SEJARAH UANG DAN PEMALSUANNYA

MENGENAL UANG KUNO
SAMPAI RUPIAH UANG REPUBLIK INDONESIA[1]


KILASAN SEJARAH UANG
Pada masa silam, uang belum dikenal sebagai alat tukar karena tidak ada nilai nominalnya. Masyarakat kepulauan pasifik misalnya, bahkan dibeberapa daerah kepulauna di Indonesia pernah menggunakan taring ikan hiu sebagai alat tukar. Di belahan kutub, masyarakat Eskimo menggunakan alat tukar berupa kulit dan gigi anjing laut. Di pedalaman kawasan Baduy Jawa Barat masyarakatnya pernah menggunakan garam sebagai alat penukaran. Namun juga ada yang menggunakan lempengan tembakau, potongan kayu, bijih besi dan batu permata.
Dalam peradaban masyarakat pesisir seperti masyarakat Indian Amerika atau mayarakat Peru pada suatu waktu masyarakatnya pernah menggunakan alat tukar dari lokan atau kulit kerang. Lain lagi dengan masyarakat Tiongkok, tahun 1000-pra Masehi mereka menggunakan linggis dan pisau sebagai alat tukar untuk memperoleh berbagai kebutuhan hidup keluarga.
Dari sekedar alat tukar pada masa-masa selanjutnya fungsi sebagai alat pembayaran semakin pasti. Namun tidak diketahui siapa yang merintis dan memproklamirkan penggunaan uang sebagai alat pembayaran. Namun ± 2000 tahun pra-Masehi bangsa Yunani dan Romawi telah memanfaatkan uang sebagai media pembayaran. Bangsa Yunani menyebutnya drachma dan Romawi dengan istilah denarius berupa uang perak resmi  yang berlaku dalam perdagangan di daratan Eropa dan termasuk sebagian Asia pada tahun 549-269 SM.
Jejak lain membuktikan bahwa uang logam campuran emas dan perak (logam electrum) diciptakan oleh bangsa Lydia di Asia Kecil pada 700 tahun pra-Masehi. Kemudian budaya uang jenis ini menular ke berbagai peradaban bangsa-bangsa di dunia.
Catatan lain menceritakan uang kertas baru meluas digunakan sekitar 300 tahunan lalu. Uang kertas sendiri pertama kali dipelopori bagsa Cina di abad ke-10. Tentu ini erat kaitannya dengan penemuan alat cetak kertas dan tinta oelh bangsa ini. Penjelajah legendaris dari Venesia, Marcopolo pernah menyaksikan peredaran uang kertas ketika ia menyinggahi negeri ini pada abad ke-13.   
Bagaiman dengan Indonesia ? 

mata uang logam tertua di Indonesia berasal dari kerajaan Jenggala pada tahun 728 Masehi. Bentuk uangnya menyerupai biji jagung berbahan emas dan berinisial B dalam bahasa Sansekerta. Uang dikenal pula di era Majapahit di abad ke-13 yang disebut uang ‘ma’ atau dikenal juga uang gobok. Uang pasch diperkirakan dari kerjaan Samudera Pasai di Aceh pada abad ke-13. Selain itu Aceh juga mengenal uang dinar  yang terbuat dari emas berbentuk pipih seperti kancing baju. Aceh masih mengenal uang ‘mass’ pada abd ke-17. Menurut sumber tulisan ini koleksi numismatik (mata uang) dari berbagai era ini dapat ditemui di Museum Nasional Jakarta. Berikut kita juga dapat mengenal koleksi uang tembaga dari kerjaan Banten, uang perunggu dari Palembang, uang timah dari kerajaan Cirebon dan mata uang emas dan perak dari Sulawesi.
Dari uang-uang yang disebutkan diatas, uang-uang loga Indonesia abad ke-7 sampai abad ke-17 hanyalah merupakan alat tukar sejati, belum lagi sebagai alat bayar. Hal itu dikarenakan belum memiliki nilai nominal sebagai pembanding harga. Namun ada catatan yang menjelaskan bahwa niali satu uang gobok sama dengan 5 keteng. Satu dirham perak bernilai 400 gobok. Satu dirham emas bernilai 4000 gobok.
Selain uang logam ada yang lebih menarik yaitu jenis uang ‘tekstil’. Uang ‘tekstil’ berasal dari Pualu Buton abad ke-17. Ada cerita menarik dibalik mata uang ini. Konon ceritanya uang ini dibuat oleh para puteri istana Buton dengan cara ditenun dan menyulamnya. Kalau demikian halnya berarti uang ini terbuat dari bahan sejenis benang dong...
Secara tematis uang di Indonesia dapat dibagi kedalam enam periode
1.  Uang atau alat tukar yang beredar zaman kerjaan Jenggala hingga permulaan abad ke-17.
2.  Uang masa VoC sampai tahun 1810 dan termasuk masanya uang Portugis, Spanyol, arab, India dan Cina yang beredar dikawasan tertentu di Indonesia.
3.  Uang Inggris (1811 s/d 1816)
4.  Uang Hindia Belanda (1816 s/d 1942)
5.  Uang Jepang (1942 s/d 1945)
6.  Uang Republik Indonesia sejak 17 Oktober 1945 sampai sekarang (Rupiah-red)
Perkongsian Belanda diawal penjajahannya telah memberlakukan uang logam. Antara lain duit koper (uang tembaga) tahun 1790 berlambang VoC dengan sebuah bintang segilima kecil diatasnya. Uang bonk juga beredar kala ini baik yang memiliki nominal maupun tidak. Bentuknyanya pun tidak seragam. Uang bonk dikeluarkan hingga tahun 1818.
Istilah hidup sebenggol atau hidup satu sen bagi masyarakat pribumi zaman dahulu memberikan gambaran bahwa uang yang beredar banyak ditengah masyarakat Indonesia hanya terdiri dari pecahan mata uang kecil dibawah satu gulden. Mungkin kita pernah mendengar istilah sepicis, setalen, sepeser atau segobang.
Uang kertas tertua diketahui keluar tahun 1782. Peredarannya di kawasan Ambon, Banda dan Batavia serta ternate. Bentuknya masih sederhana mirip seperti bon atau famplet kecil. Bagian yang dicetak hanyalah sebelah dan sebelah lagi kosong. Makanya disebut juga uang sebelah. Barang uang sebelah ini dicetak dengan mesin stensilan sehingga mirip kupon undian. Nilai nominalnya belum tertera dan dicetak dalam jumlah sedikit dan peredarannya terbatas dikalangan tertentu. Uang ini terus dikeluarkan pada hingga tahun 1851 dengan stempel penguasa saat itu VoC.
Uang kertas yang lengkap dan utuh seperti  uang masa kini dikenal dengan uang ‘coen’ atau ‘kun’. Kedua sisi uang ini sudah memuat gamabr/huruf/atau ornamen yang lebih komplek hingga sudah memiliki variasi warna. Di Hindia Belanda uang ini muncul kira-kira tahun 1864 hingga tahun 1942. Disebut sebagai uang ‘coen’ atau ‘kun’ karena jenis yang beredar di Hindia Belanda bergambar potret Jan Pieterszoon Coen. Karena dominasi wajah Jan Pieterszoon Coen sang Gubernur Jenderal yang cukup berpengaruh dimasa ini, maka banyak kalangan menyebut ini dengan sebutan uang ‘kun’.
Variasi lain dari gambar ratu Belanda Wilhelmina pada mata uang yang beredar di Hindia Belanda juga dilabel istilah ‘Uang Wilhelmina’. Uang dengan gambar ratu Belanda ini muncul pertamakali 4 Agustus 1919 dengan nomimal 1 -1000 gulden. Dibelakang  ‘Uang Wilhelmina’ terpampang Crowned Dutch, lambang kerajaan Belanda. Berbeda dengan ‘uang Kun’  law text ‘uang Wilhelmina khusus menggunakan teks dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1940 Hindia Belanda mengeluarkan uang kertas bergambar candi Borobudur dan gambar wayang orang dengan profile wajah Indonesia.Sepertinya hanya Borobudur hasil budaya Indonesia yang ditampilkan pada uang masa Hindia Belanda hingga era Jepang
Berbagai jenis mata uang yang beredar di kawasan Hindia Belanda pada masanya, masih terdapat pemberlakuan alat tukar pada kawasan tertentu. Selama monopoli perdagangan dikuasai, Belanda banyak mengusahaka berbagai bisnis sperti perkebunan-perkebunan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Pada kawasan-kawasan tertentu seperti perkebunan ini Belanda memberlakukan alat pembayaran khusus sebagaimana yang dikenal dengan ‘uang partikelir’ berupa kupon-kupon untuk dapat ditukar dengan kebutuhan para kuli paksa dilingkungan kerja. Beragam interpretasi terhadap model alat tukar ini diantaranya: untuk mempermudah dan mempercepat urusan belanja atau mendapatkan kebutuhan sehari-hari para kuli. Namun ada juga pendapat bahwa ‘uang partikelir’ sekaligus sebagai alat kontrol pihak Belanda terhadap kuli-kuli itu agar tidak mudah melarikan diri. Sebab alat pembayaran itu hanya berlaku dilingkungan terbatas. Jika dibawa keluar oleh para kuli uang itu tidak berlaku karena memang hanya diberlaku dilokasi sekitar perkebunan. Kalau saja seorang kuli melarikan diri sama saja si kuli telah membuat jerat terhadap dirinya sendiri. Karena apabila ia menggunakan uang partikelir jauh diluar lingkungan perkebunan, akan mudah diketahui bahwa ia seorang kuli yang melarikan diri. Asumsi lainnya adalah pemberlakuan uang partikelir adalah unsur terencan dan sengaja di ciptakan agar uang itu dengan mudah kembali ke tangan pengusaha. Uang partikelir terekam dikeluarkan diantaranya oleh perusahaan; Asahan Tabak Maatschapaij Sumatra, Tanjung Pasir Estate, dan bandar Poeloe Estate di Sumatra.
Tahun 1942-1945 seiring dikuasai Hindia Belanda oleh Jepang setelah Belanda bertekuk lutu pada 5 Maret 1942. Jepang unjuk kekuasaan dengan mengeluarkan mata ‘uang baru’ namun uniknya istilah gulden tetap dipakai. Baru pada tahun 1943 Jepang menganti istilah gulden pada uang kertas menjadi ‘Roepiah’. Pada sisi lain era Jepang ini  peredaran uang masa Belanda juga terus terjadi dan dibiarkan saja. Mungkin hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat akan mata uang lama masih tinggi.

ORI: Oeang Repoeblik Indonesia (Rupiah)
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 agustus 1945. Bukan berarti segala derita bangsa selama masa penjajahan dan revolusi sirna dalam waktu sekejap. Beban persoalan sebagai akumulasi berbagai gejolak menjadi pekerjaan rumah yang begitu besar. Perekonomian yang porak-poranda perlu ditata sedemikian rupa. Kesulitan dialami masyarakat terutama dalam masalah perekonomian. Harga dan barang kebutuhan hidup tak menentu. Dalam kondisi yang demikian itu pada tanggal 17 Oktober 1945 lahir ‘Oeang Repoeblik Indonesia’ (ORI). Berbagai spekulasi akan kehadiran uang baru di era gerbang kemerdekaan itu terjadi. Mulai dari entah dari mana dan dimana uang itu dicetak. Ada yang menduga dicetak diluar negeri, ada lagi yang menyebutkan dibuat dibekas gedung Javasche Bank yang direbut dari Jepang. Namun ada lagi yang menyebut dicetak disebuah percetakan di Malang dan Probolinggo di Jawa Timur. Seri uang RI perdana bernominal antara satu sen hingga 100 rupiah. Pada lembaran uang rupiah dibubuhi tandatangan Menteri Keuangan Maramis dan mulai pecahan 1 rupiah keatas bergambar Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno.
Ketika harga-harga melambung tinggi dan masyarakat sulit memperoleh uang, pemerintah Indonesia menempuh jalan membagi-bagikan uang untuk mengatasi kesulitan memperoleh uang. Usaha pembagian uang kepada masyarakat dilakukan pada tiap-tiap kampung. Setiap satu jiwa mendapatkan jatah uang Rp. 100,- dan setiap Kepala Somah (rumahtangga) mendapat tambahan sebesar 3 sen. Tidak mengherankan dimasa itu disetiap kampung tua, muda, dan bayi ikut  antre menunggu pembagian jatah uang dari pemerintah.
Era kemerdekaan kembali diguncang dengan agresi Nica Belanda 21 Juli 1947. Ibukota hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Jalur komunikasi diputus pihak Belanda, sehingga komunikasi antar daerah terganggu dan terputus. Peredaran uang yang seharusnya terus dilakukan untuk terus memulihakn ekonomi rakyat jadi terganggu dan bahkan tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena daerah-daerah banyak yang tidak memiliki uang resmi, maka atas izin pemerintahan pusat di Yogyakarta, pemerintah daerah boleh mengeluarkan uang lokal (daerah). Uang bernilai nominal sama dengan ORI, tapi berlaku hanya dalam lingkup daerah itu saja.
Ditahun 1948 Indonesia pernah mencetak uang logam emas yang dicetak di daerah Curup-Rejang Lebong Sumatera Selatan (sekarang berada dalam wilayah Propinsi Bengkulu). Uang logam emas ini dicetak dalam jumlah yang sangat terbatas hanya 12 keping saja. Masing-masing keping beratnya 30 gram emas 22 karat. Bagaimana nasib keberadaan uang ini sekarang kita tidak tahu karena tidak ada data. Mudah-mudahan saja masih ada di Bank Indonesia atau Museum atau kolektor yang bertanggungjawab terhadap bagain dari sejarah uang dinegeri ini.

PEMALSUAN UANG RUPIAH[2]
Saat ini ancaman tindak pidana pemalsuan uang rupiah semakin besar. Motif usaha pemalsuan tidak lagi hanya sebatas jalan pintas untuk memperoleh biaya dalam pemenuhan kebutuhan. Tapi sudah lebih sebagai usaha mudah dan cepat mendapatkan uang banyak untuk menjadi kaya dan dapat memiliki apa yang diinginkan. Motivasi lain berbau politis untuk mengacaukan sistim perekonomian negara juga patut menjadi perhatian.
Berdasarkan temuan Bank Indonesia dengan pihak terkait (kepolisian)hingga saat ini jenis-jenis pemalsuan uang rupiah dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.  Lukisan Tangan,
yaitu jenis pemalsuan dengan cara mengandalkan kepandaian melukis pada kertas dengan mencontoh gambar pada uang kertas asli
2.  Colour Transfer
Yaitu jenis pemalsuan dengan cara memindahkan gambar pada uang kerta asli ke kertas lain dengan cara pengepresan. Uang kertas asli diberi cairan kimia sehingga tinta cetak menjadi lunak dan gambarnya bisa dipindahkan ke kertas lain. Selanjutnya uang asli dibelah menjadi dua bagian dan masing-masing ditempelkan dengan kertas hasil pemindahan gambar cetakan uang tersebut
3.  Cetak Sablon
Pemalsuan uang jenis ini menggunakan teknik cetak offset seperti pada pembuatan majalah
4.  Fotocopy Bewarna
Yakni jenis pemalsuan dengan cara menggunakan mesin fotocopy bewarna yang canggih. Namun demikian, pengadaan mesin fotocopy bewarna tersebut sulit karena harus memiliki izin khusus dari pihak berwenang
5.  Scanner
Merupakan Jenis pemalsuan dengan menggunakan kecanggihan alat scanner dan perangkat komputer serta mesin printer bewarna
6.  Colour Separation
Yaitu jenis pemalsuan dengan cara teknik cetak fotografi melalui proses pemisahan warna. Warna-warni yang ada pada uang kertas asli diperoleh dari penggabungan 3 warna pokok yaitu: cyan (biru, Magenta, (merah), dan yellow (kuning) serta penggunaan warna black (hitam) untuk memperoleh kesempurnaan/kekontrasan hasil cetakan.


[1] Tulisan ini diolah dan disarikan dari: Heryus Saputro., Kisah Uang Kuno Indonesia. Dalam Bonus Majalah Femina No.: 44/XII – 12 November 1985
[2] Sumber: Materi Penyuluhan Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah., Bank Indonesia Padang