Rekam Jejak Fotografi Kompleks Makam Belanda Sawahlunto: Bukti dan Simbol Akhir Tirani Kekuasaan dan Kejayaan

Rekam Jejak Fotografi Kompleks Makam Belanda Sawahlunto:
Bukti dan Simbol Akhir Tirani Kekuasaan dan Kejayaan

Rekam Jejak Fotografi
Foto Katalog/Buku 'Sawahlunto Effect'
Pertengahan tahun 2008 lalu, saya berkesempatan mendampingi serombongan fotografer profesional dengan fokus dan keahlian mengabadikan objek dengan lensa kamera mereka masing-masing. Mereka benar-benar spesialis dalam pandangan saya pribadi setidaknya. Rombongan yang datang dari Jakarta dengan prestasi nasional hingga internasional itu adalah diantaranya Oscar Motullah, yang bermarkas di Galeri Antara Jakarta dikenal sosok guru bagi banyak fotografer seperti diungkapkan Unang dan Anton Candra ketika bersama mereka pada kesempatan lain yang berbeda. Selanjutnya rombongan adalah Jay Subiyakto, Yori Antar dan salah satu penulis dari Komunitas Bambu, kemudian  disusul fotografer dari media nasional Kompas  Arbain Rambei.
Lima hari yang dijadwalkan untuk pemotretan. Hari pertama, tim bergabung melakukan hunting lokasi ke berbagai objek pemotretan. Hari kedua, masih dalam tim gabungan secara bersama-sama membidik satu objek ke objek lainnya. Tentunya hasilnya tidak sama karena mereka para profesional yang memiliki sense dan cara pandang maupun keahlian masing-masing. Hari ketiga, empat, tim berjalan masing-masing sesuai spesialisasi sasaran masing-masing.
Kebetulan, saya mendapat tugas mendampingi seorang Oscar Motullah dengan spesialis hasil pemotretan hitam putih. Oscar Motullah memilih dan mengajak saya bergerak dengan transportasi roda dua saja. Repot memang kalau dengan kendaraan roda empat, apalagi kalau sasaran objek pemotretan agak sulit ditempuh roda empat. Saya suka dengan ajakan Oscar itu. Soalnya kami bisa kejar waktu dan dapat mencapai lokasi objek sedikit lebih cepat dan leluasa dengan roda dua.
Kami bergerak dari satu objek ke objek lain yang berada dalam tema peninggalan yang berkaitan dengan tambang batubara di Sawahlunto. Apapun itu, asal disebutkan dan sesuai pertimbangan keterkaitan tema, Oscar begitupun dengan tim lainnya akan memburu. Oscar memang tidak banyak bicara selama aktivitas pemotretan. Tapi bukan berarti ia tidak momunakatif. Oscar berbicara seperlunya saja, apalagi kalau sudah berada di objek.
Dari bekas komplek penjara ‘orang rantai’ saya dan Oscar menuju komplek makam Belanda hingga sore dihari ketiga itu. Di komplek makam Belanda yang tidak terawat itu Oscar menghabiskan banyak waktu sambil terus memotret. Saya melihat kamera utama dan cadangan berupa digital camera, keduanya difungsikan. Entah sudah berapa roll film yang dihabiskan Oscar ditempat itu. Begitupun kamera digital dengan modus simpan memakai memory card. Jelang magrib, Oscar menghentikan aksi potret memotret satu makam ke makam lain dari berbagai sisi dan sudut pengambilan gambar. Saatnya beristirahat hingga besok.
Hari ke empat, setelah mengabadikan objek-objek yang menjadi sasaran seperti yang dischedule, Oscar kembali meminta untuk diantar ke lokasi kemaren yaitu ke objek bekas bangunan dan puing penjara ‘orang rantai’. Mengambil beberapa sesi foto disana, kemudian saya kembali memacu kendaraan kembali ke makam Belanda seperti permintaan Oscar. Saya hanya menterjemahkan sendiri dari keinginan dan aktivitas berulang yang dilakukan Oscar itu.
Ada sebentuk daya magnet yang menarik perhatian pada komplek makam Belanda itu sehingga sang fotografer ini dua hari berturut lebih banyak menghabiskan waktu dengan bidikan lensa kamera dan berroll-roll film khusus dihabiskan. Terakhir, hari kelima tim kembali bergabung untuk melakukan breefing dan evaluasi. Hampir tidak ada pemotretan dihari terakhir ini, kecuali untuk melengkapi bagi yang merasa kurang terutama Arbain Rambei dari Kompas yang datang menyusul. Kegiatan lain diisi dengan bersantai disekitar pusat kota sambil mengabadikan moment-moment yang bersifat spontanitas ketika ditemui.
Lalu hasilnya apa dari aktivitas para fotografer profesional selam 5 hari di Sawahlunto itu? Beberapa bulan kemudian sebuah pameran dengan tema ‘SAWAHLUNTO EFFECT’ diselenggarakan di Museum Nasional Jakarta. Sayang saya tidak dapat hadir untuk melihat dan menyaksikan langsung karya-karya Oscar Motullah, Jay Subiyakto, Yori Antar dan Arbain Rambei pada pameran tersebut. Begitu juga teman pendamping lain seperti Bustanul Arifin ketika itu yang jadi navigator tim Jay Subiyakto dan Arbain Rambei.
Pameran foto-foto yang dicetak dalam dimensi beragam relatif besar itu tentulah sangat menarik, apalagi pesan visual yang ditegaskan dengan bahasa teks yang digali langsung ke lapangan dan melalui reseach berbagai sumber tertulis dan lisan menjadikan sebuah foto yang kontekstual dan bermakna tentunya.
Berkenaan dengan pemotretan Oscar Motullah di objek makam Belanda memang tidak semuanya ditampilkan sepertinya, begitu juga dengan hasil fotografer lainnya. Berkaitan dengan aktifitas Oscar yang banyak memotret makam-makam Belanda tentu timbul pertanyaan dan perlu jawaban. Seperti apa dan bagaimana sebenarnya komplek makam Belanda di Sawahlunto itu?       

Kompleks Makam Belanda Di Sawahlunto Bukti dan Simbol Akhir Kejayaan
Foto Koleksi Pribadi
Satu-satunya kompleks Makam Belanda yang tersisa di Sumatera Barat saat ini, berada di daerah Lubang  Panjang Kota Sawahlunto. Situs makam Belanda ini tersebar di daerah pebukitan kecil yang memanjang arah Utara-Selatan. Luasnya yang tersisa saat ini ±7000 m2. Luas keseluruhan sejak awal ditetapkan Belanda sebagai areal khusus peristirahatan terakhir orang-orang Belanda di Sawahlunto atau Eropa lainnya belum diketahui. Sebab sebagian areal dan bangunan makam telah disulap oknum masyarakat untuk kepentingan pendirian bangunan. Bahkan menurut keterangan orang-orang lama yang pernah menyaksikan keberadaan areal dan makam Belanda di Sawahlunto, menyebutkan bahwa rumah-rumah penduduk sekitar makam dan termasuk bangunan sekolah Madrasah dulunya merupakan bagian dari kawasan dan bangunan makam.
Keberadaan komplek makam Belanda itu menunjukkan sisi lain sebagai bukti nyata eksistensi kuat Belanda di Indonesia, Sawahlunto khususnya. Makam-makam yang masih tersisa sekitar 89 buah, betapa menunjukkan kepada kita bahwa Belanda dan Eropa lainnya yang bercokol di Sawahlunto benar-benar berada pada strata sosial paling atas. Lihatlah konstruksi fisik bangunan makam yang begitu megah dan kokoh. Meskipun tampak kurang terawat dan mengalami berbagai kerusakan dari yang ringan hingga berat, baik karena proses alamiah, hewan terlebih manusia. Namun tetap menunjukkan kemegahannya. Dapat kita bayangkan berapa biaya dihabiskan untuk satu makam orang Belanda dan Eropa yang meninggal di Sawahlunto. Pembiayaan itu tentu tidak datang dari negeri ‘Kincir Angin’ sana. Tapi ladang ‘emas hitam’ batubara Ombilin-Sawahlunto bukankah sejak tahun 1891 menjadi pundi-pundi yang menghasilkan gulden.
Oscar Motullah/buku 'Sawahlunto Effect'
Kejayaan Belanda yang harus berakhir seiring semangat perjuangan dan gelora nasionalisme Indonesia. Kejayaan dan Kekuasaan Yang Berakhir! Demikian sebuah pesan dari simbol yang saya maknai dari sebuah potret hitam putih karya Oscar Motullah. Sebuah makam Belanda, siapa yang dikubur disana ? sudah tidak diketahui. Diatas kuburan tergeletak sebuah kursi reot, lusuh dan tak lagi berdiri tegap. Simbol kekuasaan yang tidak lagi ada arti dan fungsi. Letaknya dikuburan sebagai akhir dari segala kehidupan duniawi. Dia telah dan harus mati! Apalagi kekuasaan dan kejayaan yang berdiri megah diatas penderitaan dari menindas serta menghisap orang atau bangsa lain. Kekuasaan dan kejayaan semacam itu mesti dikubur dalam-dalam dan dijadikan monumen peringatan akan bahayanya. Foto itu hanya saya dapat dan maknai sendiri dari katalog pameran foto ‘SAWAHLUNTO EFFECT’. Kemudian  foto yang dikirim ke Sawahlunto usai pameran sebagai koleksi museum Goedang Ransoem.
Hampir keseluruhan makam dilengkapi dengan jirat dan nisan yang terbuat dari beton bertulang serta sebagian diberi cungkup.[1] Diantara 89 buah jumlah makam yang baru dapat diketahui itu, diantara jejeran makam Belanda terdapat makam bertuliskan huruf Cina. Bisa jadi yang dimakamkan satu komplek dengan makam orang Belanda itu adalah Cina. Sebab kita tahu masa kolonial Belanda Cina menempati strata sosial kedua setelah Eropa. Cina juga mendapat tempat sebagai mitra Belanda di Indonesia dalam berbagai hal.
Dilihat secara utuh kompleks makam Belanda di Sawahlunto memang masih kurang terawat. Situs ditumbuhi pohon,  semak belukar serta rumput liar. Apalagi disela-sela tanah kosong antar makam dijadikan ladang dan kebun penduduk. Dan bahkan batas-batas pagar dalam satu kawasan makam menunjukkan bahwa komplek makam telah dikapling-kapling masyarakat. Pemanfaatan nyata pada areal makam yang tersisa ±7000 m2 sebagai kebun tanam-tanaman. Kondisi makam juga berlumut, sebagian besar mengalami kerusakan, terutama pada bagian nisan. Nisan bertulisakan identitas orang yang dikuburkan dimakam-makam itu terbuat dari batu marmer berkwalitas baik. Sehingga menurut keterangan masyarakat keelokan batu nisan makam Belanda itu memancing orang untuk mengambilnya. Namun, sejauh ini belum ditemukan masyarakat menyimpan atau memanfaatkan untuk keperluan apa nisan-nisan bertuliskan nama, tanggal lahir dan meninggalnya orang yang dikubur dimakam tersebut. Kalaupun diperjual belikan, juga tidak ada informasi yang mengarah kesana.
Kompleks Makam Belanda merupakan tinggalan situs dan artefak yang cukup komplek  dan mempunyai nilai sejarah serta arkeologis cukup tinggi. Lingkungan situs sebagian besar masih sesuai dengan kondisi semula, hanya di beberapa tempat telah mengalami perubahan dan pengubahan lahan untuk pemukiman. Konstruksi beton bertulang yang dipakai untuk jirat maupun cungkup pelindung menjadikan makam ini relatif bertahan dan sebagian besar masih dalam keadaan kokoh berdiri. Data penting yang dapat dijadikan sebagai dasar pelacakan orang-orang yang dimakamkan di kompleks ini sebagian besar sudah tidak ditemukan lagi, karena tulisan yang dipahatkan pada marmer dan ditempelkan pada nisan sudah dicuri oleh penduduk. Dengan melihat konstruksi makam, tata letak makam dan orientasi makam, bahasa yang dipakai dalam tulisan nisan, dan pola hias menunjukkan bahwa makam-makam tersebut memang pekuburan bagi orang-orang Belanda, serta beberapa yang berasal dari Cina. Dengan memperhatikan bentuk, pola hias, jenis makam menunjukkan bahwa yang dimakamkan dalam kompleks makam ini juga bervariasi dari segala usia. Penelitian yang lebih mendalam terhadap tata letak, bentuk, jenis, dan ukuran, serta pola hias akan sangat penting untuk lebih mengungkapkan tentang sejarah makam Belanda tersebut.[2]
Untuk itu dalam rangka Pelestarian, Revitalisasi dan Konservasi Benda Cagar Budaya di Sawahlunto serangkaian kajia dilakukan. Tindakan nyata pelestarian khususnya makam Belanda dilakukan 2009 langsung oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Wilayah Kerja Sumbar-Riau di Batusangkar dengan bantuan anggaran pusat. Langkah awal yang nyata ini tentu bertujuan sebagai penyelamatan makam dari ancaman proses alamiah maupun perilaku masayarakat yang merusak.
Foto Koleksi Pribadi
Pada tahun 2009, tahap awal di telah dilakukan pembuatan dam pada titik rawan dimana tanah makam yang terkikis digerus air. Diatas dam berketinggian 2 meter itu kemudian dipasang pagar, agar kondisi kawasan dan makam terjaga dari gangguan hewan ternak atau tindakan masyarakat yang merusak.
Kita berharap pemugaran berlanjut secara bertahap atau dapat dilakukan sekaligus. Apabila Komplek makam Belanda ini dapat dilestarikan dan dikelola baik tentu akan menambah perbendaharaan situs bernilai sejarah yang akan memperkaya dan mewarnai pariwisata sejarah dan ziarah Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang Berbudaya. Kita yakin dengan pengelolaan dan penyajian yang baik dan informatif, wisatawan mancanegara khususnya orang-orang Belanda akan berkunjung ke Sawahlunto. Apalagi bagi nenek moyang orang Belanda yang pernah bermukim dan meninggal dan dimakamkan di Sawahlunto. Keturunan dan anak cucu mereka pastilah ingin mengetahui nenek moyangnya, meski hanya melalui jejak berupa tempat peristirahtan terakhirnya.
      Sangat disayangkan atas adanya aksi-aksi menganggu dan perusakan yang terjadi diwaktu berlalu. Kita sebagai bangsa merdeka memang anti atas nama penjajahan. Menghapuskan penjajahan dalam bentuk apapun dari negeri dan bumi ini memang harus dilakukan. Tapi memusnahkan jejak peninggalan, apalagi bagi bangsa kita yang pernah dijajah sama saja menghilangkan bagian dari sejarah perjalanan dan pembangunan bangsa. Bukankah sejarah sebagai tempat kita bercermin? Semoga apa yang telah dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Wilayah Kerja Sumbar-Riau di Batusangkar dapat berlanjut atau dilanjutkan oleh Pemerintah Kota Sawahlunto atau pihak lain yang memiliki kepedulian dan rasa tanggungjawab dalam menjaga, melestarikan satu-satu komplek makam Belanda Sawahlunto yang tersisa di Sumatera Barat.


[1] Laporan Akhir Studi Teknis Arkeologis Bangunan Kolonial Kota Sawahlunto. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Sumabar-Riau di Batusangkar bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sawahlunto, 2009.
[2] Ibid,