Showing posts with label Cerita Sejarah Orang Rantai: Dari Penjara Ke Penjara (Bagian Ketiga). Show all posts
Showing posts with label Cerita Sejarah Orang Rantai: Dari Penjara Ke Penjara (Bagian Ketiga). Show all posts

Cerita Sejarah Orang Rantai I (Bagian Ketiga)

ORANG RANTAI: DARI PENJARA KE PENJARA
(Bagian Ketiga: Hiburan)

”Orang hukuman dari penjara Muaro Padang ada wanita juga”, Jij(Anda), pikir apa lagi ha...? Napi wanita sedikit yach..yach...? Jadi rebutan, bisa terjadi yang tak elok. Jadi apa usul Jij (Anda) lagi? Ambil orang hukuman dari Jawa saja, bawa gamelan dari Jawa Tengah, dikapalkan dari pelabuhan Semarang”. Goed (bagus), goed, goed, Jij punya usul. Ik mau pikir dulu”. Begitulah percakapan Petinggi Belanda, Tuan Asisten Resident dengan Tuan Besar Ombilin.
Hiburan... hiburan... sambil mengangguk-anggukkan kepala, Tuan Asisten Resident berpikir dari mana uang dianggarkan untuk mendatangkan hiburan. Bak makan buah si malakama. Jika hiburan tidak didatangkan, sudah pasti kuli-kuli akan kabur melarikan diri dari kota yang sepi dan kerja keras tanpa henti. Lalu kalau mereka semuanya kabur, arang tidak bisa keluar, kereta api di Jawa akan berhenti, kapal-kapal uap juga tidak akan berlayar, membawa hasil bumi Indonesia ke negeri induk. Rugi tokh, pikirnya lebih lanjut. Dan lebih gawat lagi, kalau Ik dipecat dari jabatan atau dimutasikan ke daerah lain oleh atasan.  Belum tentu Ik mendapat gaji lebih banyak, apalagi kalau dipindahkan ke daerah miskin. Tentu saja Ik harus mengencangkan ikat pinggang, tidak bisa plesiran setiap minggu atau liburan ke Eropa. Sawahlunto memang sulit diurus karena kuli-kuli itu, tetapi tokh juga mendatangkan banyak uang.  Di tengah pikirannya yang berkecamuk itu, akhirnya ia mendapat ide untuk merundingkan masalah ini dengan Tuan Besar tambang keesokan harinya. Dalam Vergadering (rapat) besok harus diputuskan segera masalah yang urgen ini, katanya.
Akhirnya, sekitar awal abad ke 20, seperangkat gamelan didatangkan oleh Residen Belanda di Semarang. Orang-orang perantaian tentulah merasa senang. Denting-denting lembut gamelan Jawa mengalun di hari libur akhir pekan. Akan tetapi nampaknya seperangkat gamelan untuk 2.000 orang perantaian tentu tidak cukup. Orang-orang tentu juga perlu ’cuci mata’, dan itupun terpikirkan pula oleh para petinggi Belanda yang juga membutuhkan hiburan dengan membangun rumah bola atau yang disebut societeit Glϋck Auf.
Jika gamelan tidak cukup, maka hiburan seperti ronggeng, tandak serta kuda kepang juga disediakan pada tahun-tahun kemudian. Tentunya dengan alasan agar kuli-kuli perantaian yang bekerja dan juga kuli kontrak dari pulau Jawa akan merasa betah di Sawahlunto. Seperti biasa ronggeng, tandak atau kuda kepang dipertontonkan setiap akhir pekan. Misalnya ronggeng. Ronggeng ini disertai dengan para penari cantik, muda dan umumnya memakai susuk, dengan tujuan mempercantik diri di hadapan para penontonnya. Susuk-susuk yang dipakai berupa butiran emas, intan atau mutiara yang dipasang oleh dukun pemberi susuk di bagian-bagian  tertentu tubuh mereka.
Malam minggu adalah malam hiburan yang ditunggu-tunggu perantaian. Malam hiburan, menikmati alunan lembut gamelan atau menikmati penari-penari ronggeng yang cantik dan genit. Semakin larut malam semakin seru dan memanas suasananya. Kenapa? Karena para kuli saling berlomba menggaet penari ronggeng. Menggaet mereka, artinya harus siap sedia uang. Uang premi yang diperoleh dihamburkan untuk menggaet peronggeng. Ada yang melipatgandakan uang selipannya, disusul oleh perantaian lainnya yang menyelipkan uang lebih banyak lagi dengan harapan ronggeng akan terus bersamanya. Mereka yang curang menahan dulu mengeluarkan uang sebagai saweran. Setelah uang teman-teman lainnya sesama kuli napi semakin menipis atau telah habis, barulah ia muncul dengan selipan uang lebih banyak. Ia girang sebagai pemenang dan dapat dengan leluasa berpesta pora dengan penari sampai larut malam.
Harapan-harapan untuk menikmati hiburan tak dapat dilalui seperti seindah khayalan. Para pesaing yang lebih kuat muncul.  Hukum rimba pun berlaku. Siapa yang kuat itulah pemenang. Diam-diam seorang perantaian, berperawakan tegap, kekar dengan muka sedikit masam turun ke tengah arena. Tanpa basa-basi, lalu menarik pundak temannya yang sedang asyik bergoyang dengan ronggeng. Ia terseret ke belakang hingga hampir saja terjatuh. Posisinya pun digantikan. Kejadian itu mengundang tertawaan dan teriakan-teriakan perantaian lain yang membuat telinga panas.
Siapapun diperlakukan seperti itu, tentu tidak menerima, meskipun yang sedang dihadapi adalah teman sesama narapidana. Ia juga sedang berhadapan dengan seorang narapidana yang dikenal keras dan kasar. Keributan dan baku hantam pun tidak dapat dihindari. Suasana jadi kacau. Melihat hal itu kuli-kuli napi lainnya ikut melibatkan diri karena ada diantara mereka yang sudah merasa bersaudara ketika tunggal sakapal atau sebagai teman karib. Sipir penjara dan morsose bergerak cepat memerintahkan dan menggiring orang tahanan itu dengan senjata masuk ke sel masing-masing dan kembali dipasangkan rantai di kaki mereka dengan  bola-bola besi berat. 
Dalam kondisi kacau itu, ada saja yang mencoba-coba mengambil kesempatan untuk melarikan diri, menembus barisan morsose-morsose yang lengkap dengan senjatanya. Perantaian yang berusaha melarikan diri, ditangkap. Usaha melarikan diri dan membuat keributan itu dianggap kesalahan besar. Keesokan hari, mereka akan menerima hukuman cambuk rotan berpuluh kali sampai babak belur di sekujur tubuh. Mencambuk sampai babak belur memang harus dilakukan, perintah Direktur Departemen Kehakiman dari Batavia. Mengapa? Supaya ia jera melakukan kesalahan lagi.
Menikmati penari-penari ronggeng yang cantik dan menggemaskan memang hiburan tersendiri di akhir pekan. Tetapi ada juga hiburan lain yang tak kalah serunya. Judi. Judi dimana-mana pun memang dibolehkan Belanda. Ini obat mujarab mengikat orang-orang untuk tetap betah bekerja, apalagi kuli-kuli kontrak. Di mana saja di Hindia-Belanda, para petinggi Belanda mengizinkan kuli-kuli untuk bermain judi. Di Sawahlunto, kota industri, judi memang hiburan menyenangkan dan membawa malapelataka. Judi memang membawa banyak harapan. Orang bisa berkhayal untuk menjadi kaya mendadak karena judi, akan tetapi orang juga mendadak babak belur karena berkelahi waktu permainan judi atau jatuh melarat. Bagi perantaian sudah tidak menjadi masalah, mau miskin atau mau kaya, sama saja, karena ’masuak mudo kalua tuo’ (masuk ke Sawahlunto sewaktu muda dan keluar sudah tua) dan kemudian meninggalkan dunia fana. Mereka tidak akan memikirkan masa depan, karena masa depan itu sendiri sudah hilang, hilang ditelan lamanya hukuman kerja paksa.
Sementara para perantaian bersuka ria menghibur diri, di rumah bola Glϋck Auf, meneer dan mevrouw (Tuan dan Nyonya) serta noni-noni Belanda juga menikmati hiburan. Dari kejauhan, terdengar alunan musik yang dibawakan oleh kelompok band Ombilin yang sengaja didirikan untuk menghibur para tuan dan nyonya. Bernyanyi, berdansa sambil minum-minum adalah hiburan pengisi hari libur diakhir pekan. Satu persatu botol-botol anggur putih dan anggur merah dituangkan para jongos yang berdandan rapi. Tambah lagi Tuan? Tambah Nyonya? Begitu sapaan para jongos --yang sudah diberi latihan tata cara menegur tamu-tamu kulit putih-- yang berjalan mengelilingi tamu-tamu rumah bola yang semakin ramai. Semakin larut malam, semakin banyak botol-botol minuman yang sudah kosong, semakin tidak teratur kata-kata yang terucap oleh para peminum. Mereka mulai mabuk.  
Para penari ronggeng yang cantik dan harapan-harapan untuk menang dalam permainan judi itu hanyalah hiburan sejenak saja. Rupanya itu tidak cukup. Hiburan lain masih harus dicari? Itulah Anak Jawi. Apa itu Anak Jawi? Begini ceritanya. Anak Jawi adalah semacam istilah untuk laki-laki muda yang disayangi oleh para perantaian. Perantaian suka sesama sejenisnya. Ini bukan penyakit baru yang muncul di Sawahlunto saja, tetapi sudah dibawa sejak mereka masih menjalani hukuman di penjara-penjara Glodok dan Cipinang di Batavia.
Sebagai laki-laki dewasa yang normal tentu memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Bukankah itu juga  bagian dari kebutuhan kehidupan manusia? Tetapi apa mau dikata. Di tambang Ombilin, wanita langka. Dunia tambang, dunia laki-laki. Berbulan-bulan dan bertahun-tahun hidup dengan kondisi yang kering kerontang, tidak ada hiburan ini, berbagai cara pun ditempuh untuk memenuhi hasrat kelelakian mereka. Tidak ada wanita, sesama laki-laki pun jadi.
Inilah hiburan lain, ketika menghadapi kerja yang berat. Ada yang dikasih dan ada yang mengasihi, ada harapan dan yang ada pula yang mengharap, sebuah naluri manusia yang tak lekang dipanas dan tak lapuk di hujan. Hiburan di dalam lobang tambang pun terjadi. Jika perantaian masuk dalam perut bumi, berbaring berjejer-jejer memotong batubara dengan belincong, menegangkan dan perlu rileks. Di sinilah banyak hal yang sulit diduga, terjadi.
Suatu hari, Kang Amat mendekati Rusman, teman sekerjanya yang kira-kira baru dua bulan memasuki lobang. Rusman, seorang perantaian dari sebuah desa dari Jawa Tengah dibawa Belanda ke Sawahlunto untuk menjalani hukumannya sebagai seorang yang dipersalahkan Kepala Desanya sebagai pembunuh.  Rusman berbadan kecil, agak lemah berwajah tampan. Kelihatan sekali bahwa ia bukan tipe laki-laki pekerja kasar. Kang Amat sudah menaruh perhatian, pertama kali ia melihat Rusman memasuki lobang. Rusman perlu dilindungi, katanya. Bermula dari rasa kasihan, rasa melindungi dan kemudian beralih ke rasa sayang seperti ke lawan jenis, akhirnya, jadilah Rusman sebagai Anak Jawi. Kang Amat butuh hiburan. Ia memberi kode ke Rusman, dan kemudian menarik tangannya ke tempat yang gelap. Di sanalah Rusman pertama kali merasakan sentuhan-sentuhan lembut di badannya, wajahnya dan seterusnya, sampai kemudian ia tersentak ketika langkah-langkah tegap mandor menghampiri mereka.  
Apakah ini semacam hiburan bagi Rusman? Bagi Kang Amat, jelas merupakan hiburan, suatu hasrat lama yang sudah tak terbendung. Hatinya yang gersang bertahun-tahun, kini berbunga-bunga. Ada orang yang disayangi. Bagi Rusman, pengalaman pertama ini membuatnya bingung. Semalaman ia tidak bisa tidur. Membalikkan badan ke kiri dan ke kanan, perasaan gundah bercampur takut menghantuinya. Jika tawaran berikutnya ditolak, pastilah dirinya tak terlindungi. Bisa nyawanya melayang. Membiarkan Kang Amat bersikap lain kepadanya, tentu tidak bisa ia terima secara wajar. Pilihan yang sulit, pikirnya. Akhirnya, demi untuk melindungi diri, ia menerima Kang Amat sebagai ’partner’nya. Pada hari-hari berikutnya, jadilah Rusman, perantaian yang mendapat perlakuan istimewa Kang Amat. Jadilah ia sebagai perantaian yang tidak perlu bekerja berat seperti teman-temannya yang lain. Peduli amat jadi Anak Jawi, yang penting kerja ringan, dapat rokok, makanan dan diri terlindung, katanya sambil berguman setiap kali ia akan memasuki lobang.  
Hiburan semacam ini sulit bagi mandor mencegahnya,  apakah mandor besar, orang Eropa atau mandor kecil, pribumi. Sambil menerawang jauh, Tuan Mandor Wijshijer, Indo-Eropa, ibunya dari Nias dan ayahnya dari Jerman yang tinggal di kota tambang Heerlen, Belanda mulai bercerita tentang Anak Jawi. Katanya, ”ya saya tahu itu, tetapi saya tak bisa buat apa-apa ya. Saya hanya bisa menutup muka dengan tangan begini,” sambil menunjukkan bagaimana jari-jari tangannya menutup mukanya. Ia melihat persis bagai-mana kejadian itu, tetapi tidak berani bertindak, karena takut diserang oleh anak buahnya sendiri yang bisa jadi lebih kalap,  jika dicegah.
Bagaimana dengan Mandor kecil yang diangkat Belanda dari kalangan perantaian sendiri? Mari kita ikuti percakapan sesama perantaian sendiri dan pendapat mereka tentang mandor kecil. Seorang perantaian tiba-tiba membuka percakapan. ”Ahh...! masa iya, kamu bisa melakukan itu saat bekerja”. Celutuk salah seorang kuli napi menanggapi. ”E....ala....! koe nggak percaya”. ”Tau nggak, mandorku itu Mamang Mandor Bagus.” Digelari Mandor Bagus, karena memang ”bagus” pengawalannya menurut pengakuan perantaian. Buktinya aku dibiarkan saja menggarap ”Anak Jawi”-ku”. ”Enak ya...! kalau gitu mandormu”, Jawab kuli lainnya. ”Coba saja kalau seandainya mandor kita ditugaskan bergilir sebulan sekali pada setiap kelompok kerja kita”. ”Pasti kita dapat enaknya”. Kata seseorang kuli berkeluh kesah. ”Enakmu....!” sela kuli napi yang dapat Mamang Mandor Bagus.
”Ah.....!!! biarkan saja, yang penting produksi tidak berkurang. Memang sebuah beban kerja yang berat yang harus diselesaikan setiap harinya. Tapi jangan coba-coba dibagian lobang lainnya, mandornya bisa sangat marah. Karena dianggap buang-buang waktu dan mempengaruhi jumlah produksi batu bara. Kalau seperti kuli-kuli paksa itu dapat dihadiahi hukuman cambuk rotan berkali-kali bahkan berpuluh-puluh kali, atau juga beban kerja ditambah. Untuk mendapatkan kesempatan seperti itu memang tidak mudah bagi mereka. Terkadang mereka tidak segan-segan menyisihkan uang gaji mereka guna menyogok mandor.
Anak Jawi” juga menjadi ajang rebutan dan monopoli seseorang. Persaingan memperoleh ”Anak Jawi” kadangkala memicu keributan dan pertengkaran dikalangan ”Orang Rantai”. Ketika ”Anak Jawi” yang selama ini menjadi teman kencan seorang kuli napi disenangi atau dilirik buruh lain bisa menimbulkan api kecemburuan yang berujung pada pertengkaran dan perkelahian, bahkan nyawa melayang. 
Hiburan...hiburan...hiburan... main judi, menonton ronggeng habis duit. Hiburan Anak Jawi ada resiko. Semua hiburan berakhir dengan bakuhantam saja. Hiburan apalagi ya, pikir Tuan Besar Ombilin. Sejak dibangun ’Tambang Panas’ di kampung Durian, hiburan di dalam tambang sudah bervariasi. Perantaian dilatih bermain sandiwara. Alhasil, pertunjukkan berbagai sandiwara pun membawa efek positif, selain menjadi hiburan, juga menyalurkan hobi, dan lebih penting lagi menaikkan status mereka di mata masyarakat luas. Bagaimanakah kisah perantaian di Tambang Panas ini, dapat pembaca di Buku Kedua.

 ************
Cerita Sejarah Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara
Terbit Tahun 2007 Akhir (Oleh Pemerintah Kota Sawahlunto
UPT. Peninggalan Besejarah dan Permuseuman
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Sawahlunto

Dicetak Oleh:
Penerbit Ombak Yogyakarta
 
Tim Peneliti & Penulis Diketuai oleh:
Erwiza Erman (Sekaligus Editor)
Yonni Saputra, SS
Dedi Yolson, SS
Adrial, SS 
Amitri Yulia, SS
Rosita Cahyani, S.Sos
Desi Darmawati, SS
Febri Linda Wati, SS