Heritage Town: Sejarah Sawahlunto

Asal Usul & Genesis Kota Sawahlunto

Sawahlunto berasal dari suku kata yaitu ”sawah” dan ”lunto”. Kedua suku kata yang dimaksud merujuk kepada sawah yang terletak di sebuah lembah yang dialiri oleh sebuah anak sungai yang bernama ”Batang Lunto”, yang sekaligus juga berfungsi untuk mengairi areal persawahan itu. Anak sungai itu berhulu di lembah bukit-bukit ”Nagari Lumindai” di sebelah Barat, lalu mengalir ke ”Nagari Lunto” dan terus mengairi areal persawahan itu yang dimiliki oleh anak Nagari Kubang.
Masyarakat Nagari Lunto meyakini bahwa kata ”lunto” itu berasal dari sebuah legenda tentang sebuah pohon besar yang berbunga. Pohon itu berada di pinggir jalan yang selalu dilintasi oleh penduduk Nagari Kubang dan Nagari Lunto. Pohon besar yang berbunga itu selalu menjadi pusat perhatian dan tanda tanya baik setiap orang yang melewatinya. Setiap kali orang menanyakan nama pohon tersebut, maka dijawab oleh penduduk setempat secara singkat dan cepat dengan ungkapan ”luntau”. Ucapan kata ”luntau” yang cepat dengan logat yang khas daerah tersebut kedengarannya menjadi ”Lunto”. Padahal luntau yang dimaksudkan dalam bahasa Minangkabau lengkapnya adalah alun tau”. Kata “alun tau” kalau dibahasa Indonesiakan bermakna belum tahu. Jadi, apa sebenarnya nama pohon itu tidak seorangpun yang mengetahuinya. Luntau yang kedengarannya lunto itu lama kelamaan melekat pada nama daerah itu, yaitu nagari lunto. Demikian pula halnya dengan sungai yang melintasi daerah itu diberi nama dengan Batang Lunto.
Adapun nama ”Sawahunto” itu sudah lama pula dikenal, sejak daerah itu ditaruko[1] (teruka) menjadi areal persawahan oleh nenek moyang masyarakat nagari kubang pada masa dahulunya. Mereka memberi nama daerah itu dengan ”Sawahlunto” karena sawah yang mereka olah disna dialiri oleh batang lunto. Selain nama Sawahlunto, mereka juga menamai daerah itu dengan sawah aru karena disekeliling areal persawahan itu ditumbuhi oleh pohon aru yaitu sejenis tanaman bambu. Pohon itu sengaja ditanam dengan maksud sebagai pagar pelindung untuk areal persawahan mereka dari gangguan binatang liar, seperti gajah dan babi hitam.
Sementara itu, menurut cerita rakyat, daerah sawahlunto pernah menjadi pusat sebuah kerajaan yang didirikan oleh sitimbago. Ia berasal dari erajaan pagaruyung yang dibuang karena melakukan pembangkangan. Ia beserta pengikutnya kemudia pergi ke daerah Sawahlunto dan mendirikan sebuah kerajaan disana. Sitimbago menjadi penguasa yang dzalim terhadap rakyat nya dengan membebani mereka dengan berbagai macam upeti. Selain itu ia pun berlaku tidak sopan terhadap anak gadis penduduk.
Kedzaliman dan kesewenang-wenangan Sitimbago itu pada akhirnya melahirkan pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh panglima Alim, seorang panglima perang dari Silungkang dan Kubang. Ia berhasil mengalahkan Raja Sitimbago sehingga para pengikutnya serta merta terpaksa meninggalkan daerah Sawahlunto. Daerah yang tidak bertuan dan terlantar itu kemudian oleh anak nagari Kubang dijadikan areal perladangan dan persawahan.
Meskipun pada tulisan itu tidak terdapat angka tahun yang menunjukkan suatu kurun waktu terjadinya peristiwa sejarah kehidupan manusianya. Namun dari tulisan itu dapat ditangkap bahwa sebelum daerah Sawahlunto menjadi areal persawahan, disana sudah ada kehidupan. Konon di daerah itu terdapat sebuah pusat kerajaan yang bernama ”Kerajaan Sitimbago”, yang wilayahnya melingkupi daerah Sawahlunto. Penduduk menyebutnya dengan daerah Gunung Timbago yang merupakan bagian dari jajaran bukit barisan, pegunungan yang membujur sepanjang pulau Sumatera.
Adapun orang Belanda menyebut Sawahlunto dengan ”Lunto Kloof” karena terletak disebuah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Kondisi topografisnya yang demikian itu direkam dalam sebuah potret yang dibuat oleh Ir. Th. Fa. Delprat sebelum daerah itu berkembang menjadi sebuah kota tambang. Potret itu memperlihatkan hamparan areal persawahan dan sebuah sungai yang mengalir berliku dengan latar belakang perbukitan.

Genesis Kota Sawahlunto
Sebelum ditemukan deposit batubara di bumi Sawahlunto, disekitar aliran batang ombilin, daerah itu diabaikan oleh pemerintah kolonial Belanda karena dinilainya tidak mempunyai nilai ekonomi yang berarti. Sebagian tanahnya kurang subur dan tidak potensial untuk dikembangkan menjadi lahan perkebunan. Ketika itu Sawahlunto hanyalah sebuah desa kecil yang terpencil dan terletak ditengah-tengah hutan belantara luas, dengan jumlah penduduknya hanya sekitar 500 orang. Sebagian besar penduduknya bertanam padi dan tanaman lainya di atas tanah dan lahan yang serba terbatas.
Namun,  setelah seorang geolog belanda. Ir. W.H. van de Greeve menemukan kandungan batubara disana pada tahun 1868, serta merta daerah itu menjadi pusat perhatian. Pada waktu it seiring dengan berkembangnya dunia industri, yang menggunakan mesin uap, sangat membutuhkan batubara sebagai bahan bakarnya. Semua Negara Barat berusaha mencari sumber-sumber batubara di daerah jajahannya masing-masing. Pemerintah Kolonial Belanda juga berupaya secara optimal untuk menemukan sumber-sumber batubara di wilayah jajahannya, Indonesia. Mereka banyak menemukan daerah yang buminya mengandung batubara dan salah satunya adalah terdapat disekitar aliran batang ombilin. Oleh karena itu mereka menyebutnya dengan batbara ombilin dan nama itu juga dipakaikan untuk nama perusahaannya sampai sekarang.  Sejak itu daerah itu menjadi perbincangan karena terkait dengan bagaimana pertambangan batubara itu sebaiknya dilakukan. Dan, serta merta Sawahlunto pun menjadi bahan pembicaraan di negeri Belanda pada khususnya dan Eropa pada umumnya karena buminya mengandung ”emas hitam”, batubara yang ada pada waktu itu memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
     Sungguhpun demikian nama Sawahlunto baru tercantum dalam Regeering Almanak van Nederlandsch-Indie yang terbit pada tahun 1892. hal itu menunjukkan bahwa pada tahun itu Sawahlunto secara resmi masuk dalam peta geo-politik pemerintah Hindia Belanda atau dapat juga dikatakan bahwa pada tahun itulah adanya pengakuan akan keberadaan Sawahlunto. Pengakuan itu mengiringi dikeluarkannya keputusan pemerintah tentang pembagian dan batas-batas wilayah Afdeeling (sekarang: setingkat Kabupaten) di Sumatera Barat tertanggal 1 Desember 1888. oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pada t anggal itu Sawahlunto, sebagai sebuah wilayahmulai diakui keberadaannya dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda, yang ketika itu masuk ke dalam wilayah Afdeeling Tanah Datar, Onderafdeeling Koto VII, dan Kelarasan Silungkang. Masa-masa sebelumnya, meskipun nama Sawahlunto sudah dikenal di kalangan masyarakat, namun belum (lebih tepat: tidak) dapat terlacak angka tanggal, bulan, dan tahunnya sebagai sebuah fakta sejarah.

Sumber Foto: http://www.wikimedia.org

[1] Taruko merupakan istilah Minangkabau untuk merujuk aktivitas pembukaan lahan menjadi areal pertanian sawah maupun ladang secara komunal. Sehingga kelak lahan-lahan tanah di Minangkabau dalam hak penguasaannya disebut tanah ulayat atau kaum.