Showing posts with label Politik Pembentukan Kampung Di Negeri ‘Laskar Pelangi’. Show all posts
Showing posts with label Politik Pembentukan Kampung Di Negeri ‘Laskar Pelangi’. Show all posts

Politik Pembentukan Kampung Di Negeri ‘Laskar Pelangi’

Politik Pembentukan Kampung
Di Negeri ‘Laskar Pelangi’ Masa Kolonial Belanda

Karya fenomenal yang kontekstual dengan kehidupan sosial Bangka-Belitung dalam kepungan industri timah trilogi Novel Laskar Pelangi. Karya kesaksian dan pengalaman hidup itu semakin mempopulerkan dan melambungkan ‘pulau timah’ Bangka-Belitung. Banyak mata, telinga dan perhatian ditujukan ke Bangka-Belitung daerah kepulauan yang kaya timah itu dalam beberapa tahun belakangan. Apalagi ditambah sentuhan dan garapan seorang sineas Riza, dengan mengangkat novel laskar pelangi ke media audio-visual layar lebar, semakin menegaskan lagi image dan pesan tentang Bangka-Belitung.
Saya dengan pembaca, juga seperti orang kebanyakan, sebelumnya mengenal Bangka-Belitung tanah kelahiran Andrea Hirata penulis trilogi novel (Laskar pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor), hanya sebagai pulau penghasil timah. Lebih dari itu? Pelajaran disekolah atau uji pertanyaan saat ujian dibangku sekolah tak lebih dari sekedar pertanyaan timah terdapat di...... yang jawabannya adalah Bangka-Belitung, atau sebaliknya Bangka-belitung merupakan pulau penghasil..... yang jawabannya juga sudah pasti timah. Padahal penyelidikan awal timah baru mulai diselidiki tahun 1852, itupun gagal. Hampir sama dengan Sawahlunto yang dikenal hanya daerah penghasil batubara dengan kwalitas kalori tertinggi di negeri ini[1].
Begitulah Bangka-Belitung daerah kaya timah yang diekploitasi sejak era Belanda ini mendapat porsi dalam ruang sosialisasi lewat mata pelajaran geografi. Dalam sejarah nasional Indonesia nasib yang sama juga dialami, seperti yang diungkapkan Erwiza Erman penulis buku; Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Sebenarnya bukan hanya Bangka-Belitung maupun Sawahlunto mengalaminya. Banyak daerah dalam kondisi serupa. Inilah akibatnya kalau sejarah berada dalam kontrol pemegang kekuasaan.
Sesungguhnya apa yang diperlihatkan Andrea Hirata dan Riri Riza kepada kita, hanyalah akumulasi dari periode panjang masalalu (sejarah) Bangka-Belitung. Sejak Belanda dengan segala pengaruhnya menancapkan kekuasaannya secara resmi 1853 di pulau timah itu. Sejak itu pula beban/social cost untuk generasi berikutnya dirintis, sadar atau tidak. Apa yang dialami generasi ‘laskar pelangi’ ketika industri timah dikelola PN Timah di era kemerdekaan RI menjadi bukti.
Kalau saja ditarik jauh kebelakang, melihat bagaimana Bangka-Belitung pada masa kesultanan sampai Belanda masuk. Tdak perkara mudah juga bagi Belanda mengahadapi kekuatan militer kesultanan dengan perang gerilyanya yang membuat Belanda repot. Lalu strategi apa yang diterapkan Belanda untuk dapat menguasai kesultanan Bangka-Belitung denga wilayahnya. Semua itu dibuka lebar-lebar oleh  Erwiza Erman dalam bukunya; Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung.
Disini kita tidak akan membahas panjang lebar perihal isi buku yang diterbitkan penerbit Ombak, Yogyakarta tahun 2009 dengan jumlah halaman xvi+289 itu. Ada baiknya pembaca memperoleh dan memiliki buku tersebut. Karena dengan buku itu pembaca dapat mengetahui mulai sejarah Bangka-Belitung. Dalam buku itu terpapar Bangka-Belitung di masa kesultanan, hingga Belanda masuk dan menancapkan kekuasaan dengan segala pengaruhnya hingga menguasai timah dan mewariskan hingga masa kemerdekaan Indonesia sampai sekarang. Sebuah kajian komprehensif tentang sejarah Bangka_Belitung dengan timahnya, termasuk ke persoalan tambang timah legal dan ‘perkara gelap’ alias kegiatan ilegal dan penyeludupan timah disajikan begitu lugas.