Cerita Rakyat/Folklore: Si Timbago

Cerita Rakyat/Folklore:
 si TIMBAGO

Menguak Arsip Kantor Wali Nagori Silungkang tentang ‘Stambul Perang dan Kejayaan Bala Tentara Silungkang dan Kubang Atas Kerajaan Sitimbago’.[1] Demikian judul tulisan  yang dimuat dalam sebuah edisi bulletin SILUNGKANG Koba Anak Nogari yang terbit tahun 2003 lalu. Sebuah judul tulisan yang menarik perhatian saya, apalagi berangkat dari catatan arsip. Setelah saya baca hingga akhir tulisan, tidak saya dapatkan satupun penjelasan waktu kapan peristiwa itu terjadi. Mungkin karena pikiran saya dari sudah direcoki hukum penulisan kajian sejarah yang terikat waktu, ruang dan pelaku serta apa dan bagaimana kejadiannya (5 W + 1 H)
Tapi saya tidak akan menghakimi atau menilai akan tulisan dan peristiwa itu dalam bingkai sebuah sejarah atau  tidak. Meskipun informasi tersebut tidak terdapat kurun waktu yang menunjukkan peristiwa sejarah kehidupan dan aktivitas manusianya.[2]
Dengan mengabaikan sementara angka-angka tahun periode pertama dan keberadaan kerajaan Sitimbago yang disebut-sebut. Ada sumbangan lain dari kisah Sitimbago tersebut dalam mengisi kekayaan folklore atau cerita rakyat lokal Sawahlunto. terlepas dari soal benar tidaknya, dari cerita rakyat banyak pesan yang harus kita gali dan diterjemahkan lebih dalam untuk melahirkan kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan nyata bermasyarakat.
Dalam kisahnya Sitimbago disebutkan, bahwa ia merupakan orang dari kerajaan Pagaruyung. Ia salah satu barisan orang penting di kerajaan Minangkabau itu. Suatu ketika dimasanya Sitimbago melakukan pembangkangan terhadap raja Pagaruyung. Akibat ulahnya itu Sitimbago dianggap tidak patuh dan disuruh pergi dari kerajaan. Sitimbago kemudian beserta pengikutnya meninggalakan Pagaruyung pergi menuju sebuah daerah (sekitar Sawahlunto sekarang) dan menempatinya.
Di daerah baru ini ia mendirikan pula kerajaan kecil yang disebut sebagai kerajaan Sitimbago. Sitimbago memimpin dengan gayanya sendiri. Ia menjadi penguasa yang dzalim terhadap rakyat sekitar wilayah yang dikuasainya. Sitimbago membebani rakyatnya dengan berbagai macam upeti yang harus disetorkan padanya. Tidak bisa berkata tidak, kalau tidak ingin Sitimbago marah dan menyakiti. Bahkan perilakunya tidak sopan terhadap anak gadis penduduk sering terjadi. Si Timbago acap kali menculik dan merampas para gadis-gadis kampung untuk dijadikan pemuas nafsu syahwatnya.
Kedzaliman Sitimbago itu membuat keresahan dan kemarahan penduduk sekitar. Dari hari ke hari beban materi yang ditimpakan kerjaan Sitimbago ditambah lagi dengan beban moril yang lebih berat. Desas-desus kegalauan hati masyarakat terus menyelinap dari satu orang ke orang lain, ke rumah-rumah dan menjadi bahan diskusi di berbgai sudut kampung sejauh tidak akan sampai ke Sitimbago dan pengikutnya. 
Gelombang keresahan dan kemarahan yang terus terbangun dalam masyarakat akhirnya melahirkan perlwanan rakyat yang dipimpin oleh Palingan Alim Panglima Perang Silungkang dan Kubang. Dalam semangat dan kebulatan tekad pasukan rakyat Silungkang dan Kubang, mengakibatkan kekalahan pada pihak kerajaan Sitimbago. Perang yang menghasilkan kekalahan pada pihak kerajaan Sitimbago telah memaksa Raja Sitimbago dan pengikutnya yang tersisa meninggalkan daerah Sawahlunto yang ditempatinya.
Dengan angkat kakinya Sitimbago, daerah kekuasaannya menjadi tidak bertuan dan terlantar. Dalam tutur lisan sebagian masyarakat disebutkan bahwa harta benda peninggalan kerajaan Sitimbago dibagi antara tiga daerah berdasarkan potensi dasar pendukung keberlangsungan pemanfaatan dan pengembangan harta benda peninggalan tersebut. Kubang misalnya mendapat jatah dan menerima tanah berupa Sawah dan Ladang untuk dikelola sebagai lahan bertani dan berladang. Daaerah Padangsibusuk memperoleh jatah dan menerima Ternak. Sementara Silungkang memperoleh harta benda berupa uang, emas peninggalan kerajaaan Sitimbago.
Menurut pemahaman yang berkembang, keberadaan kerajaan si Timbago diyakini masyarakat bermukim sekitar pinggang bukit yang lebih melekat dengan nama Gunung Timbago. Bukit dengan puncaknya yang terkenal dengan Puncak Pari terletak dekat dengan pusat kota Sawahlunto. Gunung Timbago dengan Puncak Pari-nya merupakan salah satu dari jajaran bukit yang mengelilingi pusat kota Sawahlunto sehingga menyerupai ‘cekungan kuali’. Bahkan Sawahlunto dengan bentangan karakter geografisnya seperti itu seperti memiliki dinding/benteng alam.
 Hingga saat sekarang nama bukit yang dalam bahasa setempat disebut Gunung Timbago masih melekat dengan erat. Bahkan dari sisi sosial kemasyarakatan hingga saat ini juga masih terdapat suku dengan nama suku Sitimbago di Sawahlunto terutama disekitar Guguk Balang dan beberapa tempat lainnya.
Antara nama tempat dan asal-usul nama suku Timbago yang terdapat di Sawahlunto ada korelasi dari masa lalu kerajaan Sitimbago kita tidak tahu dengan jelas secara pasti. Tapi fakta hari ini begitulah adanya.
Atau nama Bukit/Gunung Timbago juga bisa merujuk potensi kandungan bahan yang terdapat di tempat itu. Mungkin saja dibukit/gunung yang dimaksud terdapat kandungan/bahan galian sejenis bahan tembaga. Akan tetapi data-data ilmiah secara geologis tidak ada atau belum penulis temukan sejauh ini.
                                                                             
** Pesan dan Kebijaksanaan yang dapat kita petik:
1. Kesombongan/keangkuhan hanya akan merugikan diri sendiri
2. Dan kedzaliman akan menimbulkan penderitaan bagi pihak lain. Suatu waktu akan tiba kekuatan yang akan berbalik menghancurkan sumber kedzaliman itu.
3. Apalagi kalau di LAWAN! Dengan teroganisir dalam kesadaran bersama untuk menegakkan kebenaran
4. Keadilan yang proposional, menyerahkan perkara/ sesuatu kepada pihak/orang berdasarkan potensinya


[1]Djasril Abdullah, Menguak Arsip Kantor Wali Nagori Silungkang tentang Stambul Perang dan Kejayaan Bala Tentara Silungkang dan Kubang Atas Kerajaan Sitimbago, dalam Bulletin SILUNGKANG Koba Anak Nogari, PT. Menara Estetika: Tanggerang, 2003. hlm. 54-56.
[2]Namun setidak-tidak saya memperoleh gambaran periode perkembangan daerah Sawahlunto pada tahapan berikut:
1. Sawahlunto daerah tak bertuan
2. Menjadi pusat kerajaan yang disebut-sebut dengan kerajaan Sitimbago.
3. Sebagai areal persawahan dan berladang penduduk sekitar  seperti Kubang, Silungkang dan Lunto pasca kejatuhan kerajaan Sitimbago
4. Menjadi kota Industri Tambang Batubara sejak dirintis kolonial Belanda diawali penelitian de Groet 1858, de Greeve 1868 dan ekploitasi perdana 1891. Sejak itu wajah kota Sawahlunto berubah drastis dari belantara hutan, sawah, ladang menjadi kota industri tambang. Gerak sebagai kota tambang terus hingga masa kemerdekaan 1945 sampai awal tahun 2000 dan warisannya-sekarang
5. Pasca tambang batubara sejak tahun 2002 dengan Visi baru yang tertuang dalam Perda No. 02 Tahun 2002 tentang Visi dan Misi Kota Sawahlunto “Menuju Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya”. Sawahlunto Menjadi Kota Wisata Tambang dan terus berproses hingga saat sekarang (2011)