JEJAK DE GREVE DALAM KENANGAN SAWAHLUNTO

Judul Buku:
Jejak de Greve Dalam Kenangan Sawahlunto
Penulis: Yonni Saputra
Tata letak & Sampul: 
Dian Qamajaya
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan I: Desember, 2012
Halaman: xiv + 99 hlm
Dimensi: 11.5 x 17 cm

Copyright©Pemkot Sawahlunto, 2012
Diterbitkan oleh:
Bidang Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto, Jl. Diponegoro Kel. Air Dingin, Kec. Lembah Segar  Kota Sawahlunto, Sumatra Barat.

Sinopsis:
Willem Hendrik De Greve, putra dari ‘negeri raja’, Franeker Belanda. Datang ke Hindia Belanda mengemban tugas penyelidikan dan penelitian berbagai kandungan mineral bahan tambang. Sebagai ahli geologi, beberapa tempat di Hindia Belanda pernah dalam cakupan tugasnya dibidang pertambangan. Ia menapakkan kaki di Ombilin Sawahlunto dalam penelitian batubara.
Dialah kontributor utama menguak ‘emas hitam’. Kekayaan  sumber daya energi yang tersimpan di bumi Sawahlunto. De Greve, si jenius yang mengabdikan diri kepada bangsa sepenuh  jiwa raga. Usaha dan kerja kerasnya dalam pencarian batubara Sawahlunto diawali dengan menghiliri sungai Ombilin hingga Sawahlunto dan Sijunjung di Sumatera Barat.
Kiprah dan semangat mudanya di Ombilin berakhir tragis di Batang Kuantan. Ia tewas dalam kecelakaan saat berhadapan sungai liar berarus buas itu. Kepergiannya menjadi daya dorong begitu dahsyat. Banyak orang berkeinginan melanjutkan dan mewujudkan impiannya. Kerja keras, keuletan serta ketekunannya menjadi letupan energi perubahan. Sebuah Kota Industri Tambang Batubara telah dilahirkannya kemudian hari. Kota Sawahlunto yang tumbuh di  Pedalaman Minangkabau itu menjadi pemicu berbagai perubahan di Sumatera Barat. Hingga satu  seperlima abad (120 tahun lebih) hingga hari ini. Batubara Ombilin-Sawahlunto tetap berkontribusi dalam perekonomian dan pembangunan di alam Indonesia. [...]



LANGKAH AWAL PENGEMBANGAN TALEMPONG BATUANG SAWAHLUNTO


Oleh: Yonni Saputra, SS
Pengantar
Talempong Batuang
di Sungai Cacang Silungkang Oso-Sawahlunto
Alat musik talempong terdiri dari 3 (tiga) kata yang memiliki arti dan makna masing-masingnya. Alat dalam hal ini dimaknai suatu benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu; perkakas, perabot, yang dipakai untuk mencapai maksud.[1] Kata Musik diartikan sebagai ilmu atau seni menyusun nada atau suara di urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian).[2] Dari sudut memainkannya secara umum dikenal alat musik tiup , alat musik pukul,  alat musik petik alat musik gesek. Kemudian Talempong adalah alat musik pukul tradisional khas Minangkabau. Alat musik talempong ini bernada diatonis (do, ro mi, fa, so, la, si, do).[3] Bentuk talempong hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan.
Talempong berbentuk lingkaran dengan diameter 15 sampai 17,5 centimeter, pada bagian bawahnya berlubang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai sasaran dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyinya dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.[4]
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Untuk memainkannya butuh kejelian dimulai dengan tangga nada do dan diakhiri dengan si dengan akord  serupa dengan memainkan piano.[5]
Talempong terbuat dari bahan kuningan sebagaimana beredar dan digunakan secara umum ditengah masyarakat kesenian. Namun ada pula talempong terbuat dari kayu dan batuTidak lazim dan terbilang langka memang, talempong dibuat dari sejenis bebatuan dengan jumlah jumlah 6 (enam) buah seperti halnya yang terdapat  di 38 Km arah utara kota Payakumbuh dan 47 Km dari Sarilamak kabupaten 50 Kota. Talempong berbahan batu ini menurut masyarakat sudah sudah ada sejak dahulunya.[6]
Sawahlunto memberikan daftar inventaris jenis talempong dengan bahan bambu, yang lebih dikenal dengan talempong batuang. Sepertinya hal talempong batu di Payakumbuh dan 50 kota yang unik. Talempong batuang yang terdapat di Sawahlunto juga merupakan jenis talempong yang unik dan cukup langka keberadaannya ditengah masyarakat. Sejauh data lapangan yang diperoleh, saat ini hanya 1 (satu) orang atau keluarga yang menekuni pembuatan sampai memainkan alat musik yang disebut talempong batuang ini.
Bahkan bapak Umar dimasa lalu menyandingkan talempong batuang dengan tradisi dan kesenian marunguih di nagari Silungkang Kota Sawahlunto. Tradisi dan kesenian marunguih sendiri beberapa puluh tahun belakangan pun akhirnya tenggalam dan hilang ditengah masyarakat Silungkang. Hingga saat sekarang marunguih kembali hanya bisa dilakoni oleh bapak Umar dalam bentuk kesenian. Marunguih sendiri menurut cerita masyarakat adalah tradisi maratok Silungkang tuo.
Kembali ke persoalan talempong batuang. Sebagai bagian dari kesenian, alat musik talempong batuang yang terdapat di Sawahlunto sudah berada di ambang kepunahan. Indikasi nyata adalah minimnya sumber daya yang mampu membuat, memiliki, memainkan talempong batuang saat sekarang. Persoalan lain barangkali karena alat musik talempong batuang itu sendiri tidak memiliki nada standar sebagaimana dikenal umum dengan nada diatonis (do, re, mi, fa, so, la, si, do). Talempong batuang diketahui hanya memiliki nada tradisi dengan jumlah 5 (do, re, mi, fa, so) sampai 6 (do, re, mi, fa, so, la) nada saja. Hal itu tentu tidak lazim dalam pengetahuan umum sekarang. Sehingga diperlukan pengetahuan dan kemampuan khusus agar dapat memainkannya.