Menulis Apa Yang Dikerjakan, Mengerjakan Apa Yang Ditulis: Tidakpun Gayus Tambunan Ketangkap

MENULIS APA YANG DIKERJAKAN, 
MENGERJAKAN APA YANG DITULIS:
 -Tidakpun Gayus Tambunan Ketangkap-


Sumber Gambar:
Google.co.id-duniapiyen.blogspot.com

Terang saja, saya tidak tahu asal muasal kalimat judul dari tulisan ini. Tapi yang jelas saya pertama kali mendengarnya dari seseorang dalam perjalanan sebuah rombongan. Sosok orang tua itu harus saya anggap teman kala itu. Ini semua hanya untuk mencairkan suasana karena saya ikut nimbrung dalam tim mereka. Sebuah tim dari dua lembaga yang bersinergi dalam upaya ‘menjemput masalalu’ dunia tambang batubara Sawahlunto. Untuk apa ?
Beberapa hari belakangan beberapa teman sibuk keluar kantor. Selidik punya selidik ternyata mereka sibuk dan asyik memburu dan menginventarisir peralatan dan perkakas tambang batubara ‘tempo doeloe’ katakanlah zaman kolonial Belanda atau era tambang manual. Saya tanpa pikir panjang tertarik untuk ikut bersama-sama Dalam perburuan kali yang kesekian buat teman-teman yang telah lebih dulu terjun. Sedikit bocoran, ini merupakan sebuah usaha mewujudkan berdirinya museum tambang batubara di Sawahlunto.
Dari satu tempat ke lain lokasi yang diduga memiliki dan menyimpan potensi, kami kunjungi dan selidiki. Sepanjang perjalanan antar satu kantong perburuan ke lokasi berikutnya berbagai hal terungkap dan kami bicarakan. Dari senda gurau yang mengundang gelak-tawa sampai hal yang membuat dahi mengkerut memikirkannya. Kami terbawa ke berbagai topik pembicaraan.
Kalau dicatat dan dikumpulkan kata dan kalimat yang dilontarkan dari setiap orang dalam rombongan, entah berapa banyaknya. Namun ada sepotong kalimat menggelitik dan membawa pikiran saya menerawang akan banyak hal dan fenomena disekitar kita. Kalimat itu kemudian saya judul tulisan Menulis Apa Yang Dikerjakan, Mengerjakan Apa Yang Ditulis. Seolah-olah kalimat itu menjadi sebuah ‘cermin masa’. Belum sampai disitu, kalimat itu masih disambung dengan pernyataan Tapi Hal Seperti Ini Tidak Bisa Dilakukan Di Indonesia. Tegasnya begini; bahwa kemungkinan atau Keharusan MENULISKAN APA YANG TELAH DIKERJAKAN DAN ATAU MENGERJAKAN APA YANG DITULIS di tengah masyarakat kita itu sangat sulit.
Lantas saya tanya “kenapa memangnya pak”? “Banyak penyebab dan menghambat. Lah.....! kalau itu terwujud ditengah masyarakat apalagi terbiasa menyampaikan sesuatu dari mulut ke khalayak dengan omong-ngomong. Bahkan klaim-mengklaim dengan statemnet , kalau boleh mengungkap dalam istilah Minang; kalau ndak jo den ma ka ado dan bisa (Kalau tidak karena saya tidak akan ada dan bisa). Egois sekali bukan? Adakah faktor tunggal murni di dunia ini? Kalau orang muslim mengenal yang tunggal itu hanya penciptanya dan penguasa jagat raya (Allah, SWT).
Coba kalau yang dikerjakan seseorang atau sekolompok orang itu diabadikan dalam bentuk jejak berupa dokumen (tulisan), apalagi kalau satu paket menulis apa yang dikerjakan, mengerjakan apa yang ditulis. Tidak akan ada yang berani aku mengakui secara sembarangan tanpa bukti dan pembuktian yang sah. Dan runtuhlah ‘kerajaan ngaku-mengakui’. Terlebih kalau menyangkut secara prosedural keilmuan (ilmiah) dan administratif dalam sebuah lembaga pemerintah maupun swasta. Kumandangan status quo serupa inipun; kalau tidak dengan atau karena saya mana mungkin atau tidak akan mungkin bisa ini itu terjadi atau dapat diwujudkan tidak akan ada kita dengar dan kenal. Padahal tidak semua yang menelorkan menetaskan dan sebaliknya. Dihadapan sesama manusia mungkin itu menjadi hal yang biasa karena sudah terbiasa dilakukan.
Tapi ingatkah kita sebagai manusia ciptaan-Nya? Bahwa apa yang ada dilangit dan bumi hanyalah milik dan dalam kekuasaan-Nya. Kalaupun kita dapat berbuat dan melakukan sesuatu, itu hanyalah bagian dari bentuk kasih sayang yang diujikan-Nya kepada kita. Mampukah kita untuk tidak berbuat dan berlaku seperti syaitan ? Sombong, congkak dan sejenisnya. Padahal kita hanyalah sebagai media terhadap kehendak-Nya. Itupun untuk kemashalatan, bukan untuk sifat kesyaitanan dan kebinatangan. Tidak rugi rasanya saya nimbrung dirombongan saat itu. Ada pencerahan disana !
Lebih lanjut sebagi sebuah ‘cermin masa’ yang meneropong ke realitas kekinian di Indonesia adalah akan sangat banyak orang dipenjara ditengah berjangkitnya penyakit sosial yang namanya KORUPSI. Semua itu akibat dari Menulis Apa Yang Dikerjakan, Mengerjakan Apa Yang Ditulis. Kenapa bisa begitu? Bukankah semua sudah terekam sebagai wujud dan bukti-bukti dari segala bentuk aktivitas ke dalam bentuk tulisan?
Lantas salahkah pandangan Menulis Apa Yang Dikerjakan, Mengerjakan Apa Yang Ditulis itu? Tentu tidak dalam pemahaman pribadi saya. Justeru kalau hal positif ini dapat dilakukan dan diwujudkan bagi sebagian atau keseluruhan manusia Indonesia, terlebih  penyelenggara negara. Jelas akan berpikir ulang untuk melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Polisi, jaksa dan para hakim tidak perlu repot. Para pengacara tidak perlu banyak dan berdebat panjang untuk mencari kebenaran dalam kesalahan atau mencari kesalahan dalam kebenaran atau untuk menyatakan yang benar itu benar dan salah itu salah bukan memutarbalikannya. Menulis Apa Yang Dikerjakan, Mengerjakan Apa Yang Ditulis dalam hal ini sudah menjadi pengawal dalam diri setiap orang. Sama kesadarannya akan hakekat kekuasaan Tuhan melalui para malaikatnya yang mengawasi dan mencatat segala gerak hidup manusia.
Tidak ditulis saja bisa ketangkap kok. Lihat tuh.... Gayus Tambunan yang kemudian dianugerahi gelar ‘mafia pajak’. Meskipun dengan gaya bercanda, tapi betul juga saya pikir. Coba Gayus atau orang lain ada yang menuliskan semua aktivitasnya selama bertugas di perpajakan. Pihak mana saja yang memberinya uang sogok atau pelicin untuk menggelapkan pajak, dan siapa saja yang terlibat. Wah.... pasti urusannya tidak akan serumit dan panjang seperti sekarang, bertele-tele. Kalau orang Minang bilang itu batea-tea.
Realitas Gayus berkenaan dengan judul tulisan ini hanyalah contoh kecil penggugah kesadaran pentingnya data sebagai sumber penyelidikan atau barang bukti dalam kasus hukum. Menulis Apa Yang Dikerjakan, Mengerjakan Apa Yang Ditulis dalam hemat saya penting sangat adanya. Setidak-tidaknya apa yang ditulis itu menjadi sebentuk rekam jejak aktivitas yang dapat dibaca, dipelajari sebagai acuan ataupun sebagai pengetahuan dan ilmu.Terlebih bagi peneliti yang bergantung pada ketersediaan data tertulis seperti para sejarawan misalnya.
Saya jadi berpikir juga dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah ini yang dulu dilakukan Belanda selama menguasai Indonesia (Hindia Belanda)? Mereka begitu kaya dengan berbagai data arsip. Bahkan banyak kalangan mengatakan data arsip berbagai hal tentang Indonesia yang kita kenal sekarang lebih banyak dan lebih lengkap adanya di ‘negeri kincir angin’ Nederland sana. Saya memang belum bisa membuktikannya, karena saya belum pernah ke sana. Tapi Arsip Nasional Indonesia Jakarta setidaknya membuktikan akan hal itu.
Lain waktu lewat jejaring sosial facebook saya diberondong pertanyaan oleh seorang teman dari Amerika yang sedang melanjutkan studinya. Saya diberondong pertanyaan terkait sebuah tulisan yang ditulis seorang yang berkontribusi mewarnai tulisan-tulisan di blog pribadi saya dengan judul Dari Doktor Batang Pisang -Sekali Berbuah Setelah Itu Mati- Sampai Guru Besar Hanya Nama (GBHN). Berondongan pertanyaan itu kira-kira bunyi begini; “apakah keintelektualan seseorang itu diukur dari produktivitasnya menulis?”
Tanggapan pertama saya adalah; “coba diskusikan dengan sipenulisnya”. Namun dibalik itu saya juga mencoba memberikan jawaban seadanya dari pertanyaan itu. Menurut saya bukan soal produktifitas-produktifitasan. Tapi ini soal tanggungjawab seseorang, apalagi semakin tinggi gelar akademisnya tentu harus punya tanggungjawab lebih besar lagi mentransfer dan mewariskan ilmupengetahuan pada generasi ke generasi. Mengingat terbatasnya usia manusia, ada baiknya segala ilmu pengetahuan terekam dalam bentuk tulisan dalam berbagai bentuk media dan sarana  di era mutakhir ini. Sehingga dapat dijadikan media dan sarana transfer of knowledge. Masa kalah maju sih.... dari orang-orang zaman batu. Mereka saja mau meninggalkan jejak aktivitas mereka dalam bentuk tulisan dan dan tanda simbol yang dipahat pada batu, dedaunan, kulit pohon.
Ndak ada salah juga tuh.... kalau maunya berceramah terus.... tapi sampai kapan? Kalau sudah tutup usia dan habis masa kontrak hidup di dunia? Apa masih bisa berceramah  sana-sana sini? Bisa-bisa yang diceramahi pada kabur. Apa sih... yang tidak bisa diomongin. Coba pameo manusia mati meninggal nama ditambah sedikit dengan manusia mati meninggalkan karya tulisan dan semoga bermanfaat.
Kalau lah semua orang punya tingkat kecerdasan dan pemahaman tingkat tinggi dan luar biasa. Bolehlah, seloroh saya hanya modal alam takambang jadi guru. Ya.... tinggal menterjemahkan dengan kecerdasan masing-masing terhadap apapun gejala yang terjadi . Tidak perlu lagi referensi dan bahan bacaan tertulis dalam wujud nyata. Tapi cukup mengamati dan menterjemahkan fenomena yang terjadi. Dimanakah dunianya itu. Entahlah.... didunia entah berantah kali.
Tapi kasihan ya... bagi orang-orang yang membutuhkan dan aktivitasnya tergantung dokumen tertulis. Sejarawan misalnya. Bukankah secara sederhana dalam dunia penelitian khususnya disiplin ilmu sejarah mengenal no dokument no history? Ya..... sederhanany lagi tanpa dokument dan tulisan sejarah itu tidak ada. Perkembangan metode penelitian yang mutakhir kala sekarang memang tidak hanya mengartikan secara sempit tanpa dokumen tertulis lantas sejarah tidak ada. Penerapan multidisipliner dan interdisipliner ilmu telah memecahkan semua kebuntuan akan keterbatasan sumber tertulis. Apalagi pada masyarakat yang berkembang tradisi lisan. Wawancara dan penelitian lisan pun diterapkan. 

Kehilangan Jejak Masa Lalu 

Disini saya menyadari sekaligus membuktikan betapa aktivitas manusia masalalu menjadi penting saat sekarang dan dimasa akan datang. Sepanjang perjalanan perburuan dan mengiventarisasi peralatan kerja tambang manual terutama era kolonial di Sawahlunto. Banyak selorohan, namun mengena dan bermakna berhamburan dari mulut rombongan. Mengutip pernyataan seorang teman dalam rombongan yang mengkhiaskan kondisi kekinian dengan sebuah pepatah Minang; Nan Dahulu Mandapek, Nan Kamudian Kahilangan Bahkan Jejak dan kemana Perginyapun Tidak dapat Diketahui (Yang Terdahulu Mendapati, Yang Kemudian). Secara tegas dapat dikatakan bahwa dimasa orang-orang terdahulu mereka masih mendapati, menemukan dan menyaksikan tentang ada sesuatu dan peristiwa dimasanya. Namun tidak bagi orang-orang kemudian. Jejak bahkan informasi pun tidak ada sama sekali. Sesuatu telah hilang dan tidak tahu sama sekali bagaimana dan kemana hilangnya. Rekam jejak sebagai pedoman pun tidak ada. Betapa malang dan dirugikannya generasi belakangan, sebagai generasi penerus. ***