Terowongan Air Bawah Tanah Terpanjang Di Indonesia

TEROWONGAN AIR BAWAH TANAH PLTA DANAU SINGKARAK 
TERPANJANG DI INDONESIA

Danau Singkarak tak cuma identik  dengan ikannya yang langka yaitu ikan bilih. Sumber daya ikan-ikannya telah memberikan kehidupan bagi banyak masyarakat sekitar dari usaha menangkap ikan dan memperdagangkannya selain memenuhi kebutuhan keluarga. Keindahan dan pesona alam serta  budaya masyarakat sekitarnya juga potensi wisata yang tak kalah menariknya.
Berbagai sumber air mulai dari sungai, mata air yang terdapat di daerah sekitar bermuara ke danau ini. Namun uniknya saluran pembuangan danau Singkarak dari dahulu hingga tahun 1998 hanya terdapat satu pintu air keluar .  Dengan luas luasnya 120 km2 dengan kedalaman 150 meter, danau Singkarak membuang airnya ke pantai timur lewat Sungai Batang Ombilin, Sungai Indragiri dan bermuara di Selat Malaka.
Dengan dibangunnya terowongan air tahun 1992 hingga dioperasikan tahun 1998 mejadikan bertambahnya saluran air keluar danau Singkarak sejak itu. Terowongan yang menembus perut Gunung Merapi itu dibuat untuk mengalirkan air danau ke Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak, di Desa Asam Pulau, Lubuk Alung Pariaman. Terowongan ini memiliki panjang hampir 19 kilometer. Ini menjadikan terowongan air bawah tanah terpanjang di Indonesia. Dengan demikian air danau Singkarak akan dialirkan ke Samudra Hindia di pantai barat, setelah memutar turbin PLTA dengan kapasitas yang cukup besar 175MW.
Bagi Sumatra Barat, PLTA Singkarak ini merupakan pembangkit listrik ketiga yang punya lorong air bawah tanah. Pendahulunya, terowongan PLTA Batang Agam (10,5 MW) selesai 1974 panjangnya 1.200 meter, dan PLTA Maninjau (68 MW) memiliki terowongan 6.000 meter rampung 1985. Proyek PLTA Singkarak tak cuma paling besar di Sumatera Barat dalam menghasilkan setrum yang 175 MW.[1]
Sebuah laporan Putut Trihusodo dan Fachrul Rasyid dalam Majalah Tempo Online 24 Oktober 1992 menyebutkan, pembuatan terowongan juga tergolong berat. Kedalaman lubang yang digali antara 300 dan 850 meter di bawah permukaan tanah. Lorong bergaris tengah lima meter ini harus menerobos pelbagai jenis batuan. Ada yang keras dan stabil, tapi ada pula bagian yang lunak dan mudah ambrol. Untuk  itu dinding beton 40-60 cm dipasang untuk menyangga dinding batu. Lain halnya dengan batuan yang lunak. Ledakan dinamit bisa mengakibatkan lubang yang tak beraturan dan gampang runtuh. Terowongan Singkarak dibuat dengan empat tikungan untuk menghindari tanah lunak. Namun tanah rawan itu ternyata tak bisa dihindari secara total. Sepanjang 8 km terowongan harus lewat tanah lunak itu.
Pelaksanaan proyek pembangunan terowongan dengan berbagai tingkat kesulitannya akhirnya menggunakan mesin TBM (Tunnel Boring Machine) dari Prancis. Alat yang pernah dipakai membobol batuan bawah laut di Selat Inggris, terowongan yang menghubungkan kereta api antara Perancis dan Inggris, tahun 1990 lalu. Mesin TBM itu sepintas mirip lokomotif.
Dalam pengoperasiannya TBM bertumpu pada rel agar bebas bergerak maju dan mundur. Di bagian depan ada piringan baja dengan pisau-pisau penyayat. Diameter piringan untuk terowongan Singkarak dibuat berukuran 5,9 meter. Piringan baja itu diputar oleh mesin diesel yang berkekuatan 1.200 tenaga kuda. Gerakan putar piring diatur lewat rangkaian komponen mekanik yang bekerja dengan sistem hidrolis. Di sisi semua mata bajak ada lubang. Bila piring berputar dan pisau mulai menyerut, serpihan tanah terlempar ke belakang lewat lubang-lubang itu. Secara otomatis tanah galian dimasukkan ke saluran untuk kemudian diangkut dengan ban berjalan. Panjang mesin TBM ini, termasuk jaringan pembuangan, 200 meter.
Mesin TBM didatangkan melalui transpotasi laut ke Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Mesin itu hanya disewa, begitu tugas pembutan terowongan Singkarak selesai, mesin raksasa itu dipulangkan. Mesin TBM berkerja dari titik kilometer 2 sampai 10. Sisanya dibobol dengan dinamit, sampai ke Asam Pulau. Sepanjang 16,2 km pertama, terowongan air dibuat landai. Namun, sampai di tebing Asam Pulau, lorong air itu dibuat menukik dengan sudut 60 derajat sejauh 300 meter. Di ujung terowongan empat buah turbin menanti terjangan air. Setelah memutar turbin, air dibuang lewat terowongan sejauh 2,5 kilometer.
Namun banyak yang meragukan keamanan terowongan ini. Sebab perut Merapi masih sering bergolak. Maklum, gunung itu berada di daerah gempa Patahan Semangka. Yanuar Muin, selaku  arsitek PLTA Sing karak ketika itu, tidaklah cemas. Konstruksi terowongan PLTA Maninjau di perut Gunung Singgalang yang juga berada di jalur Patahan Semangka, terbukti tahan menghadapi beberapa kali gempa. "Saya yakin konstruksi terowongan Singkarak ini juga tahan gempa," ujar Yanuar kala itu.
Tampaknya keyakinan itu benar adanya. Terbukti sudah lebih sepuluh tahun dan terjadi beberapa kali gempa dahsyat yang meluluh lantakan sebagian wilayah dan bangunan di Sumatera Barat. Tugas terowongan mengalirkan air danau Singkarak ke Asam Pulau Lubuk Alung masih berjalan lancar.

Kebanggaan Yang Sempat Meresahkan
Dengan selesainya terowongan air PLTA di danau Singkarak, bukan berarti tidak lagi mendapat tantangan. Kalau tantangan alam telah ditaklukkan. Hasilnya pembangunan terowongan menghasilkan listrik berdaya 175 MW secara teknis. Dampak positif tentu adanya penyerapan tenaga kerja mulai dari pembangunan sampai beroperasinya PLTA Singkarak.
Mengenai dampak sosial lainnya? Setidaknya tergambar dari catatan dalam Profile Balai Wilayah Sungai Sumatera V Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum yang menyebutkan:
Pada tahun 1998 mulai dioperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak dengan menggunakan air danau Singkarak sebanyak 10 – 12 m³/det. Beroperasinya PLTA Singkarak secara keseluruhan telah merubah tata air, sehingga eskalasi konflik antara masyarakat dengan PLTA terus meningkat dengan berbagai issue.
Tidak dijelaskan dan diuraikan konflik seperti apa pada profile itu dan sejauh apa eskalasinya. Pasca beroperasinya terowongan yang mengalirkan air danau Singkarak sebagai pemutar turbin PLTA di Lubuk Alung, terjadi gejolak dan keresahan masyarakat sekitar danau. Terutama bagi masyarakat yang mengantungkan hidup dan perekonomian dari usaha menangkap ikan, terutama ikan bilih danau Singkarak.
Isu utama kala itu sejauh yang penulis ketahui dari masyarakat Paninggahan terutama adalah mengenai kelangkaan dan susahnya para nelayan ketika itu memperoleh ikan bilih. kejadian yang tidak pernah mereka alami pada masa-masa sebelumnya. Sampai-sampai jaring langli, alahan tidak berisi, apalagi manjalo (menjala) ikan bukan main sulitnya. Kalaupun ada, cukup buat kebutuhan keluarga. Malah Rantius, nelayan dengan alat tangkap langli kerap kali pulang dengan tangan hampa.
Kondisi yang merosot itu lalu masyarakat menganggap terowongan air di Baing Malalo untuk PLTA itulah penyebabnya. Beberapa kali aksi demontrasi dan protes dengan massa dilakukan. Masyarakat nelayan menuding bahwa telur-telur dan bibit ikan yang akan berkembang hingga dewasa telah terbawa hanyut akibat sedotan arus deras air ke dalam terowongan hingga sampai ke Lubuk Alung. Tidak banyak penulis ketahui mengenai hasil kajian dampak lingkungan terutama berkenaan danau Singkarak selaku habitat ikan bilih dan spesies ikan dan ekosistem lainnya. Namun yang jelas lahir sebuah Pusat Kajian dan Pengembangan Ikan Bilih yang berpusat di Malalo.
Dugaan masyarakat bisa jadi benar, bisa jadi hanya sebagai mencari pelampiasan akan ketidak stabilan kondisi kegiatan perekonomian dari aktivitas penangkapan ikan di danau Singkarak. Namun dibalik itu semua, tahun-tahun belakangan juga meluas informasi sebagai fakta bahwa di Lubuk Alung juga sudah banyak ikan bilih. Apa artinya? Orang Lubuk Alung dan Pariaman sekitarnya tidak perlu lagi menungggu atau membeli ikan bilih yang gurih dan nikmat itu ke daerah sekitar danau Singkarak. Tapi cukup mendapatkan di Lubuk Alung sekitarnya. Bukankah ikan bilih brand nelayan danau Singkarak juga sudah samapai dan ada di danau Toba Sumatera Utara yang dikenal dengan ikan ‘Megawati’.

Potensi Wisata
Areal sekitar mulut terowongan di Baing Malalo Tanah Datar yang menjadi gerbang saluran air keluar kedua danau Singkarak, setelah Batang Ombilin. Sejak  pengoperasiannya hingga sekarang menjadi objek wisata. Banyak orang mengunjungi areal lokasi mulut terowongan yang tertata apik dengan bangunan terowongan nan fenomenal dipinggir danau Singkarak tentunya. Mmmhh.... lengkap rasanya menikmati pesona danau Singkarak sambil mengabadikan kenangan, berfoto dengan latar terowongan atau lokasi terowongan tambah background indahnya danau Singkarak. Tidak lupakan? membawa buah tangan ikan bilih dan buah-buahan sawo Malalo yang terkenal. Tidak begitu jauh kalau mau, ke daerah tetangga Paninggahan, disana ada hasil kerajinan anyaman pandannya. Masih daerah pinggir danau lho...... paling 15 atau 20 menit perjalanan.

Pesan Ilmiah Yang Perlu Jadi Bahan Pertimbangan
Sebuah publikasi di http://digilib.itb.ac.idberkenaan dengan ikan bilih, kondisi habitatnya yang meminta peran serta berbagai pihak terlihat dalam sebuah KAJIAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis Blkr) DI DANAU SINGKARAK, PROPINSI SUMATERA BARAT[2] sebagai dipaparkan dalam Abstrak[3] berikut:
Ikan Bilih sebagai ikan asli danau Singkarak merupakan species yang perlu dilestarikan karena bersifat endemik dan berstatus langka. Adapun kegiatan eksploitasi yang melebihi tingkat tangkap maksimum lestari (Maximum Suistanable Yield) dan bencana Bangai yang sering menimpa Danau Singkarak merupakan ancaman serius bagi kelestarian ikan Bilih. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai besarnya tekanan terhadap ikan Bilih melalui pengukuran kualitas perairan pada saat bencana Bangai dan kondisi normal diikuti dengan perhitungan tingkat tangkap maksimum lestari ikan Bilih di Danau Singkarak. Selanjutnya ditentukan pula nilai ekonomi ikan Bilih sebagai bagian dan analisa biaya manfaat dalam menentukan pengelolaan ikan Bilih.
Pengujian kualitas air dilakukan di Laboratorium Kesehatan Gunung Pangilun Padang terhadap tiga titik sampling yaitu tengah danau -300 meter dari pinggir desa Pasir Singkarak- pada kedalaman 11 meter (Kode I), pinggir desa Pasir Singkarak (Kode II) dan pinggir desa Ombilin (Kode III). Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat parameter yang melebihi bake mutu Golongan C yaitu bake mutu untuk perikanan dan peternakan haik pada saat bencana Bangai berlangsung dan pada saat keadaan normal yaitu amoniak bebas, fenol, tembaga dan seng. Sedangkan sulfida dan oksigen terlarut berada di bawah baku mutu Gol C hanya pda saat bencana Bangai berlangsung. Adapun penyebab pasti kematian ikan Bilih sebesar 15,1 ton pada scat Bangai belum diketahui secara pasti.
Analisa lebih tangkap dengan menggunakan persamaan bioekonomik linier dinamik dengan basis data tahun 1988-1998 menunjukkan terjadinya penurunan CPUE (Catch Per Unit Effort ) dengan persamaan Y = -0,0111X + 0,2511 dimana X menunjukkan tahun ke-1. Keluaran dari persamaan ini menghasilkan cadangan maksimum lestari (X MSY) sebesar 673,4726475 ton, hasil tangkap maksimum lestari (Y MSY) 778.31 ton dan upaya penangkapan maksimum lestari (E MSY) 5264 unit alat tangkap. Pada kesetimbanagn bionomi menghasilkan cadangan bionomi (X) 860.475, hasil tangkap bionomi (Y) 718.37 dan unit alat tangkap bionomi 3803 unit. Kesetimbangan optimal pada tingkat suku bunga 25% menghasilkan cadangan optimal (X) 1088.52 ton, hasil tangkap optimal (Y ) 482.88 ton dan alat tangkap optimal (E ) 2021 unit. Adapun hasil tangkap pada tahun 1998 sebesar 736,46 ton telah melebihi penangkapan secara ekonomi (economical overfishing) tapi belum berlebih secara biologi (biological overfishing). Jika tidak segera dilakukan pengelolaan, maka pemanfaatan sumberdaya ikan Bilih dapat melampaui besarnya penangkapan maksimum lestari dan berpotensi menimbulkan konflik antar generasi.
Perhitungan mengenai nilai ekonomi ikan Bilih menghasilkan nilai guna ikan Bilih sebesar Rp. 11.624.055.090 yang merupakan jumlah dari nilai langsung (nilai bilih segar dan bilih olahan), nilai tidak langsung (nilai ikan Sasau) dan nilai pilihan. Sedangkan total non use value adalah sebesar Rp. 8.233.385.901 yang berasal dari nilai keberadaaan. Sehingga nilai ekonomi total dari ikan Bilih pada tahun 1998 adalah Rp 19.857.440.990. Nilai ini adalah social cost yang ditanggung oleh generasi yang akan datang jika penangkapan terus dilakukan melebihi tingkat maksimum lestari. Nilai ini akan menjadi tidak berhingga jika ikan Bilih mendekati kepunahan.


[1] Putut Trihusodo dan Fachrul Rasyid, dalam Majalah Tempo Online, 24 Oktober 1992.
[2]ID Publisher JBPTITBPP Organisasi S1-Environmental Engineering Study Programme Nama Kontak Drs. Mahmudin, SIP. Alamat Jl. Ganesha 10 Kota Bandung Daerah Jawa Barat Negara Indonesia Telepon:62-22-2509118, 2500089 Fax:62-22-2500089, E-mail:Administratorinfo@lib.itb.ac.id E-mail: CKOmahmudin@unix.lib.itb.ac.id
[3]Master Theses from JBPTITBPP / 2008-01-29  Oleh: Poppy Arsil (NIM.253 97 034), S1-Environmental Engineering Study Programme Dibuat : 1999-09-25, dengan 8 file.