Teknologi Uap, Kereta Api Dan Kehadirannya Di Sawahlunto-Sumatera Barat

TEKNOLOGI UAP, KERETA API DAN KEHADIRANNYA
DI SAWAHLUNTO-SUMATERA BARAT

Sumber: Foto Elizabet. Doc. MgR
Penemuan mesin uap di Eropa Barat di abad ke 18 telah membawa perubahan dramatis untuk pembangunan berbagai industri berbasis tenaga uap. Mesin-mesin diciptakan dan diproduksi secara besar-besaran untuk berbagai kepentingan manusia diberbagai belahan bumi. Pada kereta api lokomotif uap dan kapal uap misalnya dirancang sebagai transportasi massal barang maupun penumpang didarat dan laut.
Teknologi mutakhir dieranya itu membutuhkan bahan bakar batubara atau juga kayu sebagai sumber energi. Periode teknologi uap memacu peningkatan cepat penggunaan batubara dalam berbagai jenis industri dan transportasi (kereta api dan kapal uap). Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pemakaian tenaga uap dan terkorporasinya batubara ke dalam pasar Internasional, telah membawa perluasan yang cepat dalam jaringan perdagangan dunia dan dalam pertumbuhan kapitalisme Barat.[1]
Penemuan teknologi baru dalam bentuk mesin uap itu telah mendorong banyak negara di dunia untuk mencari sumber-sumber batubara baru. Negara-negara di Asia Timur seperti Jepang dan Cina tidak mau ketinggalan dalam pembukaan tambang batubara dan jalur kereta api.[2] Pada abad ke 19 dan 20, Cina menjadi satu-satunya produsen batubara terbesar di dunia, sementara Jepang terbatas tidak hanya mengeksploitasi tambang-tambangnya sendiri di dlam negeri, tetapi juga begitu intensif memperluas usaha yang sama di Cina. Dinegara-negara Asia lainnya, seperti Vietnam, Malaysia dan Indonesia, pembukaan tambang batubara bisa jadi dipertimbangkan memberi sumbangan terhadap eksploitasi inperalisme dan kapitalisme Barat di negara-negara yang menjadi koloni mereka masing-masing.[3]
Permintaan batubara terus miningkat, tidak lagi penggunaannya sebatas pemanas ruangan pada musim dingin di negeri-negeri Eropa, memasak makanan dan untuk berbagai keperluan rumah tangga lainnya. Tetapi lebih dari itu adalah untuk keperluan berbagai. Jumlah batubara di konsumsi dalam skala besar oleh kereta api, kapal uap dan untuk berbagai jenis industri. Karena itu, sebelum penemuan minyak dan sumber bahan bakar lainnya, batubara berperan penting dalam mendukung berbagai kegiatan perekonomian.[4]
Serangkaian bukti telah  menunjukan pengaruh yang besar penggunaan batubara untuk perkembangan industri dan transportasi. Salah  satu contoh penting ialah eksplorasi ladang batubara yang baru dan pembangunan jalur kereta api di banyak negara. Misalnya Inggris yang merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia, pembangunan rel kereta api pertama dari Stockton ke Darlington dalam tahun 1825, menghubungkan ladang batubara Durham dengan daerah pantai (Wolf 1982:291). Banyak negara lain seperti Perancis, Jerman dan Spanyol memberi cukup bukti ketertarikan mereka terhadap batubara. Selama abad ke-19, negara-negara ini intensif sekali mencari persediaan-persediaan batubara dan eksploitasinya. Penemuan sumber-sumber batubara baru bertepatan dengan pembangunan jalur kereta api.[5]
Di Hindia Belanda (Indonesia sekarang), cadangan batubara pertama di temukan di Penggaron, Kalimantan pada tahun 1848. Pertambangn di buka oleh Gubenur Jenderal J.J Rochussen dan dinamakan ”Orang Nassau”. Hampir seluruh produksi batubara dari tambang ini di gunakan oleh Angkatan Laut Belanda yang sedang berusaha menundukan Kerajaan Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Meskipun, produksinya menjanjikan pada mulanya, akan tetapi usaha pemerintah Belanda untuk mengeksploitasi batubara di Penggaron boleh dikatakan gagal. Tambang yang di operasikan menggunakan tenaga kerja yang murah, sebagian besar buruh paksa dari Jawa dan Madura, akan tetapi biaya-biaya transportasi dari pusat produksi  ke pelabuhan, terlalu tinggi. Tambang ini memproduksi tidak lebih dari 80.000 ton saja.[6]
Gagalnya aksploitasi tambang di Penggaron Kalimantan tidak mengurangi semangat para geolog Belanda. Penelitian di tempat-tempat lain segera menyusul, dan bahkan hasilnya jauh lebih menguntungkan . Penelitian mereka khususnya di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera. Rangkaian penelitian ini langsung membawa pembukaan sekurang-kurangnya dua tambang batubara lainnya yang dianggap penting di Kalimantan pada penghujung abad ini. Pertama tambang batubara yang di usahakan oleh perusahaan swasta Belanda, yaitu  Oost Borneo-Maatschappij yang beroperasi pada tahun 1882 (Lindblad 1985;182) dan kedua adalah tambang pulau laut yang awalnya dioperasikan oleh perusahaan  Swasta, kemudian diambil alih oleh pemerintah Kolonial Belanda (Baks 1989). Di Sumatera, W.H.de Greeve, seorang ahli geologi muda Belanda pada 1868, menemukan kandungan batubara di Ombilin dan melaporkan kandungan alamnya serta potensi ekonomi pada negara atau pemerintah pusat di Batavia. Laporan de Greve itu di publikasikan pada tahun 1871 dengan judul ”Het Ombilien-kolenveld iin de Padangsche Bovenlanden en het Transportstesel op Sumatra’s Weskust.[7]
Penemuan dan ekploitasi batubara Ombilin-Sawahlunto bagai gula-gula dan daya magnet dengan kekuatan luar biasa. Bagaimana tidak, batubara sumber daya energi yang diburu-buru itu memaksa teknologi uap Eropa itu haadir di Sawahlunto. Negeri yang hanya sebuah desa terpencil dan dikeliling belantara hutan. Sejak kepastian hasil temuan para geolognya, Pemerintah Kolonial mulai membangun jalan kereta api dan sebuah pelabuhan di Padang. Pembangunan jalan kereta api antara Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) dan Padang Panjang di bawah pengarahan insinyur Ijhzerman. Kemudian pada tahun 1892 ini disusul dengan pembukaan jalan kereta api antara Padang Panjang dan Muaro Kalaban. Seterusnya dibangun jalan kereta api yang menghubungkan Muaro Kalaban dan Sawahlunto dengan menembus bukit batu sepnajng hampt 1 Km (835 Meter) yang selesai pada tahun 1894. Dengan demikian pembangunan jalan kereta api sepanjang 155,5 km antara Teluk Bayur dan Sawahlunto selesai, dan pada tahun yang sama, pembangunan Pelabuhan Emma di rampungkan.[8]
Dengan selesainya jalur transportasi angkutan batubara, kereta api lokomotif dengan teknologi uapun mengambil peran utama dalam trasportasi batubara Sawahlunto-Emmahaven (Telukbayur) Padang. Masyarakat sepanjang lintasan yang dilalui kereta api pun dari keherannya menjadi terbiasa mendengar ‘garesoh-paresoh[9] kereta api yang lewat hilir mudik dengan muatan batubara. Sekali waktu kereta api dapt pula dinaiki karena juga melayani angkutan penumpang dan barang.
Selain kereta api lokomotif uap, juga hadir di Sawahlunto teknologi uap lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kubang Sirakuak. PLTU yang dibangun pada tahun 1894 itu ditujukan sebagai pemenuhan kebutuhan energi listrik ditambang batubara dan bagi kehidupan Kota Tambang Sawahlunto dengan segala sarana pendukungnya yang membutuhkan listrik. Kita dapat bayangkan ditahun baheulak Sawahlunto sudah memiliki listrik dari tenaga uap. Aktivitas tambang yang semakin meningkat, mendorong Belanda menambah kapasitas listrik . PLTU ke-2 pun dibangun dikawasan Salak dipinggir batang Ombilin.
Kalau teknologi uap a yang diterapkan pada kereta api lokomotif uap, kapal laut uap, dan listrik tenaga uap (PLTU) barangkali sudah lazim dan bias kita dengar. Namun adalagi teknologi uap yang lebih fenomenal hadir di Sawahlunto yaitu, tekonologi uap yang diterapkan pada sistim memasak di dapur umum perusahaan tambang yang berlokasi di Air Dingin sekarang (Lembah Soegar dalam sebutan Belanda). Dapur umum yang dibangun tahun 1918 ini berada dalam satu komplek kawasan. Sebuah kemajuan teknologi memasak skala besar dapat kita jumpai jejak dengan kontras hingga hari di Sawahlunto. Bekas dapur umum dengan berbagai bekas peralatan memasaknya yang serba ‘raksasa’ masih dapat disaksikan disini sebagai benda koleksi Museum Goedang Ransoem Kota Sawahlunto yang di resmikan sejak lebih lima tahun lalu (17 Desember 2005) oleh wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla.


[1]Erwiza Erman., Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik, Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996). Jakarta: Desantra, 2005. Hal. 26
[2] Ombilien-kolenveld 1884;843., dalam, Ibid.,
[3]ibid
[4] ibid
[5]Ibid
[6]van Lier., dalam Erwiza Erman Ibid., hlm.28-29
[7]Erwiza Erman., Ibid., hlm.
[8]Erwiza Erman., Ibid, Hlm. 65
[9]Garesoh paresoh’ istilah lokal masyarakat Minang dalam menyebut efek bunyi dari berbagai perpaduan aktivitas kerja lokomotif uap yang terdengar asing mulai dari gesekan roda besi dengan rel besi dan bunyi yang ditimbulkan dari mesin dengan tekanan dari piston uap sehingga menimbulkan bunyi yang khas.

Mencuri Banyak Perhatian, ‘Mak Itam’ Makin Tua Makin Menawan

MENCURI BANYAK PERHATIAN,  ‘MAK ITAM’
 MAKIN TUA MAKIN MENAWAN 


“Kita tidak merampas,
tapi kita hanya memulangkan
‘Mak Itam’ ke kampungnya”
Pernyataan itu disampaikan walikota Sawahlunto dalam pidato sambutannya dihadapan  ribuan orang yang menunggu detik-detik penyambutan sekaligus peresmian pengoperasian kereta api wisata dengan lokomotif uap E1060 ditahun 2008 lalu. Apa yang dikatakan itu tidak berlebihan rasanya. Apabila ditelusuri masa lalu atas nama kereta api lokomotif berteknologi uap, khususnya ‘Mak Itam’ di Sumatera Barat, dengan tugas utama menarik atau mendorong rangkaian gerbong-gerbong bermuatan batubara dari Sawahlunto ke Emmahaven (Telukbayur) Padang.

'Ular Besi Di Persimpangan' Dan Harapan Baru Kereta Api Di Sumatera Barat

'Ular Besi Di Persimpangan' 
Dan Harapan Baru Kereta Api  Di Sumatera Barat 
(2 dari 2 Tulisa Berkaitan)

'Ular Besi Di Persimpangan
Sinyal buruk pokok pertimbangan 'pilot project sistemic linkage' yang dulu masa Belanda menjadi perhatian dan kajian terdepan bermakna; jika salah satu dari ketiga pembangunan (1. Tambang Batubara Ombilin (Ombilin Mining Coal), 2. Jaringan Kereta Api dan 3. Pelabuhan Teluk bayur) tersebut gagal, maka berdampak buruk atau hilanglah fungsi bagian lainnya. Oleh karena itu siapapun yang mengerjakannya harus sekaligus jika diinginkan semuanya berfungsi dan berdaya guna.Tampak hal itu benar-benar terjadi dan dialami dampaknya bahkan tidak satu-dua bagian, tapi pada ketiganya.

KERETA API ANGKUTAN MASSAL PERINTIS DI SUMATERA BARAT

Kereta Api Angkutan Massal Perintis 
Di Sumatera Barat
 (1 dari 2 tulisan terkait)

A.Sekilas Pembangunan Perkeretaapian Di Indonesia (Hindia Belanda)
Kereta api di Hindia Belanda (Indonesia sekarang) dimulai oleh N.V. NISM di daerah Jawa Tengah. Pembangunan diawali pencangkulan tanah pertama oleh Gubernur Jenderal tanah jajahan pada tanggal 7 Juni 1864 yang berlokasi di desa Kemijen (sekarang Stasiun Gudang Semarang). Pelaksanaan proyek pembangunan dipimpin Baron Sloet Van den Beele (1886-1866). Berselang tiga tahun kemudian jalur Semarang-Temanggung sepanjang 25 km dioperasikan sebagai angkutan umum. Meski menghadapi berbagai kendala pengerjaan terutama masalah pendanaan. Pembangunan jalur kereta api terus berlanjut dan sampai ke Yogykarta pada tanggal 10 Juni 1872.[1]
N.V. NISM berada di depan dalam pembangunan rel periode awal ini. Perusahaan ini membangun jalur rel Semarang-Surakarta-Jogja. Langkah N.V. NISM disusul 21 perusahaan kereta api lainnya. Satu diantaranya dari perusahaan pemerintah yaitu Staatsspoorwegen/SS. Dari ke 21 perusahaan kereta api itu pun 17 perusahaan tercatat memiliki manajemen dan perlatan yang berbeda.[2] Namun tidak dapat di sanksikan periode ini teknologi uap sedang berkembang pesat. Dengan demikian sudah jelas lokomotif uap tampil sebagai tonggak sejarah perkeretaapian di belahan dunia manapun. Sampai akhir Perang Dunia II terdapat 982 lokomotif dari 69 jenis.[3]

Cerita Sejarah Orang Rantai I (Bagian Ketiga)

ORANG RANTAI: DARI PENJARA KE PENJARA
(Bagian Ketiga: Hiburan)

”Orang hukuman dari penjara Muaro Padang ada wanita juga”, Jij(Anda), pikir apa lagi ha...? Napi wanita sedikit yach..yach...? Jadi rebutan, bisa terjadi yang tak elok. Jadi apa usul Jij (Anda) lagi? Ambil orang hukuman dari Jawa saja, bawa gamelan dari Jawa Tengah, dikapalkan dari pelabuhan Semarang”. Goed (bagus), goed, goed, Jij punya usul. Ik mau pikir dulu”. Begitulah percakapan Petinggi Belanda, Tuan Asisten Resident dengan Tuan Besar Ombilin.
Hiburan... hiburan... sambil mengangguk-anggukkan kepala, Tuan Asisten Resident berpikir dari mana uang dianggarkan untuk mendatangkan hiburan. Bak makan buah si malakama. Jika hiburan tidak didatangkan, sudah pasti kuli-kuli akan kabur melarikan diri dari kota yang sepi dan kerja keras tanpa henti. Lalu kalau mereka semuanya kabur, arang tidak bisa keluar, kereta api di Jawa akan berhenti, kapal-kapal uap juga tidak akan berlayar, membawa hasil bumi Indonesia ke negeri induk. Rugi tokh, pikirnya lebih lanjut. Dan lebih gawat lagi, kalau Ik dipecat dari jabatan atau dimutasikan ke daerah lain oleh atasan.  Belum tentu Ik mendapat gaji lebih banyak, apalagi kalau dipindahkan ke daerah miskin. Tentu saja Ik harus mengencangkan ikat pinggang, tidak bisa plesiran setiap minggu atau liburan ke Eropa. Sawahlunto memang sulit diurus karena kuli-kuli itu, tetapi tokh juga mendatangkan banyak uang.  Di tengah pikirannya yang berkecamuk itu, akhirnya ia mendapat ide untuk merundingkan masalah ini dengan Tuan Besar tambang keesokan harinya. Dalam Vergadering (rapat) besok harus diputuskan segera masalah yang urgen ini, katanya.
Akhirnya, sekitar awal abad ke 20, seperangkat gamelan didatangkan oleh Residen Belanda di Semarang. Orang-orang perantaian tentulah merasa senang. Denting-denting lembut gamelan Jawa mengalun di hari libur akhir pekan. Akan tetapi nampaknya seperangkat gamelan untuk 2.000 orang perantaian tentu tidak cukup. Orang-orang tentu juga perlu ’cuci mata’, dan itupun terpikirkan pula oleh para petinggi Belanda yang juga membutuhkan hiburan dengan membangun rumah bola atau yang disebut societeit Glϋck Auf.
Jika gamelan tidak cukup, maka hiburan seperti ronggeng, tandak serta kuda kepang juga disediakan pada tahun-tahun kemudian. Tentunya dengan alasan agar kuli-kuli perantaian yang bekerja dan juga kuli kontrak dari pulau Jawa akan merasa betah di Sawahlunto. Seperti biasa ronggeng, tandak atau kuda kepang dipertontonkan setiap akhir pekan. Misalnya ronggeng. Ronggeng ini disertai dengan para penari cantik, muda dan umumnya memakai susuk, dengan tujuan mempercantik diri di hadapan para penontonnya. Susuk-susuk yang dipakai berupa butiran emas, intan atau mutiara yang dipasang oleh dukun pemberi susuk di bagian-bagian  tertentu tubuh mereka.
Malam minggu adalah malam hiburan yang ditunggu-tunggu perantaian. Malam hiburan, menikmati alunan lembut gamelan atau menikmati penari-penari ronggeng yang cantik dan genit. Semakin larut malam semakin seru dan memanas suasananya. Kenapa? Karena para kuli saling berlomba menggaet penari ronggeng. Menggaet mereka, artinya harus siap sedia uang. Uang premi yang diperoleh dihamburkan untuk menggaet peronggeng. Ada yang melipatgandakan uang selipannya, disusul oleh perantaian lainnya yang menyelipkan uang lebih banyak lagi dengan harapan ronggeng akan terus bersamanya. Mereka yang curang menahan dulu mengeluarkan uang sebagai saweran. Setelah uang teman-teman lainnya sesama kuli napi semakin menipis atau telah habis, barulah ia muncul dengan selipan uang lebih banyak. Ia girang sebagai pemenang dan dapat dengan leluasa berpesta pora dengan penari sampai larut malam.
Harapan-harapan untuk menikmati hiburan tak dapat dilalui seperti seindah khayalan. Para pesaing yang lebih kuat muncul.  Hukum rimba pun berlaku. Siapa yang kuat itulah pemenang. Diam-diam seorang perantaian, berperawakan tegap, kekar dengan muka sedikit masam turun ke tengah arena. Tanpa basa-basi, lalu menarik pundak temannya yang sedang asyik bergoyang dengan ronggeng. Ia terseret ke belakang hingga hampir saja terjatuh. Posisinya pun digantikan. Kejadian itu mengundang tertawaan dan teriakan-teriakan perantaian lain yang membuat telinga panas.
Siapapun diperlakukan seperti itu, tentu tidak menerima, meskipun yang sedang dihadapi adalah teman sesama narapidana. Ia juga sedang berhadapan dengan seorang narapidana yang dikenal keras dan kasar. Keributan dan baku hantam pun tidak dapat dihindari. Suasana jadi kacau. Melihat hal itu kuli-kuli napi lainnya ikut melibatkan diri karena ada diantara mereka yang sudah merasa bersaudara ketika tunggal sakapal atau sebagai teman karib. Sipir penjara dan morsose bergerak cepat memerintahkan dan menggiring orang tahanan itu dengan senjata masuk ke sel masing-masing dan kembali dipasangkan rantai di kaki mereka dengan  bola-bola besi berat. 
Dalam kondisi kacau itu, ada saja yang mencoba-coba mengambil kesempatan untuk melarikan diri, menembus barisan morsose-morsose yang lengkap dengan senjatanya. Perantaian yang berusaha melarikan diri, ditangkap. Usaha melarikan diri dan membuat keributan itu dianggap kesalahan besar. Keesokan hari, mereka akan menerima hukuman cambuk rotan berpuluh kali sampai babak belur di sekujur tubuh. Mencambuk sampai babak belur memang harus dilakukan, perintah Direktur Departemen Kehakiman dari Batavia. Mengapa? Supaya ia jera melakukan kesalahan lagi.
Menikmati penari-penari ronggeng yang cantik dan menggemaskan memang hiburan tersendiri di akhir pekan. Tetapi ada juga hiburan lain yang tak kalah serunya. Judi. Judi dimana-mana pun memang dibolehkan Belanda. Ini obat mujarab mengikat orang-orang untuk tetap betah bekerja, apalagi kuli-kuli kontrak. Di mana saja di Hindia-Belanda, para petinggi Belanda mengizinkan kuli-kuli untuk bermain judi. Di Sawahlunto, kota industri, judi memang hiburan menyenangkan dan membawa malapelataka. Judi memang membawa banyak harapan. Orang bisa berkhayal untuk menjadi kaya mendadak karena judi, akan tetapi orang juga mendadak babak belur karena berkelahi waktu permainan judi atau jatuh melarat. Bagi perantaian sudah tidak menjadi masalah, mau miskin atau mau kaya, sama saja, karena ’masuak mudo kalua tuo’ (masuk ke Sawahlunto sewaktu muda dan keluar sudah tua) dan kemudian meninggalkan dunia fana. Mereka tidak akan memikirkan masa depan, karena masa depan itu sendiri sudah hilang, hilang ditelan lamanya hukuman kerja paksa.
Sementara para perantaian bersuka ria menghibur diri, di rumah bola Glϋck Auf, meneer dan mevrouw (Tuan dan Nyonya) serta noni-noni Belanda juga menikmati hiburan. Dari kejauhan, terdengar alunan musik yang dibawakan oleh kelompok band Ombilin yang sengaja didirikan untuk menghibur para tuan dan nyonya. Bernyanyi, berdansa sambil minum-minum adalah hiburan pengisi hari libur diakhir pekan. Satu persatu botol-botol anggur putih dan anggur merah dituangkan para jongos yang berdandan rapi. Tambah lagi Tuan? Tambah Nyonya? Begitu sapaan para jongos --yang sudah diberi latihan tata cara menegur tamu-tamu kulit putih-- yang berjalan mengelilingi tamu-tamu rumah bola yang semakin ramai. Semakin larut malam, semakin banyak botol-botol minuman yang sudah kosong, semakin tidak teratur kata-kata yang terucap oleh para peminum. Mereka mulai mabuk.  
Para penari ronggeng yang cantik dan harapan-harapan untuk menang dalam permainan judi itu hanyalah hiburan sejenak saja. Rupanya itu tidak cukup. Hiburan lain masih harus dicari? Itulah Anak Jawi. Apa itu Anak Jawi? Begini ceritanya. Anak Jawi adalah semacam istilah untuk laki-laki muda yang disayangi oleh para perantaian. Perantaian suka sesama sejenisnya. Ini bukan penyakit baru yang muncul di Sawahlunto saja, tetapi sudah dibawa sejak mereka masih menjalani hukuman di penjara-penjara Glodok dan Cipinang di Batavia.
Sebagai laki-laki dewasa yang normal tentu memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Bukankah itu juga  bagian dari kebutuhan kehidupan manusia? Tetapi apa mau dikata. Di tambang Ombilin, wanita langka. Dunia tambang, dunia laki-laki. Berbulan-bulan dan bertahun-tahun hidup dengan kondisi yang kering kerontang, tidak ada hiburan ini, berbagai cara pun ditempuh untuk memenuhi hasrat kelelakian mereka. Tidak ada wanita, sesama laki-laki pun jadi.
Inilah hiburan lain, ketika menghadapi kerja yang berat. Ada yang dikasih dan ada yang mengasihi, ada harapan dan yang ada pula yang mengharap, sebuah naluri manusia yang tak lekang dipanas dan tak lapuk di hujan. Hiburan di dalam lobang tambang pun terjadi. Jika perantaian masuk dalam perut bumi, berbaring berjejer-jejer memotong batubara dengan belincong, menegangkan dan perlu rileks. Di sinilah banyak hal yang sulit diduga, terjadi.
Suatu hari, Kang Amat mendekati Rusman, teman sekerjanya yang kira-kira baru dua bulan memasuki lobang. Rusman, seorang perantaian dari sebuah desa dari Jawa Tengah dibawa Belanda ke Sawahlunto untuk menjalani hukumannya sebagai seorang yang dipersalahkan Kepala Desanya sebagai pembunuh.  Rusman berbadan kecil, agak lemah berwajah tampan. Kelihatan sekali bahwa ia bukan tipe laki-laki pekerja kasar. Kang Amat sudah menaruh perhatian, pertama kali ia melihat Rusman memasuki lobang. Rusman perlu dilindungi, katanya. Bermula dari rasa kasihan, rasa melindungi dan kemudian beralih ke rasa sayang seperti ke lawan jenis, akhirnya, jadilah Rusman sebagai Anak Jawi. Kang Amat butuh hiburan. Ia memberi kode ke Rusman, dan kemudian menarik tangannya ke tempat yang gelap. Di sanalah Rusman pertama kali merasakan sentuhan-sentuhan lembut di badannya, wajahnya dan seterusnya, sampai kemudian ia tersentak ketika langkah-langkah tegap mandor menghampiri mereka.  
Apakah ini semacam hiburan bagi Rusman? Bagi Kang Amat, jelas merupakan hiburan, suatu hasrat lama yang sudah tak terbendung. Hatinya yang gersang bertahun-tahun, kini berbunga-bunga. Ada orang yang disayangi. Bagi Rusman, pengalaman pertama ini membuatnya bingung. Semalaman ia tidak bisa tidur. Membalikkan badan ke kiri dan ke kanan, perasaan gundah bercampur takut menghantuinya. Jika tawaran berikutnya ditolak, pastilah dirinya tak terlindungi. Bisa nyawanya melayang. Membiarkan Kang Amat bersikap lain kepadanya, tentu tidak bisa ia terima secara wajar. Pilihan yang sulit, pikirnya. Akhirnya, demi untuk melindungi diri, ia menerima Kang Amat sebagai ’partner’nya. Pada hari-hari berikutnya, jadilah Rusman, perantaian yang mendapat perlakuan istimewa Kang Amat. Jadilah ia sebagai perantaian yang tidak perlu bekerja berat seperti teman-temannya yang lain. Peduli amat jadi Anak Jawi, yang penting kerja ringan, dapat rokok, makanan dan diri terlindung, katanya sambil berguman setiap kali ia akan memasuki lobang.  
Hiburan semacam ini sulit bagi mandor mencegahnya,  apakah mandor besar, orang Eropa atau mandor kecil, pribumi. Sambil menerawang jauh, Tuan Mandor Wijshijer, Indo-Eropa, ibunya dari Nias dan ayahnya dari Jerman yang tinggal di kota tambang Heerlen, Belanda mulai bercerita tentang Anak Jawi. Katanya, ”ya saya tahu itu, tetapi saya tak bisa buat apa-apa ya. Saya hanya bisa menutup muka dengan tangan begini,” sambil menunjukkan bagaimana jari-jari tangannya menutup mukanya. Ia melihat persis bagai-mana kejadian itu, tetapi tidak berani bertindak, karena takut diserang oleh anak buahnya sendiri yang bisa jadi lebih kalap,  jika dicegah.
Bagaimana dengan Mandor kecil yang diangkat Belanda dari kalangan perantaian sendiri? Mari kita ikuti percakapan sesama perantaian sendiri dan pendapat mereka tentang mandor kecil. Seorang perantaian tiba-tiba membuka percakapan. ”Ahh...! masa iya, kamu bisa melakukan itu saat bekerja”. Celutuk salah seorang kuli napi menanggapi. ”E....ala....! koe nggak percaya”. ”Tau nggak, mandorku itu Mamang Mandor Bagus.” Digelari Mandor Bagus, karena memang ”bagus” pengawalannya menurut pengakuan perantaian. Buktinya aku dibiarkan saja menggarap ”Anak Jawi”-ku”. ”Enak ya...! kalau gitu mandormu”, Jawab kuli lainnya. ”Coba saja kalau seandainya mandor kita ditugaskan bergilir sebulan sekali pada setiap kelompok kerja kita”. ”Pasti kita dapat enaknya”. Kata seseorang kuli berkeluh kesah. ”Enakmu....!” sela kuli napi yang dapat Mamang Mandor Bagus.
”Ah.....!!! biarkan saja, yang penting produksi tidak berkurang. Memang sebuah beban kerja yang berat yang harus diselesaikan setiap harinya. Tapi jangan coba-coba dibagian lobang lainnya, mandornya bisa sangat marah. Karena dianggap buang-buang waktu dan mempengaruhi jumlah produksi batu bara. Kalau seperti kuli-kuli paksa itu dapat dihadiahi hukuman cambuk rotan berkali-kali bahkan berpuluh-puluh kali, atau juga beban kerja ditambah. Untuk mendapatkan kesempatan seperti itu memang tidak mudah bagi mereka. Terkadang mereka tidak segan-segan menyisihkan uang gaji mereka guna menyogok mandor.
Anak Jawi” juga menjadi ajang rebutan dan monopoli seseorang. Persaingan memperoleh ”Anak Jawi” kadangkala memicu keributan dan pertengkaran dikalangan ”Orang Rantai”. Ketika ”Anak Jawi” yang selama ini menjadi teman kencan seorang kuli napi disenangi atau dilirik buruh lain bisa menimbulkan api kecemburuan yang berujung pada pertengkaran dan perkelahian, bahkan nyawa melayang. 
Hiburan...hiburan...hiburan... main judi, menonton ronggeng habis duit. Hiburan Anak Jawi ada resiko. Semua hiburan berakhir dengan bakuhantam saja. Hiburan apalagi ya, pikir Tuan Besar Ombilin. Sejak dibangun ’Tambang Panas’ di kampung Durian, hiburan di dalam tambang sudah bervariasi. Perantaian dilatih bermain sandiwara. Alhasil, pertunjukkan berbagai sandiwara pun membawa efek positif, selain menjadi hiburan, juga menyalurkan hobi, dan lebih penting lagi menaikkan status mereka di mata masyarakat luas. Bagaimanakah kisah perantaian di Tambang Panas ini, dapat pembaca di Buku Kedua.

 ************
Cerita Sejarah Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara
Terbit Tahun 2007 Akhir (Oleh Pemerintah Kota Sawahlunto
UPT. Peninggalan Besejarah dan Permuseuman
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Sawahlunto

Dicetak Oleh:
Penerbit Ombak Yogyakarta
 
Tim Peneliti & Penulis Diketuai oleh:
Erwiza Erman (Sekaligus Editor)
Yonni Saputra, SS
Dedi Yolson, SS
Adrial, SS 
Amitri Yulia, SS
Rosita Cahyani, S.Sos
Desi Darmawati, SS
Febri Linda Wati, SS

SEJARAH UANG DAN PEMALSUANNYA

MENGENAL UANG KUNO
SAMPAI RUPIAH UANG REPUBLIK INDONESIA[1]


KILASAN SEJARAH UANG
Pada masa silam, uang belum dikenal sebagai alat tukar karena tidak ada nilai nominalnya. Masyarakat kepulauan pasifik misalnya, bahkan dibeberapa daerah kepulauna di Indonesia pernah menggunakan taring ikan hiu sebagai alat tukar. Di belahan kutub, masyarakat Eskimo menggunakan alat tukar berupa kulit dan gigi anjing laut. Di pedalaman kawasan Baduy Jawa Barat masyarakatnya pernah menggunakan garam sebagai alat penukaran. Namun juga ada yang menggunakan lempengan tembakau, potongan kayu, bijih besi dan batu permata.

Cerita Sejarah Orang Rantai I (Bagian Kedua)

ORANG RANTAI: DARI PENJARA KE PENJARA
(Bagian Kedua-Dari Penjara ke Lobang dan Kembali ke Penjara)

”Kita dapat kuli-kuli baru”, dengan muka berseri-seri penuh semangat, Kepala tambang yang digelari Tuan Besar Ombilin mengawali pembicaraan dengan kepala Magistrate dan Kontrolir Belanda. Kita tak perlu tunggu lama tokh? Waah... waah... orang-orangnya gemuk ya, kuat masuk lobang”, lanjutnya meyakinkan lawan bicaranya di ruangan kantor utamanya di Saringan. ”Kita tak perlu melatih mereka, cukup dua atau tiga hari saja, kasih masuk mereka ke lobang selama 3 jam, keluarkan lagi. Hari berikutnya masukkan lagi sampai 5 jam. Hari ketiga, masuk kerja, jangan tunggu lama.

1894

Label Steam Generator (Generator Uap) tahun 1894 buatan Jerman hadir di Sawahlunto. Teknologi uap dalam sistim memasak skala besar untuk melayani makan ribuan buruh tambang Ombilin era kolonial Belanda. Sampai saat ini masih dapat di saksikan di komplek Musuem Goedang Ransoem Kota Sawahlunto, Sumatera Barat-Indonesia