PETUALANGAN WISATA SEJARAH:
MENELUSURI JEJAK TAMBANG BATU
BARA SAWAHLUNTO
Pergilah ke Sawahlunto, bagi anda yang hobi melancong atau para peneliti
dan yang suka menguak masa lalu bagi kehidupan hari ini dan akan datang. Bagi anda yang sekedar ingin tahu ada apa ? disuatu
tempat, tak ada ruginya singgah ke kota yang dulu dikenal lumbung batubara dengan
kwalitas terbaik di negeri ini. Banyak hal tersimpan di kota kecil yang
berada di propinsi Sumatera Barat, Indonesia ini. Meskipun kecil, jangan salah, disini sumber batubara dengan kwalitas terbaik di
Indonesia. Buktinya sejak dibuka dan diekploitasi Pemerintah Kolonial
Belanda lebih dari 125 tahun lalu, sampai sekarang “emas hitam’ itu masih
saja memberikan kehidupan bagi kota ini, meskipun skalanya tidak seperti dulu lagi. Wajar saja karena sumber daya alam ini tidak terbarui, bukankah
begitu?. Begitu pula dengan potensi sejarah, budaya kota ini
jauh lebih besar melintasi batas-batas administratif. Kota ini terletak di
lembah antara cekungan perbukitan sehingga menyerupai sebuah kuali. Karena itu Sawahlunto disebut juga ‘kota kuali’ sekali waktu.
Satu sudut dari kota ini, sejarah penemuan batu bara hingga ekploitasi dapat
dijadikan titik tolak dan gerbang masuk mengenal
seluk beluk kota ini lebih jauh. Tanpa penemuan serpihan batu bara di tahun
1867 oleh seorang geolog Belanda Ir. W.H De Greeve saat
ekspedisinya mengarungi aliran Sungai Batang Ombilin. Entalah,
apa bentuk dan jadinya daerah belantara Sawahlunto sekitarnya. Disana mulanya
hanya ada persawahan dan ladang penduduk sekitar. Jika malam hari mereka
kembali ke perkampungan tempat tinggal mereka seperti Kubang, Lunto atau
Silungkang misalnya.
Kandungan “emas hitam” batu bara, benar-benar telah menggoda dan mengundang
banyak minat, terutama Pemerintah Hindia Belanda untuk mengeruk batubara dari bumi
Sawahlunto, kemudian dijual ke pasar dunia untuk
meraup keuntungan. Maklumlah, masa itu zamannya teknologi uap sedang
berkembang dengan pesatnya akibat revolusi industri dari temuan mesin uap. Batubara menjadi primadona sebagai sumber energi andalan bagi
ketel-ketel uap yang akan menggerakan berbagai mesin industri, pabrik-pabrik
yang menggunakan mesin uap, transportasi laut kapal uap, lpkomotif
uap kereta api, bahkan pemanas ruangan di Eropa sana.
Wajah belantara Sawahlunto pun bermetamorfosis sejak saat itu. Berbagai
infrastruktur pendukung aktivitas pertambangan
pun satu persatu bermunculan. Sampai hari ini kita masih dapat menyaksikan jalur
rel kereta api misalnya dari Teluk Bayur yang dulu dikenal Emmahaven sampai ke Sawahlunto. Penuh nostalgia rasanya perjalanan wisatawan
ke kota wisata tambang Sawahlunto ditempuh dengan perjalanan menaiki kereta api dari kota Padang. Angkutan kereta api wisata yang bermarkas di Simpang
Haru, sekarang melayani rute Padang-Pariaman dan Padangpanjang-Sawahlunto. Mengawali keberangkatan dari Emmahaven
(pelabuhan laut Teluk Bayur) tentu saja suatu perjalanan yang utuh dalam sebuah
rangkaian wisata tambang Sawahlunto. Betapa tidak,
pembangunan Emmahaven, jalur kereta
api dan eksploitasi
batubara dengan segala infrastrukturnya di pusat
penambangan Sawahlunto merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Tidak
berlebihan jika disebutkan pembangunan pabrik semen Indarung Padang menjadi
matarantai dari proyek besar Emma Haven, jalur kereta api dan tambang batubara
itu sendiri
Sayang sekali saat sekarang, indah dan romantisnya perjalanan wisata yang lengkap
dengan menaiki kereta api dari Padang-Sawahlunto jadwalnya masih terbatas.
Sabtu-Minggu dan hari-hari khusus seperti saat Ulang tahun atau Hari Jadi Kota
Sawahlunto kereta api regular menjambangi lintasannya hingga ke kota ‘arang’. Memang perjalanan kereta api wisata regular diluncurkan hingga rute Padangpanjang-Sawahlunto, itu pun terjadwal pada hari Sabtu dan Minggu kecuali ada rombongan.
Harap dimaklumi sejak produksi batu bara mengalami kemerosotan yang sangat
tajam beberapa tahun belakangan si “ular
besi hitam” itu tidak lagi meliuk-liuk sepanjang lintasan rel
Padang-Sawahlunto.
Meskipun demikian, wisatawan tidak perlu kecewa. Sesampai di Sawahlunto semua
kekecewaan itu akan sedikit terhapuskan dengan melakukan perjalanan dengan kereta api lokal Sawahlunto. Tidak tanggung-tanggung kita akan menikmati tumpangan penuh kesan romantisme dengan kereta api wisata (train
nostalgia) E1060. Sebuah kereta api yang ditarik lokomotif uap seri E1060
buatan Jerman. Lokomotif nan eksotik, penuh nilai sejarah. Kemana lagi kita di
nusantara ini dapat menikmati perjalanan dengan keretapi api uap berbahan bakar
batubara. Untuk sekarang jawabannya tentu ya.. kalau tidak di Sawahlunto
Sumatera Barat ya... ke Ambarawa Jawa Tengah. Kereta api wisata yang dijuluki ‘Mak Itam’ ini senantiasa
siap mengajak wisatawan menikmati perjalanan melintasi rel sepanjang
Muarokalaban-Sawahlunto yang berjarak lebih kuarang 12 km pulang
pergi. Dalam
perjalanan itu lokomotif uap akan membawa penumpang masuk perut bumi
menembus terowongan
sepanjang +828 meter.
Jalur itu tentu mengingatkan
pada kondisi ditahun 1892-1894,
saat jalur itu dibangun mengerahkan para pekerja paksa. Mereka bekerja menantang alam dan dibawah tekanan penguasa
Hindia Belanda. Mereka adalah pribumi, bangsa kita yang dipaksa untuk
bekerja sepenuhnya dalam perintah kaum penjajah. Diantara mereka kemudian hari
ada yang dikenal dengan sebutan orang
rantai.
Setelah keluar dari terowongan (Lubang
Kalam),
lebih kurang 1 KM, sebelum
melewati jembatan kereta api, berdiri Mesjid Raya kota Sawahlunto dengan
menaranya menjulang lebih dari 75 meter dengan diameter 3 meter. Tempat
berdirinya mesjid itu dahulunya merupakan bangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) pertama yang
dibangun tahun 1894 dengan memanfaatkan aliran air Batang Lunto. Sedangkan
menara mesjid itu adalah cerobong asap dari pembakaran batubara pada pembangkit
listrik. Listrik itu untuk kepentingan aktivitas tambang batubara dan bagi
kehidupan kota. Kemampuan penyediaan daya listrik yang terus bertambah
seiring pertumbuhan dan perkembangan berbagai aktivitas tambang dan kehidupan
kota. Maka dibangun
lagi sentral
listrik Salak di tahun 1924.
Dimasa revolusi
kemerdekaan RI bekas PLTU itu dijadikan gudang dan perakitan senjata baik
ketika dibawah penguasaan tentara Belanda, Jepang maupun pejuang Indonesia yang
berada di Sawahlunto. Di tahun 1952 pada bekas bangunan induk PLTU yang megah
itu didirikan tempat ibadah umat muslim kota Sawahlunto. Sedangkan ruang bawah
tanahnya ditimbun dan ditutup rapat dengan beton.
Ketika kota
Sawahlunto menjelmakan diri menjadi Kota
Wisata Tambang Yang Berbudaya seperti yang diamanahkan visi dan misi kota sebagaimana
dituangkan
dalam Peraturan Daerah Nomor. 2 Tahun 2001. Mau tidak
mau sejarah peninggalan pertambangan batubara melalui penelusuran jejak yang
masih tertinggal maupun yang tidak jelas
keberadaannya kembali digali. Untuk kepentingan itulah bulan April tahun 2005, ruang bawah
tanah (bunker) yang tepat berada
dibawah Mesjid Raya kota Sawahlunto dilakukan penggalian. Hasil
penggalian itu sungguh membuktikan kepada kita akan cerita dan kisah dalam ingatan
kolektif para tetua masyarakat pendahulu di Sawahlunto. Bunker itu begitu luas dan
besar dengan lorong-lorong dan ruang-ruang seperti sebuah labirin. Sungguh
mengasyikan dan merupakan tantangan untuk menguji nyali menelusurinya. Ketika
penggalian demi penggalian
berjalan terus ditemukan
berbagai senjata dan peralatan perang seperti mortir, granat, senapan dan pistol
rakitan,
pelontar dan bagian potongan senjata mesin yang belum selesai. Seperti
yang banyak diungkapan para tetua Sawahlunto. Tempat itu dulu ketika zaman
bergolak dijadikan gudang dan tempat perakitan senjata sejalan dengan bengkel
utama perusahaan tambang. Temuan itu jelas merupakan bukti nyata segala
penuturan masyarakat itu. Kini
semua temuan itu tersimpan baik di musuem kota Sawahlunto. Namun belum bisa
disajikan semuanya untuk publik karena berbagai pertimbangan dan kondisi tentunya. Demikian juga halnya dengan
ruang bawah tanah mesjid yang belum juga terkelola dengan baik. Sehingga belum dijadikan
objek rangkaian kunjungan wisata. Namun sekedar ingin menyaksikan keberadaannya
tentu tidak ada halangan, toch... letaknya berada dilingkungan mesjid tepat
dibawahnya lagi.
Mmmhhh...!!! lelah
menelusuri lorong-lorong ruangan bawah tanah mesjid, wisatawan dapat melanjutkan
perjalanan menuju sstasiun +100 meter dari
bekas PLTU. Disini wisatawan dapat beristirahat sambil melepas lelah dengan menyaksikan
benda-benda koleksi Museum Kereta Api. Wah...!!! wah ....!!! ini
bukan sekedar stasiun tempat turun naik penumpang atau parkir kereta api wisata saja, tapi juga
sekaligus museum. Musuem kereta api Sawahlunto merupakan Museum Kereta Api kedua di
Indonesia setelah
Ambarawa Jawa Tengah.
Apalagi kehadiran dan kiprah ‘Mak Itam’. Kereta api wisata yang ditarik
dengan lokomotif uap E1060 ini berbahan bakar batubara telah melengkapi stasiun
dan museum kereta api Sawahlunto segala kejadulan
perkereta apian di Sawahlunto.
Suasana seperti itu tentu saja disengaja untuk mengingatkan
pada masa lampau, masa pengabdian lokomotif uap ketika di Sumatera Barat,
Sawahlunto khususnya pemicu segalanya dari matarantai kepentingan kolonial di
Minangkabau.
Berdiri
mengahadap ke Timur didepan Stasiun atau Museum Kereta Api terdapat pasar “oesang” yang
dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1910. Pasar itu sekarang sudah
berganti nama Pasar Remaja. Nah... diantara tebaran bangunan sekitar wilayah pasar
dan sekitarnya itu adalah apa yang sekarang disebut kota lama/tua Sawahlunto. dengan sedikit menuruni anak tangga untuk melewati jalan
pintas dengan berjalan kaki dari museum kereta api. Sembari berkeliling kota mencari makanan dan oleh-oleh khas daerah ini seperti
kerupuk kubang dan kerupuk tempe atau kerajinan tenun
Silungkang yang terkenal itu. Wisatawan dapat menikmati romantisnya kota lama/tua Sawahlunto dengan bangunan-bangunan tua bercorak arsitektur
indisch.
Mengikuti arus lalu
lintas ke Utara wisatawan masih dapat menikmati deretan bangunan tua bergaya kolonial
seperti bekas kantor
pos dan pengadaian yang
begitu terkenal dimasa lalu.
Dari sini + 50 meter terdapat rumah Pek Sin Kek dengan
arsitektur dan konstruksinya yang menawan. Disini pelancong dapat berbelanja souvernir shop
sambil berfoto untuk mengabadikan kenangan. Tepat didepan rumah Pek Sin Kek
berjejer
bangunan kolonial, salah satunya dulu sebagai koperasi karyawan tambang batu bara
Ombilin dan disebelahnya terdapat Gereja Katolik dan sekolah St. Lucia. Coba perhatikan pada atapnya nan khas bertingkat dan terdapat dormer sebagai sistim
sirkulasi udara yang menarik. Di batasi
dengan jalan, didepan gereja terdapat bangunan Hotel Ombilin juga berarsitektur
Indisch. Anda bisa menginap disini, sebuah hotel yang terletak dipusat kota.
Sementara dibelakangnya berjejer bangunan yang dapat dipastikan dulunya merupakan
hunian petinggi-petinggi Belanda di Sawahlunto. Bangunan itu merupakan bagian dan satu
kesatuan dengan Hotel Ombilin. Rasakan saja bagaimana menginap disebuah hotel dengan bangunan tua dari
masa Hindia Belanda. Perisi didepan hotel Ombilin, berseberangan jalan berdiri
kokoh dan megah gedung
pertunjukan yang dikenal dengan gedung societeit dibangun tahun 1918. Inilah tempat berpestanya para pejabat-pejabat dan
none-none Belanda setelah penat beraktivitas mengurusi tambang. Gedung itu pernah
juga ditempati Bank Mandiri dan sebelumnya sebagai gedung pertemuan masyarakat
(GPM). Mulai
tahun 2006 gedung ini kembali difungsikan sebagai Gedung Pusat Kebudayaan (GPK) kota
Sawahlunto. Tempat yang diproyeksikan untuk pertunjukan dan pagelaran berbagai kesenian dalam upaya
menopang kegiatan kepariwisataan di kota ini.
Didepan gedung
societeit berbatasan sungai berderet bekas rumah-rumah para pejabat Belanda dan
di depannya terdapat kantor perusahaan tambang Ombilin sekarang sebagai kantor
PT. BA-UPO. Ruang publik pada area gedung
yang megah sebagai landmark kota itu saat
ini dilengkapi dengan taman-taman dan lampu hias, sehingga cocok untuk
bersantai bersama keluaraga, apalagi sarana dan prasarana bermain anak-anak.
Wah…tidak lengkap
rasanya tanpa meneruskan perjalanan ke Air Dingin bekas kawasan pemukiman para
buruh tambang. Lokasi itu tidak jauh dari landmark
kota , hanya
dengan menelusuri jalan disamping bangunan megah kantor PT. BA-UPO, menyeberangi sebuah jembatan yang melintas diatas sungai Batang
Lunto, sesaat sampailah kita di tanah Lapang dan Air
Dingin. Sebuah gambaran kawasan, tempat tumbuh kembangnya masyarakat tambang nan multi etnis. Disana ada sebuah Museum lagi namanya Museum “Goedang Ransoem”. Nama yang agak aneh kedengarannya. Ada baiknya tour napak tilas wisata tambang kita
lengkapi singgah ke Info-Box Galeri Tambang. Disini informasi sejarah dan
teknis penambangan dapat diperoleh hampir utuh. Berbagai koleksi peralatan
tambang manual tempo dulu dapat disaksikan. Dilengkapi berbagai gambar untuk
lebih mudah memahami informasi dunia tambang. Berbagai jenis bebatuan yang
dikenal dalam penambangan juga hadir dihadapan kita. Nah..... !! untuk lebih
meyakinkan wisatawan boleh masuk ke sebuah lobang tambang tua peninggalan
penambang periode awal masa kolonial. Lobang tambang Soegar dan kemudian
disebut lobang tambang Mbah Soero dapat dimasuki dengan aman dan nyaman karena
sudah direvitalisasi dan disesuaikan bagi kebutuhan dunia wisata. Kita selama
ini mungkin banyak penasaran seperti apa batubara didalam perut bumi itu. Tanda
tanya seperti itu akan terjawab begitu masuk dan berjalan dalam lobang tambang
yang dinding dan atapnya terhampar batubara yang masih alami. Tidak perlu
khawatir wisatawan akan dipandu sepanjang terowongan yang hanya dibuka
sepanjang lebih kurang 150 meteran saja. Keberadaan pengunjung juga diamati
petugas lainnya diruang pantau melalui layar CCTV.
Tidak
jauh, berkisar seratus meteran ke Air Dingin kita akan lanjutkan perjalanan ke
Museum Goedang Ransoem yang kita maksud tadi. Bangunan
yang ditempati sebagai museum itu merupakan komplek bekas dapur umum tambang batubara.
Cita-cita pembangunan komplek Dapur Umum modern di Sawahlunto sejak
tahun 1894. Namun baru terwujud tahun 1918 setelah dipicu
berbagai kekisruhan soal makanan buruh yang terus berulang terjadi dari waktu
ke waktu. Kekisruhan muncul dari kompleksitas persoalan. Mulai dari soal
korupsi pejabat hingga level petugas pelaksana dilapangan. Belum lagi buruh
yang rata-rata merupakan orang-orang bermasalah. Para kejahatan kriminal dan
tahanan politik dengan segala huru-hara dan keberingasan sesama diluar dan
dalam tambang. Merebut makanan yang lain, tentu akan memicu hal yang sama pula
sebagai aksi pembalasan.
Kondisi
itu memaksa perusahaan mengambil sikap mengambil alih pengelolaan makanan buruh
dari kontraktor sebagai pihak ke tiga dengan membangun dapur umum modern
berteknologi canggih dengan sistim memasak dengan tungku uap (steam generator).
Dapur besar dengan peraltan masak seba ‘raksasa’ dioperasikan untuk
menyiapkan makanan dalam jumlah besar. Ini merupakan jawaban dari kekisruhan dan
problematika seputar makanan bagi pekerja tambang selama waktu-waktu berlalu. Bangunan dapur umum
ditempatkan di tengah tangsi baru kelurahan Air Dingin. Bangunan ini disebut
juga dengan rumah ransum yang dipergunakan untuk memasak makanan bagi para
buruh tambang dan keluarga yang
berjumlah ribuan. Oleh karena itu, disana disiapkan pula dapur beserta
peralatan yang serba besar seperti tungku, periuk dan sebagainya. Dari dapur
ini di persiapkan masakan untuk 6000 ribuan orang setiap hari.
Sebuah prestasi dan kebanggaan dapat kita saksikan disini, dimana
pemanfaatan kemajuan teknologi dalam sistem memasak berskala besar sudah hadir
di Sawahlunto sejak awal abad ke-20 bahkan yang pertama di Indonesia masa itu. Hal ini dapat dilihat dari setiap bagian
bangunan dan peralatan yang digunakan. Disini tidak hanya terdapat dapur tempat
memasak saja, juga terdapat beberapa bangunan yang memiliki fungsi yang
berbeda, namun merupakan satu kesatuan utuh
yang saling mendukung satu sama lain. Diantara bangunan-bangunan tersebut adalah: Bangunan
utama (dapur umum), gudang (warehouse)
persediaan bahan mentah dan padi, steam generator (Tungku Pembakaran), Menara
cerobong asap, pabrik es batangan,
hospital, kantor koperasi tambang batubara Ombilin, Heuler (penggilingan padi),
rumah kepala ransum, rumah karyawan, pos penjaga, rumah jagal hewan, hunian
kepala rumah potong hewan. Bangunan
itu menjadi saksi bisu yang menyimpan banyak peristiwa tentang korupsi dari
para pejabat/pegawai administrasi Eropa, para supplier Cina dan para tukang
masak pribumi. Dari dapur ini para buruh berebutan untuk mendapat pembagian
makanan yang dibagikan oleh staf perusahaan. Pada masanya, dapur umum itu berfungsi sebagai tempat melayani kebutuhan
makan para:
- Orang hukuman, lebih dikenal sebagai orang
rantai yang dipekerjakan
dipertambangan batubara Ombilin di Sawahlunto.
- Karyawan Tambang yang belum berkeluarga (bujangan) terutama mereka
yang didatangkan jauh dari Eropa. Nah bagi para bujangan ini
akan mendapat jatah makan gratis dari
Dapur Umum selama 6 (enam) bulan. Setelah masa enam bulan mereka dianggap
sudah punya penghasilan/gaji, mereka mendapat pemotongan gaji.
- Buruh tambang yang sudah bekeluarga. Setiap buruh tambang yang sudah
punya keluarga mendapat jatah makanan dari Dapur Umum ini sejumlah anggota
keluarga mereka. Akan tetapi berbeda dengan yang lainnya, pekerja tambang
yang sudah memiliki keluarga diberikan dalam bentuk bahan mentahnya saja.
- Pekerja dan pasien rumah Sakit Ombilin.
Bahkan orang kawalan juga mendapat jatah makanan dari Dapur Umum.
Orang kawalan merupakan rakyat yang tidak mampu membayar belasting/pajak kepada pemerintah kolonial Belanda. Untuk menebus pajak terhutang orang tersebut mereka
diperkerjakan ditambang batu bara atau proyek pemerintah kolonial Belanda. Mereka bekerja hingga
nilai pekerjaan mereka sampai menutup pajak yang tidak mampu mereka bayarkan.
Sekarang bekas bangunan yang bernilai sejarah itu telah menjelma menjadi
sebuah museum kota yang menyajikan benda-benda koleksi bekas peralatan dan
perlengkapan dapur umum. Makanya koleksi seperti bekas periuk masak itu besar-besar berdiameter 132 cm hingga 148 cm
dan tinggi 62 cm sampai 70 cm. Bahan periuk ketel terbuat dari besi hancuran
dan nikel. Museum itu dibuka dan diresmikan 17 Desember 2005 lalu oleh Wakil
Presiden RI Bapak jusuf Kalla.
Petualangan kita belum selesai dan belum seberapa karena kita baru
mengunjungi bagian-bagian dari prosesi tambang. Sementara seperti apa
ekploitasi atau bekas-bekas ekploitasinya belum tuntas
sama sekali kita tahu dan kunjungi. Tapi ada
baiknya kita ke kawasan Saringan dulu, letaknya didepan landmark kota agak tinggi, disana ada tiga buah silo tempat
pengumpulan batu bara sebelum dimuat ke kereta api untuk diangkut ke Padang. Di
kawasan itu terdapat mesin-mesin pencucian batu bara (Sizing plant) dengan conveyor-conveyornya. Sebuah bengkel besar
disebut juga bengkel utama tempat memperbaiki segala kerusakan peralatan dan
perlengkapan penambangan, bahkan juga untuk merakit dan memodifikasi. Jangan
heran kalau disini dapat disaksikan mesin bubut dalam berbagai ukuran type,
mesin tempa dll-nya.
Kita langsung ke kawasan Cemara, disana ada bekas terowongan (tunnel) penggalian batu bara sejak zaman
Belanda. Unik dengan dua karakter tunnel
vertikal dan horizontal. Biasanya pada tunnel
horizontal merupakan terowongan untuk maju atau mundurnya ekploitasi
batubara. Ini merupakan terowongan
transportasi dengan belt conveyor. Kawasan itu akan ditata
sehingga layak untuk dikunjungi keluar masuk oleh wisatawan. Karenanya
perencanaan dan pengerjaan yang matang sangat dituntut mulai dari sistem
penyanggaan, kelistrikan, drainase, sirkulasi udara, perlengkapan keamanan
pengunjung, tanda bahaya dan lainnya. Harapannya wisatawan di sini tidak hanya
sekedar melihat dan masuk terowongan bekas penambangn batu bara, tapi akan
dihadirkan juga museum tambang mini, istal kuda bagi yang berminat melengkapi
petualangan dengan berkuda, dan sebuah kafe dan gallery tempat berbelanja juga
akan melengkapi kawasan ini.
Bagaimana dengan lingkungan tambang batu bara di Sawahlunto ? kita lanjutkanlah
perjalanan menuju arah Talawi daerah kelahiran maha putra M. Yamin. Sepanjang
jalur itu dapat disaksikan proses ekploitasi dan pengolahan batu bara, tambang
rakyat, dan keadaan lingkungan. Tapi sebelum kesana sebaiknya mampir dulu di
Balai Diklat Tambang Batu Bara Bawah Tanah dulunya Ombilin Mining Training
Centre. Dari sini berbagai pengetahuan tambang batu bara bawah tanah
ditransformasikan kepada pelaku tambang melalui berbagai fasilitas dan teknologi
mulai dari yang manual hingga high
technology. Misalnya wisatawan dapat mengenali dan menikmati seperti apa
seharusnya sebuah terowongan atau tunnel
tambang batu bara bawah tanah, berbagai macam jenis bebatuan alam.
Perubahan lingkungan fisik yang fenomenal dapat disaksikan ketika
memasuki Sawahrasau. Daerah ini merupakan pembukaan titik penambangan kedua
setelah Sungai Durian sejak zaman Belanda. Lihatlah bukit-bukit yang menjulang
tinggi dibolak balik hingga tak karuan bentuknya. Saksikan juga tambang rakyat
yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Terowongan-terowongan bawah tanah yang
mereka buat hanya menggunakan peralatan seadanya, dan berpacu dengan perusahaan
padat modal dalam meraih batu bara.
Tidak berapa jauh dari Sawahrasau + 1,5
km belok kanan dekat persimpangan Parambahan, melewati sebuah jembatan yang
melintasi sungai Batang Ombilin wisatawan dapat pula menyaksikan sebuah
perubahan lingkungan dari dari sistim penambangan terbuka. Sebuah bukit yang merupakan ladang batu bara telah menjadi
sebuah danau. Kawasan Wisata Danau Kandi demikian sebuah tulisan yang
terpampang pada gapura kawasan itu. Tempat itu memang sedang dikembangkan
menjadi bagian objek wisata tambang Kota Sawahlunto. Fasilitas saat yang ini
yang telah ada seperti cafe, tempat bermain anak-anak, rumah ibadah juga akan
dilengkapi dengan perahu. Tidak jauh dari Danau Kandi ini terdapat arena pacuan
kuda berskala nasional. Untuk menuju kesana sedikit menaiki perbukitan sambil
melemparkan pandangan kiri-kanan melihat-melihat bekas-bekas penambangan maupun
yang masih aktif dilakukan, tambang rakyat misalnya.
Mengintip penambangan batubara dalam skala besar di
Parambahan oleh perusahaan seperti PT. BA-UPO di Sigalut, AIC, TMS dengan sistim
tambang dalam. Luar biasa dan
menegangkan saat menelususri terowongan tambang bawah tanah. Cukup aman karena terowongan disangga dengan arca-arca baja. Sungguh berbeda anda
berjalan dalam perut bumi dalam jarak ratusan meter bahkan berkilo-kilo meter kalau anda mau dan mendapat kesempatan. Kiri-kanan, atas dan bawah anda akan menyaksikan
langsung batu bara. Selamat berpetualang!