Mengenang Sosok Willem Hendrik De Greve: Mijn Ingenieur Yang Mengantarkan Sawahlunto Menjadi Kota Modern Berwajah Indo Belanda (Eropa)

MENGENANG SOSOK Willem Hendrik De Greve:
MIJN INGENIEUR YANG MENGANTARKAN SAWAHLUNTO 
MENJADI KOTA MODERN BERWAJAH INDO BELANDA (EROPA)
Oleh: Yonni Saputra, SS

Sumber: 
Doc. Museum Sawahlunto
De Greve nama itu santer dan begitu akrab dalam dunia tambang batu bara Ombilin-Sawah Loento West Sumatra di Hindia Belanda (Indonesia sekarang) bahkan dunia. De Greve dengan nama utuh Willem Hendrik De Greve adalah putra Mr. F. Greve. Adalah sedikit keliru menyebut Willem Hendrik dengan panggilan De Greve. Ternyata De Greve adalah nama klan/marga dari ayahnya. Nama De Greve menunjukkan bahwa ia keturunan dari Mr.F. Greve. Tapi sudahlah kita dan banyak orang sudah terlanjur akrab mengenalnya dengan nama De Greve yang merupakan nama marga atau garis keturunnya.
De Greve dilahirkan 15 April 1840 di Franeker Nederlands. De Greve menempuh studi diploma 1855-1859 di Delft Akademi Kerajaan dan meraih gelar insinyur pertambangan dalam usia relatif muda 19 tahun. Setelah dua tahun belajar dan bekerja di berbagai tambang. Ia kemudian ditunjuk untuk menangani kajian berbagai penambangan di Hindia Belanda, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 14 Desember 1861.
Tidak berapa lama, sebelum menjalani tugasnya, pada 27 Desember 1861 De Greve mengakhiri masa lajang dengan menikahi, ELT Baroness yang lahir 6 Agustus 1839 dari Hoevell.  ELT Baroness merupakan putri W.R. Baron Hoevelinggi dan EJW Shutter. Dari istrinya ELT Barones yang terpaut umur satu tahun lebih tua dari De Greve, mereka dianugerahi tiga orang anak.
De Greve terus memantapkan karirnya dibidang geologi tambang. Agustus 1862 ketika kembali dari India, De Greve bersama kepala pertambangan C. De Groot van Embden di Buitenzorg (Bogor Jawa Barat), melakukan penyelidikan dan pemetaan berbagai jenis kandungan mineral di daerah ini. Pada tanggal 1September 1863 De Greve masih merupakan insinyur level ketiga dan pada tanggal 9 Desember 1865 menduduki insinyur kelas dua.
Kurun tahun 1864 De Greve ditempatkan di Pulau Banka. ia mendapati dan mendorong  beberapa tambang yang menguntungkan untuk dieksploitasi, seperti timah.  Pada tahun 1865 ia kembali ke Buitenzorg. Mengingat keberadaan bijih tembaga di pegunungan Padang Bovenlanden (Minangkabau) De Greve dikirim ke ke Fort de Kock (Bukittinggi).
Kita juga mengenal seorang Ir. C. De Groot, ahli tambang yang melakukan penyelidikan akan keberadaan batu bara di daerah Ombilin dan Sijunjung pada tahun 1858. Kalau demikian De Groot sudah mengawali sembilan tahun lebih dahulu dari de Greve.
Tapi kenapa De Greve begitu dikenal, padahal bukan hanya ia yang pernah melakukan penyelidikan dan ekplorasi kandungan batu bara di jalur lempeng Ombilin. Sembilan tahun setelah penyelidikan De Groot, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan bertarikh 26 Mei 1867 yang berisikan perintah untuk menugaskan Willem Hendrik De Greve sebagai seorang ahli geologi untuk melakukan penyelidikan lebih detail.
Surat Keputusan  Gubernur Jenderal Hindia Belanda menjadi titik tolak sang geolog muda tersebut menuju Padangche Bovenlanden di Hindia Belanda (Indonesia), untuk bertugas melakukan penyelidikan dan ekplorasi detail endapan kandungan batu bara di Ombilin-Sawahlunto. Dikirimnya De Greve untuk penyelidikan lanjutan mengenai endapan batu bara Ombilin apa karena penyelidikan De Groot gagal?
Penyelidikan De Groot tentu tidak gagal! Buktinya sejak adanya laporan penyelidikan De Groot tahun 1858, sejak itu pula bangsa Belanda meyakini adanya endapan dan kandungan batubara di daerah Ombilin-Sawahlunto. namun barangkali belum terekplorasi secara detail mengenai jumlah dan sebaran endapan, kandungan batubara. Boleh dikata masih penyelidikan awal.
Disini letak peran seorang Willem Hendrik De Greve. Saat ditugaskan ia masih dalam usia relatif muda, dibawah 30 tahun. De Greve sepertinya tetap berpijak dan berpedoman pada pendahulunya De Groot. De Greve tidak meraba-raba, buktinya ketika ekspedisi, ia mengawali dengan menyusuri sungai Ombilin dari hulu (Ombilin). Banyak perjalanan berdasarkan peta geologi ditempuhya. Menaiki dan menuruni perbukitan hingga melewati lembah dan sungai, menyusuri hutan mesti ia tempuh. Hampir setiap perjalanannya De Greve mensertakan penduduk lokal dalam ekpedisi penuh misi besar itu. Setidaknya masyarakat lokal memahami dan mengetahui bentang wilayah yang akan dilalui.
Lebih kurang setahun, tepatnya 1868 secara pasti dan meyakinkan De Greve menyatakan bahwa kandungan batubara Ombilin di Sawahlunto itu benar-benar nyata adanya. Temuan lapisan batubara di Ulu Air tepian sungai Ombilin mengantarkan De Greve menguak rahasia sumber daya ‘emas hitam’ yang terpendam itu. Kandungan batubara di Ombilin serta sumber daya alam dengan potensi ekonomi, transportasinya dilaporkan pada negara melalui pemerintah pusat di Batavia secara lengkap ditahun 1870.
Fantastis! perkiraan 200 juta ton lebih endapan batu bara tersebar diantaranya di Parambahan, Sigaloet, Lembah Soegar, Sei. Durian, dan Sawah Rasau, Tanah Hitam. De Greve terus merampungkan detail penyelidikan hingga mempublikasikan hasilnya di tahun 1871. Laporan yang dipublikasikan itu berjudul ”Het Ombilien-kolenveld iin de Padangsche Bovenlanden en het Transportstesel op Sumatra’s Weskust.
De Greve belum berhenti tugas sampai disana. Hasil riset menunjukkan endapan batubara positif adanya, jumlah kandungan, kwalitas kalori serta sebarannya terprediksi dan tinggal hanya mengeruk. Tapi sang geolog dengan semangat dan tenaga mudanya, masih punya tugas dan misi ekpedisi selanjutnya. De Greve sepertinya begitu menikmati tugas dan petualangan penuh misi itu. Lihatlah sampai-sampai promosi dirinya 27 Februari 1869 untuk menempati insyinyur tingkat satu selalu di undur dan ditolaknya. Dorongan promosi terhadap karirnya itu terus mengalir secara berulang apalagi setelah laporan besarnya Ombiliensteenkolenvelden tertanggal 15 Juli 1870 diajukan.
Ekspedisi dilanjutkan! kali ini penyelidikan batubara pada cekungan Ombilin yang mengarah ke wilayah Sijoenjoeng. Sedikit tugas ekstra, De Greve sekaligus menelusuri kemungkinan memperoleh petunjuk sebagai alternatif transportasi batubara dengan memanfaatkan jalur sungai Ombilin-Batang Kuantan-Sungai Indragiri yang terus bermuara ke Pantai Timur Samudera Hindia.
Batang Kuantan seyogyanya penyatuan beberapa sungai seperti Batang Lasi dari Solok terus melewati Sawahlunto. empat sungai lain dari Sawahlunto seperti Batang Lunto, Sumpahan, Malakutan bermuara ke Batang Ombilin ditambah Batang Lasi. Batang Ombilin kemudian bermuara ke Batang Kuantan. Dan masih banyak sungai penyumbang yang bermuara ke Bantang Kuantan. Dapat kita bayangkan bukan? betapa besar dan debet air sungai ini. Apalagi dimasa lalu kala hutan masih perawan.
Diluar perhitungan dan dugaan De Greve, kala mengarungi sungai Kuantan yang besar dan berarus deras, ia beserta rombongan terseret arus. Perahu kayu yang ditumpangi bersama penduduk lokal yang mendampingi dalam ekspedisi  diombang-ambing, terhempas sampai perahu terbalik. Muatan perahu kayu tradisional itu tumpah, segala orang dan barang dalam perahu hanyut terbawa arus.
De Greve sempat menyambar dan berpegangan pada perahu kayu yang ditumpanginya dalam keadaan terbalik. Namun besarnya air dan deras arus sungai Kuantan membuat ia tidak kuat beratahan melawan perlakuan arus deras. Ia tidak dapat menyelamatkan diri atau tidak pula ada yang bisa menyelamatkannya. Insiden itu merenggut nyawa sang pahlawan Belanda dalam penemuan batubara di Sawah Loento tersebut. Karir dan kiprah sang geolog muda harus berhenti dan dihentikan oleh arus deras sungai.
De Greve menerima takdirnya, mengawali dan memulai kesuksesannya dalam penyelidikan geologi batu bara di sungai dan mengakhiri segalanyapun di sungai. Sungai Ombilin penunjuk dan pembawa berkah hingga sekarang lebih dari satu abad bagi banyak orang dan bangsa. Sementara sungai Kuantan membuat celaka De Greve pada 22 Oktober 1872. Jenasah De Greve ditemukan, kemudian di kuburkan di Durian Gadang Silokek (nagari di Kabupaten Sijunjung sekarang). Pada waktu belakangan kita tidak tahu apakah masih ada napak tilas De Greve sekaligus sebagai penghormatan para pelaku tambang seperti yang pernah dilakukan dalam rangka memperingati satu abad (100 tahun) tambang batu bara Ombilin di tahun 1991/1992).
De Greve pergi untuk selamanya, tanpa sempat melihat efek dan dampak luar biasa hasil riset dan laporannya. Apa yang ditinggalkan De Greve menjadi daya dorong yang begitu kuat, seperti Ir. E. Van der Elst mendesak agar pemerintah Belanda atau swasta segera melakukan ekploitasi. Barangkali Ir. E. Van der Elst selain berpikir soal kebutuhan dan keuntungan ekonomis, juga berpikir agar pengorbanan jiwa raga De Greve tidak menjadi sia-sia. Desakan itu membuat Pemerintah Hindia Belanda bergerak menentukan sikap dengan menugaskan Ir. J.A. Hooze untuk merancang persiapan segala sesuatu terkait penggalian batu bara. Terutama penambangan awal dipermukaan tanah (tambang terbuka) di Sungai Durian tahun 1891. Dan setahun kemudian 1892 usaha penambangan itu membuahkan hasil dengan produksi pertamanya.
Pengusahaan pembukaan dan ekploitasi batubara Ombilin-Sawahlunto oleh Belanda membawa berbagai dampak (multiple effect). Berbagai sarana dan prasarana, jalan-jalan, gedung-gedung perkantoran, pemukiman buruh, pejabat dan ahli tambang dibangun tumbuh bak cendawan dimusim hujan. Bahkan jalur kereta api Sawahlunto-Padang dibangun dalam kurun 1887-1894 lebih dulu dan cepat dari tambang sendiri, pelabuhan Emmahaven Padang untuk kepentingan transportasi laut batubara pun disiapkan.
Belantara hutan, areal persawahan, ladang-ladang penduduk lokal Sawahlunto dalam waktu beberapa tahun berubah fungsi menjadi ruang kota dengan wajah yang tidak lazim di Minangkabau. Bangunan-bangunan didaerah lembah lunto (Lunto Kloof orang Belanda mengatakan) berasitektur Eropa dengan khas dormer pada bagian atas atap, ada juga arsitektur Pecinaan. Konstruksi bangunan-bangunan itu sampai hari ini tetap kokoh walau berusia puluhan bahkan lebih satu abad. Wajar bangunan-bangunan itu berdinding tebal, bertulang besi dan baja. Sebuah perencanaan dan pembangunan kota yang matang.
Sebuah kota baru the little dutch hadir di Sawahlunto. menghadirkan sebagian ‘negeri kincir angin’ dan Eropa di Sawahlunto setidaknya membuat para Belanda dan tenaga ahli dari berbagai negara pendukung seperti Jerman, Polandia, Inggris dengan orang-orangnya menjadi betah berlama-lama di Sawahlunto sebagi kota baru, negeri kedua mereka. Kenapa tidak mereka tidak perlu gusar dengan kegelapan di Lembah Loento, toch..... listrik tenaga uap yang berdiri di Kubang Sirakuak bisa membuat wajah kota berseri, kinlong. Tempat hiburan ada, dengan mendirikan gedung Societeit atau Rumah Bola (sekarang Gedung Pusat Kebudayaan). Disini mereka para Belanda (Eropa) berdansi-dansi, minum-minum ditemani none-none dan nyai.
Dimanakah lagi Sawahlunto yang dulu hanya menjadi lahan bertani sawah dan berladang penduduk? Kala matahari meredup mereka kembali ke pemukiman. Berkumpul di tengah keluarga di Kubang, Lunto, Silungkang atau Kolok untuk melepas segala kepenatan. ”Het Ombilien-kolenveld iin de Padangsche Bovenlanden en het Transportstesel op Sumatra’s Weskust yang diwariskan De Greve telah menjadi daya pengubah yang begitu dahsyat. Bahkan Hindia Belanda dan dunia terkait telah diguncangnya. Lihatlah tinggalan teknologi uap Jerman melalui kereta api lokomotif uap ‘Mak Itam’ dan Steam Generator serta Dapur Umum (Museum Goedang Ransoem Sekarang) dengan teknologi masak uap dengan segala kecanggihannya. Lihatlah lori buatan Polandia dan Inggris. Saksikan juga berbagai kecanggihan dunia dalam teknologi tambang hingga teknologi mutakhir era kekinian produksi Jepang, Amerika. Ada citra belahan dunia di negeri Lembah Soegar, Loento Kloof, Sawah Loento, Sawahlunto. 

REKONSTRUKSI JEJAK: 
MEMBANGUN DIALOG, MENJEMBATANI MASA 
Monumen Peringatan De Greve
Dekat Gedung De Javasche Bank Padang
Sumber Foto: Tropen Museum
Sebuah rekam jejak dokumentasi foto koleksi Tropen Museum yang diperoleh dengan terang menyampaikan kepada kita bahwa seorang De Greve tidak dilupakan begitu saja, seiring akhir hayatnya yang tragis dihanyutkan Batang Kuantan. Sebuah tugu peringatan ditempatkan sekitar kantor Residen pusat kendali pemerintahan Hindia Belanda tertinggi di Padang.  Pada lain sudut pandang, tugu memperingati De Greve tampak berada di depan (halaman) de Javasche Bank, sebuah bank besar pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Sayang, tugu peringatan akan jasa dan perjuangan De Greve yang pernah ada berdiri di sekitar pusat pemerintahan (Residence) atau di depan de Javasche Bank Padang kini sudah tiada. Entah bagaimana ceritanya hingga bisa raib. Sementara gedung de Javasche Bank dekat Hotel Inna Muara Padang sekarang masih berdiri kokoh dan berfungsi sebagai Bank Mandiri.
Pembangunan era kemerdekaan sepertinya telah menggusur keberadaan monument De Greve  tersebut untuk pembangunan atau pelebaran jalan. Pertanyaannya adalah apakah mesti mengahancurkan dan mengorbankan peninggalan bersejarah di negeri ini? Kalaupun ada rasa nasionalisme anti penjajahan, pantaskah kita mengenyahkan jejak peninggalan sebagai peringatan dan pelajaran dimasa kini dan akan datang? Bukankah kita dapat menjadikan itu sebuah memori yang akan membangkitkan ingatan dan kesadaran.
Ada bainya tugu peringatan De Greve di rekonstruksi. Kondisi ini merupakan peluang dan kesempatan Sawahlunto mendekatkan dialog masalalu Sawahlunto. Dengan penempatan rekonstruksi pada salah satu ruang kota akan tercipta media dialog antara masalalu Sawahlunto dengan citra kota industri tambang dan sekarang sebagai kota wisata tambang. Terciptanya kondisi ini dapat menjadi identitas, penguat jatidiri dan citra kota wisata dengan brand Mining Tourism.
Bila bisa dan perlu makam De Greve di Durian Gadang Silokek Kabupaten Sijunjung di pindahkan ke Sawahlunto. Bila memindahkan adalah usaha yang ‘melelahkan’, setidak-tidaknya dibuatkan replika berdasarkan bentuk dan karakter aslinya di Sawahlunto. Usaha ini tentu akan menjadi daya tarik dan objek wisata sejarah dan ziarah baru dalam konteks kepariwisataan. Mendekatkan media dialog masalalu dengan kekinian ke masa mendatang.

KOKES, Pukul 01.00 WBI 01/04/2011

Rilis foto terbaru kami pada moment membesuk (makam) De Greve Jum'at 29 Juli 2011. Beginilah kondisi yang tim (dari kika menyandang tas  Fachri, Mega, Nining, Eri, pak Yan (Kepala Bidang Promosi dan Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto) dan saya sendiri Yonik, kami temui makam de Greve diketinggian pinggiran Sungai Kuantan di Durian Gadang Kabupaten Sijunjung Sumatera Barat. Jelas Makam penemu batubara Sawahlunto ini tidak terawat berada dalam semak belukar tanah milik masyarakat. Menurut keterangan pihak kantor Walinagari Silokek, di lahan itu juga terdapat banyak makam pejuang, masyarakat yang kini tidak tampak lagi. dengan demikian dengan masih adanya makam de Greve dengan nisan yang besar dan unik itu, masih kita syukuri adanya meskipun tidak layak untuk seorang yang memiliki jasa besar dalam sumbangannya terhadap sumber daya energi dan ekonomi yang hingga kini terus mengalir.


Bahan Bacaan:

100 Tahun Tambang Batubara Ombilin Sumatera Barat-Indonesia. PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Unit Pertambangan Ombilin, 1992.
Andi, dkk. Sawahlunto Dulu, Kini, dan Esok Menyongsong Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya. Pusat Studi Humaniora (PSH) Universitas Andalas Padang dengan Pemerintah Kota Sawahlunto c.q Kantor Pariwisata, Seni, dan Budaya. Meja Malam Desain Grafis dan Nailil Printika: Yogyakarta, Cetakan ke II, 2005.
Erwiza Erman. Membaranya Batu Bara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996). Desantra: Jakarta, Cetakan I, 2005.
LAND EN VOLK VAN SUMATRA. E. J. BRILL — Leiden. 1916.

Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek (NNBW) http://www.inghist.nl/