Akan tetapi nampaknya seperangkat gamelan untuk 2.000 orang perantaian tentu tidak cukup. Orang-orang tentu juga perlu ’cuci mata’, dan itupun terpikirkan pula oleh para petinggi Belanda yang juga membutuhkan hiburan dengan membangun rumah bola atau yang disebut societeit Glϋck Auf.
Jika gamelan tidak cukup, maka hiburan seperti ronggeng, tandak serta kuda kepang juga disediakan pada tahun-tahun kemudian. Tentunya dengan alasan agar kuli-kuli perantaian yang bekerja dan juga kuli kontrak dari pulau Jawa akan merasa betah di Sawahlunto. Seperti biasa ronggeng, tandak atau kuda kepang dipertontonkan setiap akhir pekan. Misalnya ronggeng. Ronggeng ini disertai dengan para penari cantik, muda dan umumnya memakai susuk, dengan tujuan mempercantik diri di hadapan para penontonnya. Susuk-susuk yang dipakai berupa butiran emas, intan atau mutiara yang dipasang oleh dukun pemberi susuk di bagian-bagian  tertentu tubuh mereka.
Malam minggu adalah malam hiburan yang ditunggu-tunggu perantaian. Malam hiburan, menikmati alunan lembut gamelan atau menikmati penari-penari ronggeng yang cantik dan genit. Semakin larut malam semakin seru dan memanas suasananya. Kenapa? Karena para kuli saling berlomba menggaet penari ronggeng. Menggaet mereka, artinya harus siap sedia uang. Uang premi yang diperoleh dihamburkan untuk menggaet peronggeng. Ada yang melipatgandakan uang selipannya, disusul oleh perantaian lainnya yang menyelipkan uang lebih banyak lagi dengan harapan ronggeng akan terus bersamanya. Mereka yang curang menahan dulu mengeluarkan uang sebagai saweran. Setelah uang teman-teman lainnya sesama kuli napi semakin menipis atau telah habis, barulah ia muncul dengan selipan uang lebih banyak. Ia girang sebagai pemenang dan dapat dengan leluasa berpesta pora dengan penari sampai larut malam.
Harapan-harapan untuk menikmati hiburan tak dapat dilalui seperti seindah khayalan. Para pesaing yang lebih kuat muncul.  Hukum rimba pun berlaku. Siapa yang kuat itulah pemenang. Diam-diam seorang perantaian, berperawakan tegap, kekar dengan muka sedikit masam turun ke tengah arena. Tanpa basa-basi, lalu menarik pundak temannya yang sedang asyik bergoyang dengan ronggeng. Ia terseret ke belakang hingga hampir saja terjatuh. Posisinya pun digantikan. Kejadian itu mengundang tertawaan dan teriakan-teriakan perantaian lain yang membuat telinga panas.
Siapapun diperlakukan seperti itu, tentu tidak menerima, meskipun yang sedang dihadapi adalah teman sesama narapidana. Ia juga sedang berhadapan dengan seorang narapidana yang dikenal keras dan kasar. Keributan dan baku hantam pun tidak dapat dihindari. Suasana jadi kacau. Melihat hal itu kuli-kuli napi lainnya ikut melibatkan diri karena ada diantara mereka yang sudah merasa bersaudara ketika tunggal sakapal atau sebagai teman karib. Sipir penjara dan morsose bergerak cepat memerintahkan dan menggiring orang tahanan itu dengan senjata masuk ke sel masing-masing dan kembali dipasangkan rantai di kaki mereka dengan  bola-bola besi berat. 
Dalam kondisi kacau itu, ada saja yang mencoba-coba mengambil kesempatan untuk melarikan diri, menembus barisan morsose-morsose yang lengkap dengan senjatanya. Perantaian yang berusaha melarikan diri, ditangkap. Usaha melarikan diri dan membuat keributan itu dianggap kesalahan besar. Keesokan hari, mereka akan menerima hukuman cambuk rotan berpuluh kali sampai babak belur di sekujur tubuh. Mencambuk sampai babak belur memang harus dilakukan, perintah Direktur Departemen Kehakiman dari Batavia. Mengapa? Supaya ia jera melakukan kesalahan lagi.
Menikmati penari-penari ronggeng yang cantik dan menggemaskan memang hiburan tersendiri di akhir pekan. Tetapi ada juga hiburan lain yang tak kalah serunya. Judi. Judi dimana-mana pun memang dibolehkan Belanda. Ini obat mujarab mengikat orang-orang untuk tetap betah bekerja, apalagi kuli-kuli kontrak. Di mana saja di Hindia-Belanda, para petinggi Belanda mengizinkan kuli-kuli untuk bermain judi. Di Sawahlunto, kota industri, judi memang hiburan menyenangkan dan membawa malapelataka. Judi memang membawa banyak harapan. Orang bisa berkhayal untuk menjadi kaya mendadak karena judi, akan tetapi orang juga mendadak babak belur karena berkelahi waktu permainan judi atau jatuh melarat. Bagi perantaian sudah tidak menjadi masalah, mau miskin atau mau kaya, sama saja, karena ’masuak mudo kalua tuo’ (masuk ke Sawahlunto sewaktu muda dan keluar sudah tua) dan kemudian meninggalkan dunia fana. Mereka tidak akan memikirkan masa depan, karena masa depan itu sendiri sudah hilang, hilang ditelan lamanya hukuman kerja paksa.
Sementara para perantaian bersuka ria menghibur diri, di rumah bola Glϋck Auf, meneer dan mevrouw (Tuan dan Nyonya) serta noni-noni Belanda juga menikmati hiburan. Dari kejauhan, terdengar alunan musik yang dibawakan oleh kelompok band Ombilin yang sengaja didirikan untuk menghibur para tuan dan nyonya. Bernyanyi, berdansa sambil minum-minum adalah hiburan pengisi hari libur diakhir pekan. Satu persatu botol-botol anggur putih dan anggur merah dituangkan para jongos yang berdandan rapi. Tambah lagi Tuan? Tambah Nyonya? Begitu sapaan para jongos --yang sudah diberi latihan tata cara menegur tamu-tamu kulit putih-- yang berjalan mengelilingi tamu-tamu rumah bola yang semakin ramai. Semakin larut malam, semakin banyak botol-botol minuman yang sudah kosong, semakin tidak teratur kata-kata yang terucap oleh para peminum. Mereka mulai mabuk.  
Para penari ronggeng yang cantik dan harapan-harapan untuk menang dalam permainan judi itu hanyalah hiburan sejenak saja. Rupanya itu tidak cukup. Hiburan lain masih harus dicari? Itulah Anak Jawi. Apa itu Anak Jawi? Begini ceritanya. Anak Jawi adalah semacam istilah untuk laki-laki muda yang disayangi oleh para perantaian. Perantaian suka sesama sejenisnya. Ini bukan penyakit baru yang muncul di Sawahlunto saja, tetapi sudah dibawa sejak mereka masih menjalani hukuman di penjara-penjara Glodok dan Cipinang di Batavia.
Sebagai laki-laki dewasa yang normal tentu memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Bukankah itu juga  bagian dari kebutuhan kehidupan manusia? Tetapi apa mau dikata. Di tambang Ombilin, wanita langka. Dunia tambang, dunia laki-laki. Berbulan-bulan dan bertahun-tahun hidup dengan kondisi yang kering kerontang, tidak ada hiburan ini, berbagai cara pun ditempuh untuk memenuhi hasrat kelelakian mereka. Tidak ada wanita, sesama laki-laki pun jadi.
Inilah hiburan lain, ketika menghadapi kerja yang berat. Ada yang dikasih dan ada yang mengasihi, ada harapan dan yang ada pula yang mengharap, sebuah naluri manusia yang tak lekang dipanas dan tak lapuk di hujan. Hiburan di dalam lobang tambang pun terjadi. Jika perantaian masuk dalam perut bumi, berbaring berjejer-jejer memotong batubara dengan belincong, menegangkan dan perlu rileks. Di sinilah banyak hal yang sulit diduga, terjadi.
Suatu hari, Kang Amat mendekati Rusman, teman sekerjanya yang kira-kira baru dua bulan memasuki lobang. Rusman, seorang perantaian dari sebuah desa dari Jawa Tengah dibawa Belanda ke Sawahlunto untuk menjalani hukumannya sebagai seorang yang dipersalahkan Kepala Desanya sebagai pembunuh.  Rusman berbadan kecil, agak lemah berwajah tampan. Kelihatan sekali bahwa ia bukan tipe laki-laki pekerja kasar. Kang Amat sudah menaruh perhatian, pertama kali ia melihat Rusman memasuki lobang. Rusman perlu dilindungi, katanya. Bermula dari rasa kasihan, rasa melindungi dan kemudian beralih ke rasa sayang seperti ke lawan jenis, akhirnya, jadilah Rusman sebagai Anak Jawi. Kang Amat butuh hiburan. Ia memberi kode ke Rusman, dan kemudian menarik tangannya ke tempat yang gelap. Di sanalah Rusman pertama kali merasakan sentuhan-sentuhan lembut di badannya, wajahnya dan seterusnya, sampai kemudian ia tersentak ketika langkah-langkah tegap mandor menghampiri mereka.  
Apakah ini semacam hiburan bagi Rusman? Bagi Kang Amat, jelas merupakan hiburan, suatu hasrat lama yang sudah tak terbendung. Hatinya yang gersang bertahun-tahun, kini berbunga-bunga. Ada orang yang disayangi. Bagi Rusman, pengalaman pertama ini membuatnya bingung. Semalaman ia tidak bisa tidur. Membalikkan badan ke kiri dan ke kanan, perasaan gundah bercampur takut menghantuinya. Jika tawaran berikutnya ditolak, pastilah dirinya tak terlindungi. Bisa nyawanya melayang. Membiarkan Kang Amat bersikap lain kepadanya, tentu tidak bisa ia terima secara wajar. Pilihan yang sulit, pikirnya. Akhirnya, demi untuk melindungi diri, ia menerima Kang Amat sebagai ’partner’nya. Pada hari-hari berikutnya, jadilah Rusman, perantaian yang mendapat perlakuan istimewa Kang Amat. Jadilah ia sebagai perantaian yang tidak perlu bekerja berat seperti teman-temannya yang lain. Peduli amat jadi Anak Jawi, yang penting kerja ringan, dapat rokok, makanan dan diri terlindung, katanya sambil berguman setiap kali ia akan memasuki lobang.  
Hiburan semacam ini sulit bagi mandor mencegahnya,  apakah mandor besar, orang Eropa atau mandor kecil, pribumi. Sambil menerawang jauh, Tuan Mandor Wijshijer, Indo-Eropa, ibunya dari Nias dan ayahnya dari Jerman yang tinggal di kota tambang Heerlen, Belanda mulai bercerita tentang Anak Jawi. Katanya, ”ya saya tahu itu, tetapi saya tak bisa buat apa-apa ya. Saya hanya bisa menutup muka dengan tangan begini,” sambil menunjukkan bagaimana jari-jari tangannya menutup mukanya. Ia melihat persis bagai-mana kejadian itu, tetapi tidak berani bertindak, karena takut diserang oleh anak buahnya sendiri yang bisa jadi lebih kalap,  jika dicegah.
Bagaimana dengan Mandor kecil yang diangkat Belanda dari kalangan perantaian sendiri? Mari kita ikuti percakapan sesama perantaian sendiri dan pendapat mereka tentang mandor kecil. Seorang perantaian tiba-tiba membuka percakapan. ”Ahh...! masa iya, kamu bisa melakukan itu saat bekerja”. Celutuk salah seorang kuli napi menanggapi. ”E....ala....! koe nggak percaya”. ”Tau nggak, mandorku itu Mamang Mandor Bagus.” Digelari Mandor Bagus, karena memang ”bagus” pengawalannya menurut pengakuan perantaian. Buktinya aku dibiarkan saja menggarap ”Anak Jawi”-ku”. ”Enak ya...! kalau gitu mandormu”, Jawab kuli lainnya. ”Coba saja kalau seandainya mandor kita ditugaskan bergilir sebulan sekali pada setiap kelompok kerja kita”. ”Pasti kita dapat enaknya”. Kata seseorang kuli berkeluh kesah. ”Enakmu....!” sela kuli napi yang dapat Mamang Mandor Bagus.
”Ah.....!!! biarkan saja, yang penting produksi tidak berkurang. Memang sebuah beban kerja yang berat yang harus diselesaikan setiap harinya. Tapi jangan coba-coba dibagian lobang lainnya, mandornya bisa sangat marah. Karena dianggap buang-buang waktu dan mempengaruhi jumlah produksi batu bara. Kalau seperti kuli-kuli paksa itu dapat dihadiahi hukuman cambuk rotan berkali-kali bahkan berpuluh-puluh kali, atau juga beban kerja ditambah. Untuk mendapatkan kesempatan seperti itu memang tidak mudah bagi mereka. Terkadang mereka tidak segan-segan menyisihkan uang gaji mereka guna menyogok mandor.
Anak Jawi” juga menjadi ajang rebutan dan monopoli seseorang. Persaingan memperoleh ”Anak Jawi” kadangkala memicu keributan dan pertengkaran dikalangan ”Orang Rantai”. Ketika ”Anak Jawi” yang selama ini menjadi teman kencan seorang kuli napi disenangi atau dilirik buruh lain bisa menimbulkan api kecemburuan yang berujung pada pertengkaran dan perkelahian, bahkan nyawa melayang. 
Hiburan...hiburan...hiburan... main judi, menonton ronggeng habis duit. Hiburan Anak Jawi ada resiko. Semua hiburan berakhir dengan bakuhantam saja. Hiburan apalagi ya, pikir Tuan Besar Ombilin. Sejak dibangun ’Tambang Panas’ di kampung Durian, hiburan di dalam tambang sudah bervariasi. Perantaian dilatih bermain sandiwara. Alhasil, pertunjukkan berbagai sandiwara pun membawa efek positif, selain menjadi hiburan, juga menyalurkan hobi, dan lebih penting lagi menaikkan status mereka di mata masyarakat luas. Bagaimanakah kisah perantaian di Tambang Panas ini, dapat pembaca di Buku Kedua.

 ************
Cerita Sejarah Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara
Terbit Tahun 2007 Akhir (Oleh Pemerintah Kota Sawahlunto
UPT. Peninggalan Besejarah dan Permuseuman
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Sawahlunto

Dicetak Oleh:
Penerbit Ombak Yogyakarta
 
Tim Peneliti & Penulis Diketuai oleh:
Erwiza Erman (Sekaligus Editor)
Yonni Saputra, SS
Dedi Yolson, SS
Adrial, SS 
Amitri Yulia, SS
Rosita Cahyani, S.Sos
Desi Darmawati, SS
Febri Linda Wati, SS

SEJARAH UANG DAN PEMALSUANNYA

MENGENAL UANG KUNO
SAMPAI RUPIAH UANG REPUBLIK INDONESIA[1]


KILASAN SEJARAH UANG
Pada masa silam, uang belum dikenal sebagai alat tukar karena tidak ada nilai nominalnya. Masyarakat kepulauan pasifik misalnya, bahkan dibeberapa daerah kepulauna di Indonesia pernah menggunakan taring ikan hiu sebagai alat tukar. Di belahan kutub, masyarakat Eskimo menggunakan alat tukar berupa kulit dan gigi anjing laut. Di pedalaman kawasan Baduy Jawa Barat masyarakatnya pernah menggunakan garam sebagai alat penukaran. Namun juga ada yang menggunakan lempengan tembakau, potongan kayu, bijih besi dan batu permata.

Cerita Sejarah Orang Rantai I (Bagian Kedua)

ORANG RANTAI: DARI PENJARA KE PENJARA
(Bagian Kedua-Dari Penjara ke Lobang dan Kembali ke Penjara)

”Kita dapat kuli-kuli baru”, dengan muka berseri-seri penuh semangat, Kepala tambang yang digelari Tuan Besar Ombilin mengawali pembicaraan dengan kepala Magistrate dan Kontrolir Belanda. Kita tak perlu tunggu lama tokh? Waah... waah... orang-orangnya gemuk ya, kuat masuk lobang”, lanjutnya meyakinkan lawan bicaranya di ruangan kantor utamanya di Saringan. ”Kita tak perlu melatih mereka, cukup dua atau tiga hari saja, kasih masuk mereka ke lobang selama 3 jam, keluarkan lagi. Hari berikutnya masukkan lagi sampai 5 jam. Hari ketiga, masuk kerja, jangan tunggu lama.

1894

Label Steam Generator (Generator Uap) tahun 1894 buatan Jerman hadir di Sawahlunto. Teknologi uap dalam sistim memasak skala besar untuk melayani makan ribuan buruh tambang Ombilin era kolonial Belanda. Sampai saat ini masih dapat di saksikan di komplek Musuem Goedang Ransoem Kota Sawahlunto, Sumatera Barat-Indonesia

Cerita Sejarah Orang Rantai I (Bagian Pertama)


ORANG RANTAI: DARI PENJARA KE PENJARA
Bagian Pertama: Dari Batavia Ke Sawahlunto

Sawahlunto, darimanakah gerangan asal usul kata itu?  Menurut cerita orang-orang tua, Sawahlunto terdiri dari dua kata, Sawah dan Lunto. Artinya ”Sawah  yang diairi oleh Batang Lunto”. Konon ceritanya, para pemukim pertama meneruka  wilayah datar yang sempit menjadi sawah.
Sawahlunto hanyalah sebuah kampung kecil, dikelilingi hutan belantara, bukit-bukit yang saling sambung menyambung dengan dataran rendah yang sempit. Tata letak kota seperti wajan penggorengan. Letaknya terisolir. Tidak menggairahkan dari sudut ekonomi, pikir para petinggi Belanda. Para pejabat Belanda di Batavia tak menoleh sedikitpun ke kampung kecil ini. Mereka lewati saja. Bahkan mereka

GALERI FOTO WISATA TAMBANG SAWAHLUNTO



Objek Wisata Lobang Tambang Soegar (Mbah Soero)


Sumber Foto: Koleksi Pribadi

Lokasi: 
Objek Wisata Lobang Tambang Soegar (Mbah Soero) 
Kota Sawahlunto
Model: 
Ari Wibawa
Photografer: 
Yonnik

GALERI FOTO FENOMENA PENGAIRAN


SISTIM IRIGASI TRADISIONAL 
DI ERA MODEREN DAN TEKNOLOGI CANGGIH

Foto:Yonni Saputra//Koleksi Pribadi
Butuh sedikit perjuangan. Petani sawah memanfaatkan kincir air di Batang Ombilin untuk pengairan areal persawahan. Kondisi seperti ini dapat ditemui di daerah Talawi Kota Sawahlunto hampir ke perbatasan Padang Ganting daerah Batusangkar.








GALERI FOTO BERBICARA: PERANTAIAN DI TAMBANG BATUBARA OMBILIN-SAWAHLUNTO

PERANTAIAN DI TAMBANG BATUBARA OMBILIN-SAWAHLUNTO
Membaca catatan dan cerita 'sejarah kelam' perantaian,beginilah sepertinya awal mobilisasi 'orang rantai' dengan kereta api dari berbagai penjuru Hindia Belanda untuk dipekerjakan secara paksa pada tambang batubara Ombilin-Sawahlunto dibawah kekuasaan kolonial Belanda. (Sumber Ilustrasi visual foto: Mytraverlblogging.com.)

WISATA SEJARAH TAMBANG:

PETUALANGAN WISATA SEJARAH:
 MENELUSURI JEJAK TAMBANG BATU BARA SAWAHLUNTO


Pergilah ke Sawahlunto, bagi anda yang hobi melancong atau para peneliti dan yang suka menguak masa lalu bagi kehidupan hari ini dan akan datang. Bagi anda yang sekedar ingin tahu ada apa ? disuatu tempat, tak ada ruginya singgah ke kota yang dulu dikenal lumbung batubara dengan kwalitas terbaik di negeri ini. Banyak hal tersimpan di kota kecil yang berada di propinsi Sumatera Barat, Indonesia ini. Meskipun kecil, jangan salah, disini sumber  batubara dengan kwalitas terbaik di Indonesia. Buktinya sejak dibuka dan diekploitasi Pemerintah Kolonial Belanda lebih dari 125 tahun lalu, sampai sekarang “emas hitam’ itu masih saja memberikan kehidupan bagi kota ini, meskipun skalanya tidak seperti dulu lagi. Wajar saja karena sumber daya alam ini tidak terbarui, bukankah begitu?. Begitu pula dengan potensi sejarah, budaya kota ini jauh lebih besar melintasi batas-batas administratif. Kota ini terletak di lembah antara cekungan perbukitan sehingga menyerupai sebuah kuali. Karena itu Sawahlunto disebut juga ‘kota kuali’ sekali waktu.
Satu sudut dari kota ini, sejarah penemuan batu bara hingga ekploitasi dapat dijadikan titik tolak dan gerbang masuk mengenal seluk beluk kota ini lebih jauh. Tanpa penemuan serpihan batu bara di tahun 1867 oleh seorang geolog Belanda Ir. W.H De Greeve saat ekspedisinya mengarungi aliran Sungai Batang Ombilin. Entalah, apa bentuk dan jadinya daerah belantara Sawahlunto sekitarnya. Disana mulanya hanya ada persawahan dan ladang penduduk sekitar. Jika malam hari mereka kembali ke perkampungan tempat tinggal mereka seperti Kubang, Lunto atau Silungkang misalnya.
Kandungan “emas hitam” batu bara, benar-benar telah menggoda dan mengundang banyak minat, terutama Pemerintah Hindia Belanda untuk mengeruk batubara dari bumi Sawahlunto, kemudian dijual ke pasar dunia untuk meraup keuntungan. Maklumlah, masa itu zamannya teknologi uap sedang berkembang dengan pesatnya akibat revolusi industri dari temuan mesin uap. Batubara menjadi primadona sebagai sumber energi andalan bagi ketel-ketel uap yang akan menggerakan berbagai mesin industri, pabrik-pabrik yang menggunakan mesin uap, transportasi laut kapal uap, lpkomotif uap kereta api, bahkan pemanas ruangan di Eropa sana.
Wajah belantara Sawahlunto pun bermetamorfosis sejak saat itu. Berbagai infrastruktur  pendukung aktivitas pertambangan pun satu persatu bermunculan. Sampai hari ini kita masih dapat menyaksikan jalur rel kereta api misalnya dari Teluk Bayur yang dulu dikenal Emmahaven sampai ke Sawahlunto. Penuh nostalgia rasanya perjalanan wisatawan ke kota wisata tambang Sawahlunto ditempuh dengan perjalanan menaiki kereta api dari kota Padang. Angkutan kereta api wisata yang bermarkas di Simpang Haru, sekarang melayani rute Padang-Pariaman dan Padangpanjang-Sawahlunto. Mengawali keberangkatan dari Emmahaven (pelabuhan laut Teluk Bayur) tentu saja suatu perjalanan yang utuh dalam sebuah rangkaian wisata tambang Sawahlunto. Betapa tidak, pembangunan Emmahaven, jalur kereta api dan  eksploitasi batubara dengan segala infrastrukturnya di pusat penambangan Sawahlunto merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Tidak berlebihan jika disebutkan pembangunan pabrik semen Indarung Padang menjadi matarantai dari proyek besar Emma Haven, jalur kereta api dan tambang batubara itu sendiri
Sayang sekali saat sekarang, indah dan romantisnya perjalanan wisata yang lengkap dengan menaiki kereta api dari Padang-Sawahlunto jadwalnya masih terbatas. Sabtu-Minggu dan hari-hari khusus seperti saat Ulang tahun atau Hari Jadi Kota Sawahlunto kereta api regular menjambangi lintasannya hingga ke kota ‘arang’. Memang perjalanan kereta api wisata regular diluncurkan hingga rute Padangpanjang-Sawahlunto, itu pun terjadwal pada hari Sabtu dan Minggu kecuali ada rombongan. Harap dimaklumi sejak produksi batu bara mengalami kemerosotan yang sangat tajam beberapa tahun belakangan si “ular besi hitam” itu tidak lagi meliuk-liuk sepanjang lintasan rel Padang-Sawahlunto.
Meskipun demikian, wisatawan tidak perlu kecewa. Sesampai di Sawahlunto semua kekecewaan itu akan sedikit terhapuskan dengan melakukan perjalanan dengan kereta api lokal Sawahlunto. Tidak tanggung-tanggung kita akan menikmati tumpangan penuh kesan romantisme dengan kereta api wisata (train nostalgia) E1060. Sebuah kereta api yang ditarik lokomotif uap seri E1060 buatan Jerman. Lokomotif nan eksotik, penuh nilai sejarah. Kemana lagi kita di nusantara ini dapat menikmati perjalanan dengan keretapi api uap berbahan bakar batubara. Untuk sekarang jawabannya tentu ya.. kalau tidak di Sawahlunto Sumatera Barat ya... ke Ambarawa Jawa Tengah. Kereta api wisata yang dijuluki ‘Mak Itam’ ini senantiasa siap mengajak wisatawan menikmati perjalanan melintasi rel sepanjang Muarokalaban-Sawahlunto yang berjarak lebih kuarang 12 km pulang pergi. Dalam perjalanan itu lokomotif uap akan membawa penumpang masuk perut bumi menembus terowongan sepanjang +828 meter. Jalur itu tentu mengingatkan pada kondisi ditahun 1892-1894, saat jalur itu dibangun mengerahkan para pekerja paksa. Mereka bekerja menantang alam dan dibawah tekanan penguasa Hindia Belanda. Mereka adalah pribumi, bangsa kita yang dipaksa untuk bekerja sepenuhnya dalam perintah kaum penjajah. Diantara mereka kemudian hari ada yang dikenal dengan sebutan orang rantai.
Setelah keluar dari terowongan (Lubang Kalam), lebih kurang 1 KM, sebelum melewati jembatan kereta api,  berdiri Mesjid Raya kota Sawahlunto dengan menaranya menjulang lebih dari 75 meter dengan diameter 3 meter. Tempat berdirinya mesjid itu dahulunya merupakan bangunan Pembangkit Listrik  Tenaga Uap (PLTU) pertama yang dibangun tahun 1894 dengan memanfaatkan aliran air Batang Lunto. Sedangkan menara mesjid itu adalah cerobong asap dari pembakaran batubara pada pembangkit listrik. Listrik itu untuk kepentingan aktivitas tambang batubara dan bagi kehidupan kota. Kemampuan penyediaan daya listrik yang terus bertambah seiring pertumbuhan dan perkembangan berbagai aktivitas tambang dan kehidupan kota. Maka dibangun lagi sentral listrik Salak di tahun 1924.
Dimasa revolusi kemerdekaan RI bekas PLTU itu dijadikan gudang dan perakitan senjata baik ketika dibawah penguasaan tentara Belanda, Jepang maupun pejuang Indonesia yang berada di Sawahlunto. Di tahun 1952 pada bekas bangunan induk PLTU yang megah itu didirikan tempat ibadah umat muslim kota Sawahlunto. Sedangkan ruang bawah tanahnya ditimbun dan ditutup rapat dengan beton.
Ketika kota Sawahlunto menjelmakan diri menjadi Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya seperti yang diamanahkan visi dan misi kota sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor. 2 Tahun 2001. Mau tidak mau sejarah peninggalan pertambangan batubara melalui penelusuran jejak yang masih tertinggal maupun  yang tidak jelas keberadaannya kembali digali. Untuk kepentingan itulah bulan April tahun 2005, ruang bawah tanah (bunker) yang tepat berada dibawah Mesjid Raya kota Sawahlunto dilakukan penggalian. Hasil penggalian itu sungguh membuktikan kepada kita akan cerita dan kisah dalam ingatan kolektif para tetua masyarakat pendahulu di Sawahlunto. Bunker itu begitu luas dan besar dengan lorong-lorong dan ruang-ruang seperti sebuah labirin. Sungguh mengasyikan dan merupakan tantangan untuk menguji nyali menelusurinya. Ketika penggalian demi penggalian berjalan terus ditemukan berbagai senjata dan peralatan perang seperti mortir, granat, senapan dan pistol rakitan, pelontar dan bagian potongan senjata mesin yang belum selesai. Seperti yang banyak diungkapan para tetua Sawahlunto. Tempat itu dulu ketika zaman bergolak dijadikan gudang dan tempat perakitan senjata sejalan dengan bengkel utama perusahaan tambang.  Temuan itu jelas merupakan bukti nyata segala penuturan masyarakat itu. Kini semua temuan itu tersimpan baik di musuem kota Sawahlunto. Namun belum bisa disajikan semuanya untuk publik karena berbagai pertimbangan dan kondisi tentunya. Demikian juga halnya dengan ruang bawah tanah mesjid yang belum juga terkelola dengan baik. Sehingga belum dijadikan objek rangkaian kunjungan wisata. Namun sekedar ingin menyaksikan keberadaannya tentu tidak ada halangan, toch... letaknya berada dilingkungan mesjid tepat dibawahnya lagi.
Mmmhhh...!!! lelah menelusuri lorong-lorong ruangan bawah tanah mesjid, wisatawan dapat melanjutkan perjalanan menuju sstasiun +100 meter dari bekas PLTU. Disini wisatawan dapat beristirahat sambil melepas lelah dengan menyaksikan benda-benda koleksi Museum Kereta Api. Wah...!!! wah ....!!! ini bukan sekedar stasiun tempat turun naik penumpang atau parkir kereta api wisata saja, tapi juga sekaligus museum. Musuem kereta api Sawahlunto merupakan  Museum Kereta Api kedua di Indonesia setelah Ambarawa Jawa Tengah. Apalagi kehadiran dan kiprah ‘Mak Itam’. Kereta api wisata yang ditarik dengan lokomotif uap E1060 ini berbahan bakar batubara telah melengkapi stasiun dan museum kereta api Sawahlunto segala kejadulan perkereta apian di Sawahlunto. Suasana seperti itu tentu saja disengaja untuk mengingatkan pada masa lampau, masa pengabdian lokomotif uap ketika di Sumatera Barat, Sawahlunto khususnya pemicu segalanya dari matarantai kepentingan kolonial di Minangkabau.
Berdiri mengahadap ke Timur didepan Stasiun atau Museum Kereta Api terdapat pasar “oesang” yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1910. Pasar itu sekarang sudah berganti nama Pasar Remaja. Nah... diantara tebaran bangunan sekitar wilayah pasar dan sekitarnya itu adalah apa yang sekarang disebut kota lama/tua Sawahlunto. dengan sedikit menuruni anak tangga untuk melewati jalan pintas dengan berjalan kaki dari museum kereta api. Sembari berkeliling kota mencari makanan dan oleh-oleh khas daerah ini seperti kerupuk kubang dan kerupuk tempe atau kerajinan tenun Silungkang yang terkenal itu. Wisatawan dapat menikmati romantisnya kota lama/tua Sawahlunto dengan bangunan-bangunan tua bercorak arsitektur indisch.
Mengikuti arus lalu lintas ke Utara wisatawan masih dapat menikmati deretan bangunan tua bergaya kolonial seperti bekas kantor pos dan pengadaian yang begitu terkenal dimasa lalu. Dari sini + 50 meter terdapat rumah Pek Sin Kek dengan arsitektur dan konstruksinya yang menawan. Disini  pelancong dapat berbelanja souvernir shop sambil berfoto untuk mengabadikan kenangan. Tepat didepan rumah Pek Sin Kek berjejer bangunan kolonial, salah satunya dulu sebagai koperasi karyawan tambang batu bara Ombilin dan disebelahnya terdapat Gereja Katolik dan sekolah St. Lucia. Coba perhatikan pada atapnya nan khas bertingkat dan terdapat dormer sebagai sistim sirkulasi udara yang menarik.  Di batasi dengan jalan, didepan gereja terdapat bangunan Hotel Ombilin juga berarsitektur Indisch. Anda bisa menginap disini, sebuah hotel yang terletak dipusat kota. Sementara dibelakangnya berjejer bangunan yang dapat dipastikan dulunya merupakan hunian petinggi-petinggi Belanda di Sawahlunto. Bangunan itu merupakan bagian dan satu kesatuan dengan Hotel Ombilin. Rasakan saja bagaimana menginap disebuah hotel dengan bangunan tua dari masa Hindia Belanda.   Perisi didepan hotel Ombilin, berseberangan jalan berdiri kokoh dan megah gedung pertunjukan yang dikenal dengan gedung societeit dibangun tahun 1918. Inilah  tempat berpestanya para pejabat-pejabat dan none-none Belanda setelah penat beraktivitas mengurusi tambang. Gedung itu pernah juga ditempati Bank Mandiri dan sebelumnya sebagai gedung pertemuan masyarakat (GPM). Mulai tahun 2006 gedung ini kembali difungsikan sebagai Gedung Pusat Kebudayaan (GPK) kota Sawahlunto. Tempat yang diproyeksikan untuk pertunjukan  dan pagelaran berbagai kesenian dalam upaya menopang kegiatan kepariwisataan di kota ini.
Didepan gedung societeit berbatasan sungai berderet bekas rumah-rumah para pejabat Belanda dan di depannya terdapat kantor perusahaan tambang Ombilin sekarang sebagai kantor PT. BA-UPO. Ruang publik pada area  gedung yang megah sebagai landmark kota itu saat ini dilengkapi dengan taman-taman dan lampu hias, sehingga cocok untuk bersantai bersama keluaraga, apalagi sarana dan prasarana bermain anak-anak.
Wah…tidak lengkap rasanya tanpa meneruskan perjalanan ke Air Dingin bekas kawasan pemukiman para buruh tambang. Lokasi itu tidak jauh dari landmark kota, hanya dengan menelusuri jalan disamping bangunan megah kantor PT. BA-UPO, menyeberangi sebuah jembatan yang melintas diatas sungai Batang Lunto, sesaat sampailah kita di tanah Lapang dan Air Dingin. Sebuah gambaran kawasan, tempat tumbuh kembangnya masyarakat tambang nan multi etnis. Disana ada sebuah Museum lagi namanya Museum “Goedang Ransoem”. Nama yang agak aneh kedengarannya. Ada baiknya tour napak tilas wisata tambang kita lengkapi singgah ke Info-Box Galeri Tambang. Disini informasi sejarah dan teknis penambangan dapat diperoleh hampir utuh. Berbagai koleksi peralatan tambang manual tempo dulu dapat disaksikan. Dilengkapi berbagai gambar untuk lebih mudah memahami informasi dunia tambang. Berbagai jenis bebatuan yang dikenal dalam penambangan juga hadir dihadapan kita. Nah..... !! untuk lebih meyakinkan wisatawan boleh masuk ke sebuah lobang tambang tua peninggalan penambang periode awal masa kolonial. Lobang tambang Soegar dan kemudian disebut lobang tambang Mbah Soero dapat dimasuki dengan aman dan nyaman karena sudah direvitalisasi dan disesuaikan bagi kebutuhan dunia wisata. Kita selama ini mungkin banyak penasaran seperti apa batubara didalam perut bumi itu. Tanda tanya seperti itu akan terjawab begitu masuk dan berjalan dalam lobang tambang yang dinding dan atapnya terhampar batubara yang masih alami. Tidak perlu khawatir wisatawan akan dipandu sepanjang terowongan yang hanya dibuka sepanjang lebih kurang 150 meteran saja. Keberadaan pengunjung juga diamati petugas lainnya diruang pantau melalui layar CCTV.
Tidak jauh, berkisar seratus meteran ke Air Dingin kita akan lanjutkan perjalanan ke Museum Goedang Ransoem yang kita maksud tadi. Bangunan yang ditempati sebagai museum itu merupakan komplek bekas dapur umum tambang batubara. Cita-cita pembangunan komplek Dapur Umum modern di Sawahlunto sejak tahun 1894. Namun baru terwujud tahun 1918 setelah dipicu berbagai kekisruhan soal makanan buruh yang terus berulang terjadi dari waktu ke waktu. Kekisruhan muncul dari kompleksitas persoalan. Mulai dari soal korupsi pejabat hingga level petugas pelaksana dilapangan. Belum lagi buruh yang rata-rata merupakan orang-orang bermasalah. Para kejahatan kriminal dan tahanan politik dengan segala huru-hara dan keberingasan sesama diluar dan dalam tambang. Merebut makanan yang lain, tentu akan memicu hal yang sama pula sebagai aksi pembalasan.
Kondisi itu memaksa perusahaan mengambil sikap mengambil alih pengelolaan makanan buruh dari kontraktor sebagai pihak ke tiga dengan membangun dapur umum modern berteknologi canggih dengan sistim memasak dengan tungku uap (steam generator). Dapur besar dengan peraltan masak seba ‘raksasa’ dioperasikan untuk menyiapkan makanan dalam jumlah besar. Ini merupakan jawaban dari kekisruhan dan problematika seputar makanan bagi pekerja tambang selama waktu-waktu berlalu. Bangunan dapur umum ditempatkan di tengah tangsi baru kelurahan Air Dingin. Bangunan ini disebut juga dengan rumah ransum yang dipergunakan untuk memasak makanan bagi para buruh tambang  dan keluarga yang berjumlah ribuan. Oleh karena itu, disana disiapkan pula dapur beserta peralatan yang serba besar seperti tungku, periuk dan sebagainya. Dari dapur ini di persiapkan masakan untuk 6000 ribuan orang setiap hari.
Sebuah prestasi dan kebanggaan dapat kita saksikan disini, dimana pemanfaatan kemajuan teknologi dalam sistem memasak berskala besar sudah hadir di Sawahlunto sejak awal abad ke-20 bahkan yang pertama di Indonesia masa itu. Hal ini dapat dilihat dari setiap bagian bangunan dan peralatan yang digunakan. Disini tidak hanya terdapat dapur tempat memasak saja, juga terdapat beberapa bangunan yang memiliki fungsi yang berbeda, namun merupakan satu kesatuan utuh   yang saling mendukung satu sama lain. Diantara  bangunan-bangunan tersebut adalah: Bangunan utama (dapur umum), gudang (warehouse) persediaan bahan mentah dan padi, steam generator (Tungku Pembakaran), Menara cerobong asap,  pabrik es batangan, hospital, kantor koperasi tambang batubara Ombilin, Heuler (penggilingan padi), rumah kepala ransum, rumah karyawan, pos penjaga, rumah jagal hewan, hunian kepala rumah potong hewan. Bangunan itu menjadi saksi bisu yang menyimpan banyak peristiwa tentang korupsi dari para pejabat/pegawai administrasi Eropa, para supplier Cina dan para tukang masak pribumi. Dari dapur ini para buruh berebutan untuk mendapat pembagian makanan yang dibagikan oleh staf perusahaan. Pada masanya, dapur umum itu berfungsi sebagai tempat melayani kebutuhan makan para:
  1. Orang hukuman, lebih dikenal sebagai orang rantai  yang dipekerjakan dipertambangan batubara Ombilin di Sawahlunto.
  2. Karyawan Tambang yang belum berkeluarga (bujangan) terutama mereka yang didatangkan jauh dari Eropa. Nah bagi para bujangan ini akan mendapat jatah makan gratis dari Dapur Umum selama 6 (enam) bulan. Setelah masa enam bulan mereka dianggap sudah punya penghasilan/gaji, mereka mendapat pemotongan gaji.
  3. Buruh tambang yang sudah bekeluarga. Setiap buruh tambang yang sudah punya keluarga mendapat jatah makanan dari Dapur Umum ini sejumlah anggota keluarga mereka. Akan tetapi berbeda dengan yang lainnya, pekerja tambang yang sudah memiliki keluarga diberikan dalam bentuk bahan mentahnya saja.
  4. Pekerja dan pasien rumah Sakit Ombilin.
Bahkan orang kawalan juga mendapat jatah makanan dari Dapur Umum. Orang kawalan merupakan rakyat yang tidak mampu membayar  belasting/pajak kepada pemerintah   kolonial Belanda. Untuk  menebus pajak terhutang orang tersebut mereka diperkerjakan ditambang batu bara atau proyek pemerintah   kolonial Belanda. Mereka bekerja hingga nilai pekerjaan mereka sampai menutup pajak yang tidak mampu mereka bayarkan.

Sekarang bekas bangunan yang bernilai sejarah itu telah menjelma menjadi sebuah museum kota yang menyajikan benda-benda koleksi bekas peralatan dan perlengkapan dapur umum. Makanya koleksi seperti bekas periuk masak itu besar-besar berdiameter 132 cm hingga 148 cm dan tinggi 62 cm sampai 70 cm. Bahan periuk ketel terbuat dari besi hancuran dan nikel. Museum itu dibuka dan diresmikan 17 Desember 2005 lalu oleh Wakil Presiden RI Bapak jusuf  Kalla.
Petualangan kita belum selesai dan belum seberapa karena kita baru mengunjungi bagian-bagian dari prosesi tambang. Sementara seperti apa ekploitasi atau bekas-bekas ekploitasinya belum tuntas sama sekali kita tahu dan kunjungi. Tapi ada baiknya kita ke kawasan Saringan dulu, letaknya didepan landmark kota agak tinggi, disana ada tiga buah silo tempat pengumpulan batu bara sebelum dimuat ke kereta api untuk diangkut ke Padang. Di kawasan itu terdapat mesin-mesin pencucian batu bara (Sizing plant) dengan conveyor-conveyornya. Sebuah bengkel besar disebut juga bengkel utama tempat memperbaiki segala kerusakan peralatan dan perlengkapan penambangan, bahkan juga untuk merakit dan memodifikasi. Jangan heran kalau disini dapat disaksikan mesin bubut dalam berbagai ukuran type, mesin tempa dll-nya.
Kita langsung ke kawasan Cemara, disana ada bekas terowongan (tunnel) penggalian batu bara sejak zaman Belanda. Unik dengan dua karakter tunnel vertikal dan horizontal. Biasanya pada tunnel horizontal merupakan terowongan untuk maju atau mundurnya ekploitasi batubara. Ini merupakan terowongan transportasi dengan belt conveyor. Kawasan itu akan ditata sehingga layak untuk dikunjungi keluar masuk oleh wisatawan. Karenanya perencanaan dan pengerjaan yang matang sangat dituntut mulai dari sistem penyanggaan, kelistrikan, drainase, sirkulasi udara, perlengkapan keamanan pengunjung, tanda bahaya dan lainnya. Harapannya wisatawan di sini tidak hanya sekedar melihat dan masuk terowongan bekas penambangn batu bara, tapi akan dihadirkan juga museum tambang mini, istal kuda bagi yang berminat melengkapi petualangan dengan berkuda, dan sebuah kafe dan gallery tempat berbelanja juga akan melengkapi kawasan ini.
Bagaimana dengan lingkungan tambang batu bara di Sawahlunto ? kita lanjutkanlah perjalanan menuju arah Talawi daerah kelahiran maha putra M. Yamin. Sepanjang jalur itu dapat disaksikan proses ekploitasi dan pengolahan batu bara, tambang rakyat, dan keadaan lingkungan. Tapi sebelum kesana sebaiknya mampir dulu di Balai Diklat Tambang Batu Bara Bawah Tanah dulunya Ombilin Mining Training Centre. Dari sini berbagai pengetahuan tambang batu bara bawah tanah ditransformasikan kepada pelaku tambang melalui berbagai fasilitas dan teknologi mulai dari yang manual hingga high technology. Misalnya wisatawan dapat mengenali dan menikmati seperti apa seharusnya sebuah terowongan atau tunnel tambang batu bara bawah tanah, berbagai macam jenis bebatuan alam.
Perubahan lingkungan fisik yang fenomenal dapat disaksikan ketika memasuki Sawahrasau. Daerah ini merupakan pembukaan titik penambangan kedua setelah Sungai Durian sejak zaman Belanda. Lihatlah bukit-bukit yang menjulang tinggi dibolak balik hingga tak karuan bentuknya. Saksikan juga tambang rakyat yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Terowongan-terowongan bawah tanah yang mereka buat hanya menggunakan peralatan seadanya, dan berpacu dengan perusahaan padat modal dalam meraih batu bara.
Tidak berapa jauh dari Sawahrasau + 1,5 km belok kanan dekat persimpangan Parambahan, melewati sebuah jembatan yang melintasi sungai Batang Ombilin wisatawan dapat pula menyaksikan sebuah perubahan lingkungan dari dari sistim penambangan terbuka. Sebuah  bukit yang merupakan ladang batu bara telah menjadi sebuah danau. Kawasan Wisata Danau Kandi demikian sebuah tulisan yang terpampang pada gapura kawasan itu. Tempat itu memang sedang dikembangkan menjadi bagian objek wisata tambang Kota Sawahlunto. Fasilitas saat yang ini yang telah ada seperti cafe, tempat bermain anak-anak, rumah ibadah juga akan dilengkapi dengan perahu. Tidak jauh dari Danau Kandi ini terdapat arena pacuan kuda berskala nasional. Untuk menuju kesana sedikit menaiki perbukitan sambil melemparkan pandangan kiri-kanan melihat-melihat bekas-bekas penambangan maupun yang masih aktif dilakukan, tambang rakyat misalnya.
Mengintip penambangan batubara dalam skala besar di Parambahan oleh perusahaan seperti PT. BA-UPO di Sigalut, AIC, TMS dengan sistim tambang dalam. Luar biasa dan menegangkan saat menelususri terowongan tambang bawah tanah. Cukup aman karena terowongan disangga dengan arca-arca baja. Sungguh berbeda anda berjalan dalam perut bumi dalam jarak ratusan meter bahkan berkilo-kilo meter kalau anda mau dan mendapat kesempatan. Kiri-kanan, atas dan bawah anda akan menyaksikan langsung batu bara. Selamat berpetualang!